HIDUPKATOLIK.com – Kanker lever menderanya. Ia menikah di gereja dengan kawalan perawat. Dengan dukungan istri, ia menjalani hari-hari hingga sehat. Sebagai ungkapan syukur, ia berbagi dengan anak-anak yang terkena kanker.
Waktu itu, 17 Oktober 2007, tiba-tiba Paulus Moko Bayumurti mengalami sesak nafas bahkan disertai muntah. Sebelumnya, ia tak pernah mengalami hal itu. Moko pun dibawa ke RS Panti Rapih, Yogyakarta, ditemani sang kekasih, Theodora Diana Pratiwi. “Dokter IGD memperkirakan ada kelainan jantung. Dokter memutuskan agar dokter spesialis jantung yang mengobservasi saya,” kisahnya.
Kagetlah Moko. Namun ia sadar, pola hidupnya tidak sehat: merokok setiap hari dan terkadang mengkonsumsi minuman beralkohol. Beberapa hari sebelum divonis sakit jantung, ia memutuskan untuk memperbaiki pola hidup, belajar hidup sehat, mulai berolah raga setiap hari, tidak pulang larut malam, dll. “Saya hidup seperti kelelawar, yang keluar saat matahari terbenam, dan tidur saat matahari terbit. Pola hidup tidak sehat itu yang saya pikir menyebabkan sakit saya ini,” kata umat Paroki Keluarga Kudus Banteng Yogyakarta ini.
Moko berusaha kuat, legowo (menerima kenyataan –Red) dan berpikir positif. Ia menyadari bahwa menyesal dan tak menerima kenyataan jika sakit, tak akan menyelesaikan masalah.
Kesempatan Hidup
Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, jantung Moko baik-baik saja. Dokter menganjurkan agar Moko menjalani CT-SCAN. Hasilnya, diketahui ada tumor berdiameter lima centimeter di kaput pankreas. Dokter menyarankan tindakan operasi segera dilakukan karena tumor itu sudah menutup saluran empedu yang mengakibatkan cairan empedu kembali masuk ke pembuluh darah dan menyerang lever. Hal itu mengakibatkan badan Moko berwarna kuning dan gatal- gatal. “Jika tidak segera dilakukan operasi, lever saya akan rusak dalam waktu dua minggu,” ujar Moko.
Pada 31 Oktober 2007, Moko menjalani operasi. Ia tak pernah membayangkan, ada cairan yang dimasukkan melalui anus untuk mencuci ususnya, selang kateter di pasang di saluran kencing dan selang Naso Gastric Tube (NGT) dipasang melalui hidung. Operasi berlangsung selama delapan jam. Ternyata, Moko terkena kanker lever. Kanker berhasil diangkat. Sepertiga dari pankreasnya dipotong serta kantong empedu dan usus 12 jari diangkat.
“Puji Tuhan, Tuhan masih memberikan kesempatan saya untuk hidup,” ungkap kelahiran Yogyakarta, 9 Februari 1983 ini. Keluarga dan kekasihnya terus mendukung dan menemani dalam pengobatan. Moko berusaha tetap bersemangat untuk “melawan” dan menerima sakit yang menderanya.
Pasca operasi, Moko dipindahkan ke ruang rawat inap. Kondisi tidak segera pulih, bahkan dari hari ke hari kian menurun. Setiap hari ia muntah-muntah sehingga tak ada nutrisi yang masuk ke tubuh untuk pemulihan pasca operasi. Hampir satu setengah bulan, ia menjalani rawat inap di RS Panti Rapih. Berat badannya merosot dari 65 kg menjadi 54 kg. Dokter tidak berani memberikan tindakan kemoterapi yang diwajibkan pasca operasi untuk membabat habis sel-sel kanker yang tersisa.
Pada Desember 2007, akhirnya Moko diperbolehkan menjalani rawat jalan dan diinfus di rumah. Memasuki 2008, kondisinya tak kunjung membaik. Setiap hari ia masih muntah dan belum siap menjalani kemoterapi. Ia pun kerap masuk-keluar rumah sakit. “Untuk duduk pun saya harus mengenakan bantal air karena pantat tinggal tulang saja. Dan ke mana pergi, saya harus memakai kursi roda,” ujarnya.
Bertepatan dengan ulang tahun Dora, sang kekasih, pada 17 Februari, Moko mempersuntingnya. Mereka menikah di Gereja St Antonius Kotabaru, Yogyakarta. Tak seperti pasangan pengantin biasa, mempelai laki-laki dikawal perawat dari RS Panti Rapih karena beberapa hari sebelum pernikahannya, ia harus opname. Kadar kalium dalam darahnya menurun. Begitu selesai pernikahan dan sedikit beramah-tamah dengan para tamu, Moko pun harus kembali ke rumah sakit untuk menjalani perawatan.
Hari demi hari terus dijalani Moko dengan semangat untuk sembuh. Ia mencari informasi di internet untuk menemukan tempat berobat. Kemudian ia memutuskan untuk pergi berobat ke Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, Cina, ditemani sang istri. Pemeriksaan demi pemeriksaan ia jalani. Tiga minggu setelah pemeriksaan awal, ia menjalani operasi untuk mengatasi obstruksi usus yang ternyata mengakibatkan muntah-muntah selama ini. Ketika operasi, dokter tak menemukan adanya kanker di tubuh Moko. “Menurut mereka, lima bulan tanpa kemoterapi, tetapi tidak ada kanker yang nampak, merupakan keajaiban,” kenang Moko.
Pada Mei 2008, Moko pulang ke Indonesia dengan kondisi yang sudah lebih baik. Ia dan istri pun mempersiapkan segala kebutuhan untuk menyambut kelahiran sang buah hati. Anaknya lahir pada 12 Juni 2008. “Bahagia bukan main saya saat itu karena saya masih bisa bertemu dengan anak saya. Kami memberinya nama Nathanael Neo Wicaksana,” tutur sulung dari dua bersaudara ini. Nama “Neo” diadaptasi dari nama dokter di Fuda Cancer Hospital Cina, Prof Niu. Waktu itu, Moko bernazar akan menggunakan nama dokter yang mengobatinya.
Bersyukur
Kelahiran Nathan semakin memompa semangat hidup Moko. Keceriaan memenuhi hari-hari bersama keluarganya. Namun pada Mei 2009, Moko merasakan badannya mulai panas setiap hari dan menggigil kedinginan setiap malam. Rasa nyeri pun menjalar di tubuhnya. Hingga akhirnya ia harus masuk-keluar rumah sakit lagi dan menggunakan painkiller durogesic atau obat penawar sakit.
Dokter yang memeriksanya menyarankan agar Moko menjalani Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan) di Jakarta, untuk memastikan sel kanker dalam tubuhnya tumbuh lagi atau tidak. Bimbang dan khawatir merayapi hatinya. Ia sempat menolak untuk PET-Scan. “Saya butuh mental yang kuat untuk menjalani PET-Scan. Di satu sisi, PET Scan akan mengetahui sel kanker ada di mana sehingga memudahkan dalam pengobatannya. Tetapi di sisi lain, bisa membuat mental saya down karena mengetahui ada kanker lagi.”
Akhirnya, dengan dukungan istri dan anak, ia bersedia menjalani PET-Scan. Hasilnya nihil. Moko bersyukur karena tidak ada sel kanker di tubuhnya. Dukungan keluarga dan doa menjadi kekuatan Moko dalam menjalani pengalaman sakit yang bertubi-tubi. “Hanya melalui doa, segala harapan kesembuhan dan penyesalan dosa di masa lampau yang saya ucapkan setiap hari. Doa Koronka adalah doa mukjizat yang tak pernah saya lupakan,” kenangnya.
Kini Moko sudah sehat dan dinyatakan bebas dari kanker. Ia terus berusaha untuk menjaga pola hidup sehat. Ia pun berhenti merokok dan menjauhi minuman beralkohol dan soda, makanan dibakar atau dipanggang, serta makanan berminyak dan berlemak. Ia menghabiskan hari-harinya dengan bekerja dari rumah dan bermain dengan sang buah hati.
“Saya bersyukur karena saya sudah bisa hidup normal, walaupun tidak boleh terlalu capek,” ujarnya. Ungkapan syukur atas anugerah kesembuhan juga ia wujudkan dengan berbagi kasih dengan anak-anak yang terkena kanker dan berada di bawah naungan Yayasan Jogja Care for Cancer Kids Foundation. Ia beserta istri dan anaknya secara rutin mengunjungi anak-anak itu.
Bagi Moko, pengalaman sakit yang menderanya memberikan pelajaran hidup yang sangat bermakna. “Tuhan menganugerahi saya sakit, karena saya masih disayang Tuhan. Saya masih diingatkan untuk bertobat dan selalu ingat akan Yesus, baik dalam suka maupun duka,” demikian Moko.
Yosephine Ingrid KD