HIDUPKATOLIK.com – Bulan November 2014, media massa diramaikan oleh berita kontroversi tes keperawanan yang menurut Human Rights Watch dipakai lembaga Polri untuk menyeleksi calon polisi wanita atau Polwan. Berbagai organisasi mengajukan protes. Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebut tes semacam ini “merendahkan derajat manusia dan diskriminatif terhadap perempuan”. Meski demikian, tidak kurang orang yang mendukung dengan alasan moralitas.
Polri membantah, walaupun mengakui ada tes untuk memeriksa “kesehatan” organ reproduksi perempuan. Yang mencuat di balik kontroversi ini adalah mitos keperawanan yang masih sangat kuat berakar di masyarakat. Dalam beberapa kelompok masyarakat, bahkan ada ritual untuk membuktikan keperawanan pada malam pengantin, sebagai bukti “kesucian” sang calon istri.
Ketika media massa ribut tentang tes keperawanan, seorang anak perempuan berusia 13 tahun tergolek mengenaskan. Gadis yang masih duduk di SMP ini mengalami serangan seksual oleh sekelompok pemuda, lalu mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan ia jatuh dalam kondisi koma. Hidupnya tergantung kepada peralatan medis, sampai tracheatomy dilakukan untuk membuat lubang pernafasan di leher.
Ibu, kerabat dan jaringan pendoa mendampingi. Ketika para dokter angkat tangan, keajaiban terjadi. Gadis ini perlahan-lahan pulih. Akhirnya, ia bangun dari koma dan kalimat pertama yang keluar dari mulutnya, parau terbata-bata, “Bunda Maria dan Yesus datang. Yesus usap rambutku. Bunda bilang, ‘Jangan sedih’”. Masih diperlukan waktu yang lama, sebelum ia bisa duduk, berjalan, dan bersekolah kembali. Tapi, iman telah membuat wajahnya berbinar setiap kali ia berdoa dan melafalkan lagu, “Mukjizat itu Ada”.
Kesucian tak tergantung kepada kulit tipis yang bisa rusak karena olahraga dan kerapuhan genetik. Kesucian tercapai ketika manusia menyerahkan diri penuh agar dikuasai Sang Maha Kasih, sehingga tubuhnya menjadi Bait Allah. Tak mudah, menjaga kesucian di tengah kuasa dunia yang kuat, kesombongan, nafsu, dan keserakahan.
Trauma akibat kekejaman manusia juga tak pelak melemparkan manusia dalam dendam, kemarahan, dan keputusasaan. Di tengah kuasa gelap itulah, Allah berbelarasa, memberikan salib penderitaan Putra Tunggal-Nya sebagai penyelamat. Berkat salib yang menjulang antara langit dan bumi, berkat darah dan bilur-Nya, manusia mendapat jalan untuk memulihkan harkat sebagai anak Allah.
Pada saat yang sama, gejolak hidup tak pernah usai. Itu sebab setiap saat manusia memerlukan kekuatan doa untuk menghadirkan kasih Allah dalam tubuh dan jiwa. Itu pula sebab, Gereja sebagai perwujudan tubuh Kristus dalam kehidupan manusia, mengangkat Bunda Maria yang mengandung tanpa dosa, sebagai Bunda Gereja. Dalam karya penyelamatan Allah, Bunda Maria mewakili pihak manusia yang mengatakan “ya” kepada kehendak Allah dan memberikan tubuh sepenuhnya untuk menjadi Bait Allah.
Pasangan yang baru menikah memohon doa kepada Bunda, agar kehidupan perkawinan menjadi sakramen yang menyucikan dan keluarga yang mereka bangun meneladan Keluarga Kudus. Sang Perawan bukan saja teladan, tetapi juga pelindung dan pendoa yang mendampingi perjuangan manusia menjadi Bait Allah.
Paus Fransiskus mengingatkan cara uang dan kuasa yang dapat mengancam kehidupan Gereja. Paus berseru kepada gembala dan jemaat Gereja agar menjaga kesucian Bait Allah dengan menerima semua orang dalam kasih, tanpa syarat, dan menyambut setiap orang yang miskin, terpinggirkan dan yang terluka, seperti menyambut Sang Perawan. Ajakan Paus juga mengingatkan kita akan dosa yang teramat sulit dikoreksi, yakni dosa arogansi. Seperti kaum Farisi, dosa arogansi terjadi jika kita meninggikan diri, merasa lebih suci, lebih tinggi, dan lebih bermoral daripada sang pendosa. Dan, di situlah letak dosa tes keperawanan!
Melani Budianta