HIDUPKATOLIK.com – Ia sempat menolak menjadi uskup dan Paus. Selama masa episkopal dan kepausan, ia dikenal sebagai pemimpin Gereja yang gigih, melayani umat yang kelaparan dan mendamaikan banyak kerajaan.
Keceriaan liburan Bruno tiba-tiba terenggut. Konon, ia mengalami sakratul maut pada usia yang masih amat belia. Sewaktu tidur, ia diserang binatang buas. Serangan itu mengakibatkan luka-luka serius.
Dalam kondisi tak berdaya, Bruno mengaku mendapat anugerah visiun atau penglihatan rohani. St Benediktus menghampiri dengan membawa salib. Lalu salib itu ditempelkan pada luka-lukanya. Bruno sembuh!
Sepenggal pengalaman rohani ini ia ceritakan kepada sahabat karibnya, Wibert. Wibert menjadi penulis buku biografi Bruno, yang kala itu menjadi Uskup Toul, Perancis.
Darah Biru
Bruno dei Conti di Egisheim-Dagsburg lahir di Egisheim-Dagsburg, Colmar, Alsace Utara (kini Perancis), 21 Juni 1002. Nama panjangnya menunjukkan trah bangsawan Jerman. Leluhurnya termasuk keluarga penguasa yang loyal pada Gereja dan terlibat aktif dalam kancah pemerintahan sipil.
Ayahnya bernama Hugh, sepupu pertama Raja Jerman, Conrad I (911-918). Sang ayah membangun biduk rumah tangga dengan Heilewide. Pasangan ini dikenal karena kesalehan hidup dan tergolong orang-orang terpelajar pada zaman itu.
Tradisi kesalehan kristiani Pangeran Hugh dan Heilewide diwariskan kepada Bruno. Sejak kecil, mereka menanamkan nilai-nilai kekatolikan untuk Sang Buah Hati. Pun tradisi intelektual sebagai keturunan orang-orang terpelajar. Pada usia lima tahun, Bruno dititipkan di sekolah yang diasuh Uskup Toul, Perancis, Mgr Berthold (996-1019). Keuskupan ini sekarang berubah nama menjadi Nancy-Toul, sejak disatukan dengan Keuskupan Nancy, pada 20 Februari 1824.
Sebagai bocah, Bruno dikenal cerdas, enerjik, dan solider. Ia menonjol di antara teman-temannya. Tahun 1017, Bruno memegang titel ahli hukum. Ketika Keuskupan Toul dipimpin seorang gembala yang temperamental, Mgr Herimann (1020-1026), ia berhasil memainkan peran penyeimbang dalam hidup menggereja. Tak heran, namanya kian dikenal luas.
Uskup Pejuang
Pada 1024, sepupunya naik takhta sebagai Raja Jerman, yaitu Conrad II yang menggantikan Raja Henry II. Bruno diminta mengurusi kapel istana. Selang dua tahun, ia diangkat raja membantu Mgr Herimann, yang sudah lanjut usia, guna mengurusi Keuskupan Toul. Maka ia ditahbiskan sebagai diakon. Tak lama kemudian Mgr Herimann wafat. Pada tahun yang sama, Bruno diangkat menggantikan Sang Uskup. Ia sempat menolak menerima jabatan gerejani itu. Namun atas desakan raja, ia menerima tahbisan episkopal sebagai Uskup Toul pada 9 September 1027.
Selama menggembalakan umat Toul hampir 25 tahun, Mgr Bruno dikenal sebagai gembala yang gigih, cerdas, bijak, dan saleh. Ia ‘menuntun’ umat melewati kondisi kelaparan hebat dengan penuh kasih. Kemampuan berdiplomasi juga tak diragukan. Berulang kali ia berhasil mendamaikan peperangan yang terjadi di yurisdiksi keuskupannya. Dengan bijaksana, ia memulihkan relasi Raja Conrad II dengan Pangeran Robert dari Perancis hingga anak-anak mereka yang berseteru. Hal serupa juga terjadi antara Raja Conrad II dengan Pangeran Eudes dari Blois.
Di sela-sela pelayanannya sebagai gembala, Mgr Bruno mengalami pencobaan berat. Orangtua dan dua saudaranya meninggal. Kehilangan orang-orang terkasih, hidupnya terguncang. Namun, ia berjuang dalam keteguhan sebagai pelayan dan gembala Gereja yang handal.
Paus Bersyarat
Tahun 1048, Takhta St Petrus lowong (sede vacante). Paus Damasus II wafat. Orang Roma meminta Raja Henry III memilih pengganti Paus asal Jerman ketiga itu. Mereka mengusulkan dua nama, yakni Uskup Agung Lyon, Perancis, Mgr Halinard dan Uskup Toul, Mgr Bruno. Kedua kandidat itu layak mengenakan “cincin nelayan”. Namun yang dipilih Mgr Bruno.
Uskup Toul Bruno menolak menduduki Takhta Kepausan. Atas desakan banyak pihak, ia mau menerima dengan syarat. Ia akan bertakhta sebagai Paus jika rakyat Roma yang memilih, bukan Raja Henry III. Ia berniat memisahkan kuasa gerejani dari pengaruh kuasa sipil.
Persyaratan itu terpenuhi, maka ia berangkat ke Roma bersama sekretaris pribadinya, Hildebrand dari Soana –yang kelak menjadi Paus Gregorius VII. Secara resmi, ia dipilih pada 2 Februari 1049. Ia memilih nama Paus Leo IX dan menduduki takhta pada 12 Februari 1049. Upacara itu disambut rakyat Roma secara meriah.
Rintangan pertama yang dihadapi Paus baru ialah kondisi keuangan kepausan yang morat-marit, serta ancaman laten dari Paus Emeritus Benediktus IX –satu-satunya Paus yang bertakhta hingga tiga kali: 1032-1045, April 1045 (21 hari), dan 1047-1048. Pemberesan administrasi dan tatakelola keuangan kepausan ia serahkan kepada Hildebrand yang handal di bidang manajerial. Berkat kerja keras Hildebrand, manajemen kepausan menjadi sehat.
Reformator Ulung
Selama bertakhta, Paus Leo IX dikenal sebagai reformator ulung di kalangan internal Gereja. Tak lelah ia memerangi praktik simoni (jual beli jabatan gerejani) dan ketidak disiplinan kaum klerus yang memanfaatkan jabatan gerejaninya untuk kepentingan diri, bahkan tidak taat pada kaul kemurnian.
Demi memperbaiki kondisi ini, Paus Leo IX mencanangkan peregrinus apostolicus (perjalanan apostolik) ke seluruh Eropa. Konon, praktik ini menjadi cikal bakal tradisi perjalanan apostolik para Paus pada era modern. Dalam perjalanan apostolik ini, Bapa Suci menggelar banyak sinode di beberapa kota, antara lain Pavia, Reims, Mainz, dan Spoleto. Meski mendapat tentangan dari beberapa pihak, usaha reformasi lebih banyak mendapat dukungan dan membangkitkan antusiasme Gereja.
Selain menggelar banyak sinode, Paus Leo IX juga bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang membelot dari agenda reformasi. Ia tak segan menjatuhkan hukuman ekskomunikasi kepada para uskup dan bangsawan tanpa pandang bulu. Ketegasan yang disertai kesalehan hidup membuat banyak pihak bersimpati pada Paus Bavaria ini.
Sempat terjadi ketegangan antara Gereja Barat yang dikepalai Paus Leo IX dengan Gereja Timur di bawah komando Patriakh Konstantinopel, Mikhael Cerularius. Pemimpin tertinggi ritus Binzantin yang sebelumnya mengakui Takhta St Petrus sebagai pemimpin tertingginya, pecah kongsi dan melepaskan diri dari yurisdiksi Paus. Takhta St Andreas Konstantinopel berdiri sendiri dan tak mau tunduk pada Takhta St Petrus, pada 1054. Perpecahan yang dikenal dengan Skisma Besar ini terjadi sebagai ekses terutama pertengkaran pribadi, selain faktor ritual dan sosio-kultural.
Selain menghadapi perpecahan dengan Gereja Timur, agenda reformasi internal Gereja Barat terus mengalir. Pelbagai persoalan Gereja yang silih berganti mempengaruhi kesehatan Paus Leo IX. Pada paruh kedua tahun 1053, kesehatan Sang Paus kian menurun. Ia meninggal di Roma pada 19 April 1054. Pasca Bapa Suci wafat, pertikaian antara Roma dengan Konstatinopel memuncak. Masing-masing saling mengekskomunikasi dan memisahkan diri.
Karena jasanya pada Gereja, pada 1082 mendiang Paus Leo IX digelari Santo oleh Paus Gregorius VII. Gelar kudus ini dikukuhkan lagi oleh Paus Viktor III pada 1087. Hingga kini, Gereja memperingatinya tiap 19 April.
R.B.E. Agung Nugroho