HIDUPKATOLIK.com – Mengapa Injil Yohanes dan Markus tidak berbicara tentang masa kecil Yesus seperti dalam Injil Matius dan Lukas?
Martina Murlani, Madiun
Pertama, Injil-injil bukanlah biografi tentang Yesus, tetapi kesaksian iman para rasul tentang Yesus yang adalah Allah dan Penyelamat (bdk. Kis 2:32.36; 5:31; bdk. Rom 1:4). Dengan ini kita bisa mengerti mengapa Injil tertua, Markus, tidak mengisahkan masa kecil Yesus. Fokus utama ialah pewartaan tentang Yesus yang bangkit. Kebangkitan membuat para rasul sadar bahwa Yesus Kristus adalah Allah. Jati diri Yesus sebagai Allah ini pasti juga sudah ada sejak awal penampilannya di depan umum. Demikian pula seluruh pelayanan-Nya pasti sudah diresapi oleh keilahian-Nya. Kebangkitan hanyalah menyingkap martabat ilahi yang memang sudah ada sebelumnya. Pengertian inilah yang tercermin dalam njil Markus. Dia memindahkan momen kristologis dari kebangkitan ke peristiwa awal penampilan Yesus di depan umum, yaitu pembaptisan oleh Yohanes. Peristiwa itu mewahyukan jati diri Yesus: “Engkaulah Anak-Ku yang Ku-kasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk 1:11; bdk. Majalah HIDUP No. 51, 16 Desember 2012).
Kedua, ketika orang sudah mengenal pribadi Yesus, mereka membedakan antara realitas objektif dalam diri Yesus dan pengenalan mereka akan Yesus. Realitas objektif dari jati diri ilahi Yesus pasti sudah ada sejak Dia dilahirkan bahkan pada saat pengandungan-Nya. Ini tahap lebih lanjut dalam proses pembentukan Injil yang tercermin dalam Injil Matius dan Lukas. Kedua penginjil mengisahkan proses pengandungan dan kelahiran Yesus dengan semua tanda heran yang menyertai.
Manusia tidak bisa menjadi Allah, tetapi Allah bisa menjadi manusia. Inilah pesan yang hendak disampaikan penginjil Matius dan Lukas dalam kisah masa kanak-kanak Yesus, yaitu bahwa Yesus adalah Anak Allah sejak awal kelahiran-Nya sebagai manusia. Pewahyuan tentang jati diri Yesus itu disampaikan malaikat, yaitu bahwa Anak yang dikandung Maria itu berasal dari Roh Kudus (Mat 1:20; Luk 1:35) dan bahwa Anak itu “akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 3:38). Injil Matius dan Lukas tetap bukan biografi Yesus, tapi pewahyuan tentang jati diri Yesus.
Ketiga, ketika Yohanes menulis Injil, sekitar 100 M), diandaikan bahwa Yohanes sudah mengetahui tentang ketiga Injil terdahulu. Maka, dia tidak ingin mengulangi hal yang sudah ditulis, tapi Yohanes hendak melengkapi yang sudah ada. Momen kristologis yang bermula kepada kebangkitan dan kemudian dipindahkan ke pembaptisan oleh Markus, lalu dipindahkan ke awal kelahiran Yesus oleh Matius dan Lukas, sekali lagi dipindahkan jauh melampaui kurun waktu oleh Yohanes, yaitu ke momen sebelum adanya waktu, yang tak lain ialah praeksistensi Yesus sebagai Putra Allah sejak kekal. Yohanes menyebut peristiwa kelahiran Yesus dengan kata-kata, “Pada mulanya adalah Sabda dan Sabda itu bersama-sama dengan Allah, dan Sabda itu adalah Allah…, dan Sabda itu telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita, dan kita tidak melihat kemuliaan-Nya” (Yoh 1:1.14).
Dengan menyebut Putra Allah sebagai Sabda, Yohanes menghubungkan peristiwa penjelmaan Putra Allah menjadi manusia dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Di situ Allah bersabda untuk menciptakan dunia (Kej 1:2.6.9.11.14. 20.24.29). Sebagai Sabda, Putra Allah ikut berperan penting pada momen penciptaan. Sebutan itu juga mencerminkan hikmat Sabda Allah yang memberi kehidupan, yang merupakan “pancaran murni dari kemuliaan Yang Mahakuasa” (Keb 7:25). Dengan mengetahui jati diri sesungguhnya dari Putra Allah, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia, Yohanes mengajak kita untuk mensyukuri dan mengagumi, “Begitu besar kasih Allah akan dunia sehingga Ia memberikan Putra-Nya yang tunggal.” (Yoh 3:16).
Petrus Maria Handoko CM