HIDUPKATOLIK.com – Ia seorang seniman Muslim. Tapi, ia tak ragu membuat patung berciri Katolik, yakni relief Kisah Sengsara Yesus dalam 15 stasi Jalan Salib di Gereja St Matias Rasul Kosambi Baru, Jakarta Barat.
Seniman melahirkan seniman. Demikianlah Himawan Dwi Prasetya. Darah seniman mengalir deras dalam raga dan jiwanya. Ayahnya, Bambang Soemarhadi, seorang pematung. Seperti buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, Himawan pun mewarisi bakat sebagai pematung. Tak hanya membuat patung, Himawan pun mengekspresikan diri melalui seni rupa.
Keseharian Himawan dilingkupi karya seni. Ia banyak belajar membuat patung dari sang ayah. Tak heran, jika kemudian si bungsu dari dua bersaudara ini memilih belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Bakat pria kelahiran 14 Agustus 30 tahun silam ini, kian terasah dengan ilmu dan seni. “Saya sangat mencintai seni. Mungkin karena sudah bakat turunan dari ayah. Seni juga kemu dian menjadi mata pencaharian bagi saya,” ungkap Himawan yang ditemui di rumah yang juga menjadi bengkel kerja membuat patung di Jalan Bantul, D.I Yogyakarta, akhir November lalu.
Jalan Salib
Saat usianya menginjak 19 tahun, Himawan berani menerima pesanan membuat patung. Himawan mampu mengerjakan pesanan selama satu hingga dua minggu. Itu jika pesanan tak terlalu rumit. Namun, saat sepi pesanan, ia biasa membuat patung untuk keperluan cinderamata berbahan dasar batu, kayu, fiberglass, perunggu, kuningan, tembaga, atau beton bertulang. Sehari-hari, suami Sara Preselia ini juga menerima pesanan untuk membuat lukisan berbahan cat minyak serta pembuatan beragam hiasan.
Suatu hari, pesanan datang dari Jakarta. Seorang umat Paroki St Matias Rasul Kosambi Baru, Jakarta Barat, menghubungi Himawan. Ia diminta membuat relief Kisah Sengsara Yesus untuk 15 stasi Jalan Salib.
Meskipun ia tak paham betul Kisah Sengsara Yesus, Himawan langsung mengiyakan. Himawan seorang penganut Islam. Namun, ia tak keberatan saat harus membuat patung-patung berciri Katolik. Apalagi, ini bukanlah pertama kali Himawan membuat patung-patung sebagai sarana berdoa umat Katolik. Ia pernah membuat patung Bunda Maria dan Pieta untuk sebuah gereja di daerah Bajawa, Flores, Nusa Tengggara Timur. Himawan juga terlibat dalam tim pembuat patung Yesus setinggi 20 meter di Manado, Sulawesi Utara.
“Selama patung itu tidak disembah, tidak menjadi masalah. Lagipula, istri saya juga seorang Nasrani. Dulu, ketika saya masih kecil, pertama kali belajar membuat patung dengan model St Ignatius. Saya suka model itu, bagus!” cerita Himawan.
Untuk mengerjakan relief Jalan Salib 15 stasi ini, Himawan membutuhkan waktu tiga bulan. Himawan menuturkan, sempat mengganti desain selama tiga kali, sehingga waktu untuk proses pembuatan terpotong. Konsep pembuatan relief Jalan Salib ini adalah relief di patung berbentuk paku berbahan dasar aluminium setinggi dua meter. Himawan pun harus membuat relief Kisah Sengsara Yesus dalam bidang yang melingkar. “Sebenarnya lebih mudah membuat relief pada bidang datar. Kali ini cukup sulit, karena reliefnya harus melingkar.”
Dalam proses pembuatan stasi-stasi Jalan Salib ini, Himawan dibantu empat orang dan beberapa tukang untuk mengerjakan tahap akhir. Himawan juga membuat karya serupa dalam ukuran kecil atau miniatur.
Belajar Yesus
Sebelum membuat relief Kisah Sengsara Yesus, Himawan mempelajari kehidupan Yesus terlebih dahulu melalui berbagai media. Ia tidak mau asal membuat relief, tanpa tahu maknanya. Ia pun menonton Kisah Sengsara Yesus melalui film Passion of The Christ. Kepala Paroki St Matias Rasul Kosambi Baru Romo Aloysius Susilo Wijoyo juga memberi Himawan sebuah buku, agar memahami kisah-kisah dalam stasi-stasi Jalan Salib. “Berkat itu semua, saya mendapat gambaran kejadian dan ekspresi Yesus dalam Kisah Sengsara,” tuturnya.
Memang, tak banyak perubahan konsep desain Jalan Salib ini. Semua konsep telah disiapkan tim perancang dari Paroki St Matias Rasul Kosambi Baru. “Saya hanya bermain di ekspresi wajah, seperti ekspresi wajah Yesus kesakitan saat jatuh atau memanggul salib,” kata Himawan. Ia mengaku, merasa sulit ketika membuat relief di stasi ke-12, yang menarasikan kisah Yesus wafat di kayu salib. “Karena ini akan menjadi pusat perhatian umat,” ujarnya.
Ketika semua karya sudah selesai, satu tantangan menghampiri Himawan. Ia cukup kerepotan saat membawa stasi-stasi Jalan Salib itu dari Yogyakarta me nuju Jakarta. “Bayangkan saja, 15 patung setinggi dua meter harus dibawa meng gunakan truk dari Yogyakarta menuju Jakarta,” ujarnya.
Namun, semua rintangan itu telah ia lalui. Himawan memang mematok target, agar semua karya stasi Jalan Salib ini selesai sebelum perayaan Natal 2014. Dan, ternyata terbukti. Kini, karya Himawan telah terpasang di halaman Gereja St Matias Rasul Kosambi Baru. Awal November lalu, stasi-stasi Jalan Salib ini telah diresmikan dan diberkati Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo. Romo Susilo Wijoyo mengatakan, Jalan Salib di gereja ini memiliki ciri yang khas, berbentuk paku. “Jadi, kalau melihat paku-paku ini, umat diajak mengingat Yesus yang dipaku di tangan dan kaki,” ujarnya.
Meskipun tak bisa hadir dalam acara peresmian itu, hati Himawan bangga. “Saya ndak hadir, tapi dikirim foto foto saat peresmian. Ada kebanggaan melihat karya saya dihargai,” ujarnya. Setelah itu, ia juga mendapat pesanan untuk membuat patung-patung stasi Jalan Salib. “Tapi, kali ini untuk dipasang di rumah, bukan di gereja,” imbuhnya.
Himawan Dwi Prasetya
TTL : Madiun, Jawa Timur, 14 Agustus 1984
Istri : Sara Preselia
Pendidikan:
• Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Karya:
• Patung Bunda Maria 10 meter di sebuah gereja di Bajawa, Flores
• Patung di Jungleland Sentul City, Jawa Barat
• Patung Gubernur Bengkulu
• Patung Logo Bengkulu
• Patung Lilin di Surabaya Carnival
• Patung Perwita Regency Yogyakarta
• Patung Yesus setinggi 20 meter di Manado, Sulawesi Utara
• Miniatur Candi Borobudur dalam International Tourism Borse, Berlin, Jerman
• Monumen Selamat Datang Tugu Mandiri Makassar
• Patung Monumen Front Lankan, Palembang
• Patung Pieta untuk gereja di Bajawa, Flores
Aprianita Ganadi
Laporan: Yosephine Ingrid K.D.