HIDUPKATOLIK.com – Tiga tahun terakhir, penulis bersama Tim Pilar Pewartaan di salah satu Paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) gencar melakukan seminar dan pelatihan katekis. Hal ini untuk mempersiapkan umat untuk menjadi katekis di Lingkungan dan/atau Wilayah. Kegiatan yang dirancang dalam beberapa kali pertemuan itu selalu dipenuhi peserta. Penulis melihat antusiasme umat menjadi katekis.
Rasa tertarik ini terafirmasi dalam survei yang kami lakukan pada 15 April 2016. Hanya ada lima persen dari total 100 responden yang sangat tidak tertarik dan 12 persen yang tidak tertarik menjadi katekis. Selebihnya terdapat 53 persen yang tertarik dan 26 persen yang sangat tertarik menjadi katekis. Sebesar lima persen responden tidak menjawab.
Keinginan menjadi katekis tampaknya dipengaruhi berbagai kegiatan kegerejaan yang selama ini diikuti. Lebih dari 50 persen responden berpartisipasi aktif dalam pendalaman iman di Lingkungan (63 persen) dan pendalaman Kitab Suci (62 persen). Sementara itu, lebih dari 40 persen responden pernah mengikuti persiapan Sakramen Perkawinan (47 persen), persiapan Komuni Pertama (47 persen), Kursus Evangelisasi Pribadi (45 persen) dan persiapan Baptis (43 persen). Berita gembiranya adalah usia responden yang masih relatif muda, yakni berkisar antara 31-60 tahun, dengan jumlah terbesar pada rentang usia 41-50 tahun (28 persen), diikuti usia 51-60 tahun (26 persen) dan 31-40 tahun (13 persen). Lima puluh persen responden adalah laki-laki, sisanya perempuan.
Dibaca dalam konteks sasaran prioritas Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta 2016-2020, “temuan” ini memperlihatkan adanya komitmen umat untuk menjadi pelayan pastoral, meskipun dengan kualitas yang masih harus diperbaiki. Mengapa demikian? Merujuk ke paroki, di mana penulis melayani sebagai katekis, pembinaan dasar dan persiapan menjadi katekis yang diselenggarakan Komisi Kateketik KAJ belum diikuti dengan pembinaan lanjutan di tingkat paroki. Di situ kita menemukan tiga isu penting yang harus dipecahkan.
Pertama, para katekis paroki umumnya tidak memiliki pengetahuan dasar kateketik yang memadai. Namun, mereka adalah orang-orang dengan semangat pelayanan tinggi. Karena itu masih harus diperkaya dengan berbagai pendidikan, seminar, dan pelatihan di bidang katekese dan metodologi, teologi, Kitab Suci, konsep-konsep dasar ilmu sosial untuk analisis sosial dan andragogi, dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan tidak hanya cetak biru pembinaan katekis paroki, tetapi juga semacam kantor atau desk dan “mempekerjakan” seorang ketua (koordinator) katekese full time.
Kedua, meskipun kegiatan katekese di paroki selama ini masih terbatas pada persiapan penerimaan Komuni Pertama dan Krisma, upaya mempersiapkan para peserta tetap dapat dimaksimalkan, misal dengan berbagai exposure ke kegiatan-kegiatan sosial dan pastoral di kalangan orang miskin, kaum marjinal, lansia, difabel, dan sebagainya. Ini dimaksud untuk menanamkan kepekaan sosial dan religius (Katolik) dalam diri calon Baptis dan Krisma. Tetapi lagi-lagi ini membutuhkan pribadi katekis yang kompeten secara akademik, sosial, dan religius.
Di Paroki penulis, kegiatan ini telah menjadi bagian integral persiapan Komuni Pertama, tetapi masih harus diperkuat dengan refleksi sosio-teologis setelahnya. Hal terakhir ini sering lolos dari perhatian yang menyebabkan kegiatan sosial di luar kelas kehilangan nilai pedagogis-katekesis, teologis, dan spiritual.
Ketiga, mempertimbangkan kapasitas akademik para katekis yang masih belum memadai, imam yang ditugaskan di paroki perlu untuk mendampingi para katekis, sekurang-kurangnya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai di bidang katekese. Dengan begitu, pendampingan tidak hanya terfokus pada aspek spiritual, tapi juga aspek akademis dan teknis (skills sebagai katekis).
Tantangan yang dihadapi para katekis semakin besar dan berat. Fakta bahwa para katekis belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, harus direspon dengan perencanaan yang baik dan komprehensif tentang pembinaan mereka. Kecuali, kalau kita ingin membiarkan nyala api antusiasme itu menjadi padam, dan kita butuh usaha ekstra untuk menghidupkannya kembali.
Yeremias Jena