HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, saya sangat stres dengan prahara yang terjadi dalam pernikahan saya. Kami menikah secara Katolik, dan belum lama ini saya dan suami telah bercerai secara sipil. Saat ini, kami sedang menununggu proses dari Gereja sekitar empat tahun. Pernikahan kami dikaruniai seorang anak laki-laki, yang sampai saat ini belum bisa berjalan. Saya mengetahui, laki-laki yang saat ini masih sah sebagai suami saya merencanakan untuk menikah lagi. Pertanyaan saya, apakah bisa menikah lagi sementara proses pembatalan nikah belum ada? Apa yang harus saya lakukan sebagai istri? Usaha saya selama ini adalah berdoa. Saya memohon agar pembatalan pernikahan kami tidak akan terjadi. Saya juga berdoa agar buah hati saya bisa berjalan. Mohon bantuan doa dan bimbingan, Romo. Terima kasih.
Theresia Pur, Lampung
Ibu Theresia, saya ikut prihatin dengan kejadian dalam rumah tangga kalian. Sayang sekali, saya tidak tahu penyebab keinginan bercerai suami Anda yang semestinya tidak boleh terjadi dalam Gereja kita. Kejadian besar itu tentu akan sangat mempengaruhi hidup pada masa depan. Saya yakin, sebagai orang beriman, kita menjunjung tinggi Sakramen Perkawinan yang suci dan merupakan tanda kehadiran Allah dalam dunia ini. Pengaruhnya terutama kepada hidup bersama, pengasuhan anak, dan masalah sosial lain.
Perceraian dalam Gereja Katolik tidak direstui dan itu jelas disampaikan pada saat pernikahan dipersiapkan dan dilakukan. Hukum yang jelas ini harus dipahami bukan hanya sebagai hukum tertulis, melainkan tuntutan moral dan iman Katolik yang wajib diikuti semua pasangan di seluruh dunia. Bila yang terjadi sebaliknya, maka otomatis subyek pribadi itu melawan hukum Gereja dan dapat terkena ekskomunikasi atau dikeluarkan dari komunitas Gereja Katolik dan tidak dapat menerima komuni kudus pada perayaan Ekaristi.
Setiap peristiwa menyangkut kedua pihak. Beberapa hal yang memicu adalah komunikasi yang buruk, kurangnya waktu bersama, hubungan yang terlalu formal dan kurang hangat, atau tergodanya salah satu pihak atau keduanya pada pihak ketiga (selingkuh).
Mengenai anak yang belum dapat berjalan, sebenarnya bisa menjadi tanda “permintaan” Tuhan agar kalian saling memperhatikan dan saling mencintai. Seringkali Tuhan berbicara melalui banyak hal, terutama peristiwa hidup di sekitar keluarga kita. Jika karena masalah anak ini maka ia pergi, suami Anda bukanlah seorang yang bertanggung jawab.
Menurut adat Gereja Katolik, usaha persatuan adalah yang pertama harus dilakukan terkait masalah keluarga. Dengan kasih sayang Gereja akan menempuh beberapa hal ini: menyediakan pastoral perkawinan, konsultasi, dan advokasi. Jika tidak berhasil, dapat menempuh jalur pisah ranjang sementara waktu agar kedua pihak berpikir.
Akhirnya, jika memang tidak dapat lagi bersatu, tribunal keuskupan akan membantu mencari kebenaran dan keadilan berupa pernyataan tidak sahnya perkawinan berdasarkan pembuktian tribunal atau pemutusan ikatan tertentu, seperti perceraian sipil. Tetapi perceraian sipil tidak secara otomatis memutuskan ikatan perkawinan Katolik.
Biasanya Gereja akan mendukung perpisahan sementara waktu untuk menjamin keputusan yang dewasa dan atau memang kehidupan bersama terlalu berat dan berbahaya jika diteruskan. Halhal seperti ini tidak diputuskan berdasarkan keyakinan moral satu pihak saja, melainkan kedua pihak dan pihak-pihak lain seperti tim tribunal yang mencari peneguhan dari berbagai sisi untuk memastikan bahwa perkawinan perlu dibatalkan.
Ingatlah bahwa keputusan tribunal atas pembatalan nikah tidak mempunyai akibat hukum sipil, misalnya keabsahan anak-anak, atau soal pembagian harta. Hal demikian ini diatur oleh hukum sipil. Akan tetapi seorang Katolik baru dapat menikah lagi jika surat keputusan pembatalan sudah dikeluarkan oleh tim tribunal Gereja, sehingga perkawinan baru dapat disahkan. Semoga informasi ini dapat menginspirasi Anda mengambil keputusan terbaik. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF