HIDUPKATOLIK.com – Awalnya fokus untuk komunitas seminari, tetapi lalu menjadi majalah panggilan dan pewartaan iman Katolik. Usianya akan bertahan sampai kekal.
Jurnalisme telah hadir sebagai bagian penting dalam proses formatio (pembentukan) calon imam, sejak puluhan tahun yang lalu. Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan sebagai domus formationis (rumah formasi) bagi para calon imam, menyadari pentingnya jurnalisme dalam proses formatio. Hal tersebut diwujudkan melalui berbagai wadah yang disediakan untuk mengembangkan talenta jurnalistik para seminaris.
Wadah jurnalistik yang paling dikenal umat sebagai bagian dari formatio di Seminari Menengah Mertoyudan adalah Majalah AQUILA. Majalah ini terbit tiga bulan sekali, dengan sasaran yang dituju adalah orang-orang muda Katolik. Misi untuk menyebarkan benih panggilan di tengah-tengah orang muda, menjadi semangat yang selalu dihidupi oleh tim redaksi AQUILA. Selain itu, Aquila juga menjadi sarana untuk pewartaan iman dan memperkenalkan Seminari Menengah Mertoyudan.
Pada tahun ini, Aquila memperoleh HIDUP Awards sebagai pengguna bahasa Indonesia terbaik. Penghargaan ini tidak lepas dari konsistensi AQUILA dalam menyajikan rubrik-rubrik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Meskipun tantangan modern menuntut suatu gaya bahasa yang baru, AQUILA tetap berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang tepat. Prestasi yang diraih AQUILA tidak diperoleh secara instan. Banyak usaha yang telah dilakukan AQUILA selama 87 tahun supaya tetap hadir di tengah-tengah umat.
Bingkai Sejarah
Pada 12 Januari 1930, AQUILA lahir dengan nama “Karti Muda”. Kelahiran tersebut juga memelopori lahirnya dunia jurnalistik di Seminari Menengah Mertoyudan. Sejak Karti Muda lahir, para seminaris tempoe doeloe semakin terampil menulis, meskipun dengan sarana dan prasarana yang masih sederhana dan terbatas. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, mereka dapat menerbitkan Karti Muda dengan penjilidan yang masih sederhana.
Pada usianya yang ketiga, Karti Muda berubah menjadi AQUILA, singkatan dari Augeamus Quam Impensissime Laudem Altissimi, ‘marilah kita menambah kemuliaan Tuhan sekuat mungkin’. Secarik kalimat tersebut merupakan semboyan reflektif dari seorang seminaris bernama Soediman Kedunggubah. Pada kemudian hari, ia dikenal sebagai Nicolaus Driyarkara SJ, pendiri Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan namanya diabadikan oleh Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
Pada awalnya, AQUILA ditulis dalam bahasa Belanda, meski tetap menyertakan juga lembaran yang berbahasa Jawa. Baru pada 8 Desember 1948, AQUILA mulai ditulis dalam bahasa Jawa secara utuh. AQUILA menggunakan bahasa Jawa hingga tahun 1960-an. Setelah itu, Aquila ditulis dalam bahasa Indonesia sampai saat ini.
Mula-mula, AQUILA memang lebih memfokuskan diri untuk komunitas Seminari Menengah Mertoyudan saja, tetapi Romo Soenarwidjaja SJ mengambil inisiatif untuk mengubah AQUILA sebagai media panggilan dan pewartaan iman Katolik. Arah dan tujuan tersebut diharapkan dapat tersirat dari isi yang disajikan, yaitu mengupas permasalahan dan kepentingan umat Katolik, terkhusus kaum muda Katolik. Semenjak itu, AQUILA tidak hanya menyajikan rubrik sekitar seminari saja, melainkan lebih luas, mencakup informasi-informasi yang berhubungan dengan panggilan.
Dirindukan
AQUILA yang telah mencapai usia 87 tahun merupakan suatu hal yang istimewa bagi redaksi AQUILA. Betapa tidak? Jarang ditemui, majalah sekolah mampu bertahan hingga usia lebih dari sepuluh windu. Perjuangan AQUILA untuk terus hadir sebagai majalah panggilan, begitu panjang dan menorehkan banyak kenangan dalam benak seminaris yang pernah menyandang status sebagai seorang AQUILA-wan.
Bagi para AQUILA-wan, ada hal yang lebih mengesankan daripada kepuasan hasil penerbitan AQUILA, yakni proses yang keras dalam penyusunan naskah hingga penerbitan majalah. Kerja lembur, “memburu” penulis hingga proses penyuntingan yang begitu menguras tenaga dan waktu. Itu semua merupakan hal yang selalu dirindukan oleh para AQUILA-wan.
Rapat pembahasan tema sebagai bibit dimulainya penyusunan majalah, selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Saat itu, para AQUILA-wan akan kembali berkutat dengan kerja lembur, penyuntingan naskah, hingga perjalanan menuju tempat percetakan. Saat yang sungguh menyenangkan.
Tentu bukan hanya sekadar kerja lembur yang dicari. Lebih dalam dari itu, usaha dan gairah ini bertujuan untuk mewujudkan apa menjadi tanggung jawab bersama. Dalam ruang kerja yang relatif kecil, bagi majalah berusia 87 tahun ini, terjadi dinamika kerja yang membentuk seseorang menjadi pejuang yang tangguh.
Meskipun demikian, usia yang telah mencapai 87 tahun tidak lekas membuat segala hal menjadi sempurna. Kesalahan tipografi, ketidaktaatan pada deadline, kecacatan dalam desain, hingga sistem keuangan yang kerapkali berantakan, masih sering dijumpai. Redaksi menyadari, para seminaris yang bekerja dalam AQUILA, bukanlah kaum profesional dalam hal jurnalistik. Redaksi memandang AQUILA, sebagai sarana bagi para seminaris untuk belajar menjadi seorang jurnalis. Tentu dalam proses pembelajaran itu, kerapkali dijumpai berbagai kesalahan dalam AQUILA.
Tak Terpisahkan
Dalam menghadapi tantangan zaman, AQUILA akan terus bertransformasi menjadi majalah yang semakin dapat diterima banyak pihak, terutama orang muda. Redaksi AQUILA senantiasa terbuka dengan berbagai kritik dan saran, baik dari kalangan seminaris sendiri maupun dari umat. Redaksi memandang hal tersebut bukan sebagai beban, tetapi cambukan untuk terus hadir dengan keadaan yang jauh lebih baik.
AQUILA yang kini berusia 87 tahun, akan tetap bertahan di Seminari Menengah Mertoyudan. Semua berharap usianya akan sama dengan keabadian. Tidak ada yang dapat mengatakan kapan AQUILA akan berhenti terbit.
Tak ada yang tahu pasti kapan jurnalisme akan mati di Seminari Menengah Mertoyudan. Keduanya telah menjadi satu bagian utuh, yang tidak dapat dipisahkan. Mungkin 100 tahun, 200 tahun, atau selamanya, AQUILA dan jurnalisme akan menjadi bagian yang penting dan tak terpisahkan di Seminari Menengah Mertoyudan. Dengan semangat Augeamus Quam Impensissime Laudem Altissimi, AQUILA tetap hadir di tengah umat, terutama untuk menebar benih panggilan.
Emanuel A./Y. Maharso