HIDUPKATOLIK.com – Keberagaman agama, suku dan budaya, bisa membuat seseorang menjadi orang asing bagi yang lain. Jalan bernama perjumpaan dapat menenun keragaman.
Romo Felix Supranto SSCC dan K.H. Muhammad Ardani duduk berdampingan di sebuah ruangan di Pastoran Paroki St Odilia Citra Raya, Keuskupan Agung Jakarta. Romo Felix bercerita soal kunjungan terbarunya ke Pondok Pesantren Darul Falaahiyyah Assalafiyyah,
asuhan Kiai Ardani. “Anak-anak bersemangat sekali, ada yang mau jadi pilot, bupati, dan pramugari. Tapi kok, tidak ada yang mau menjadi pemimpin pesantren ya?” tanya Romo Felix kepada Kiai Ardani.
Lantas, Kiai Ardani menjawab; Romo Felix harus menanyakan itu kepada para santri. Pasti mereka ada yang mau. “Kalau anak-anak putri (santriwati), Romo harus tanya; Adakah yang mau menjadi istri Kiai? Pasti ada yang mau.” Sontak seisi ruang tertawa keras.
Silatuhrami Persaudaraan
Romo Felix menyebut Kia Ardani sebagai saudaranya, pun sebaliknya. Hal itu memang tampak dalam perbincangan mereka yang tanpa sekat, bahkan penuh dengan canda. Tetiba, Kiai Ardani mohon pamit untuk salat duhur. Romo Felix bertanya, apakah membawa sajadah? Tanpa menunggu jawaban, Romo Felix meminta Vinsensius Susanto,
salah satu aktivis Seksi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Paroki Citra Raya untuk
mengambil sajadah bagi Kiai Ardani.
Romo Felix memiliki segudang karya soal merangkai tenun kebhinnekaan. Hal inilah alasan, ia diminta Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk membagikan cerita “karya bhinneka”-nya pada hari studi para Uskup dalam Sidang KWI dua pekan lalu.
Di hadapan para Uskup, Romo Felix menyajikan giat lakunya di Bumi Banten. Sejak awal ditugaskan di Paroki Citra Raya, Romo Felix sadar akan suasana Banten yang Islami. Banten merupakan daerah para ulama dan santri, dengan begitu banyak pesantren. “Saya menyadari, para ulama adalah pemimpin informal masyarakat. Para lurah, camat, dan bupati meminta nasihat mereka dalam mengambil keputusan.”
Karena nuansa Islami sangat kental, maka di luar Islam bisa menjadi sesuatu yang asing. Romo Felix tegas mengatakan, itu bukan salah mereka, tetapi kecenderungan minoritas (baca-Katolik) yang merasa nyaman dengan diri sendiri; nyaman untuk bergaul sesama komunitas.
Romo Felix juga menyadari, para santri adalah pemimpin masa depan. Karena itu, Romo Felix juga meminta umat untuk berkontribusi bagi pembentukan para pemimpin masa depan itu. Umat mesti menjadi “minoritas kreatif” untuk mengenalkan identitas Katolik kepada masyarakat.
Jalan untuk mengenal satu sama lain itu bernama “perjumpaan” atau silahtuhrami. Perjumpaan, kata Romo Felix, tidak bisa hanya sekali. “Perjumpaan pertama menimbulkan
penasaran; siapakah romo itu? Perjumpaan kedua menimbulkan kerinduan; kapan datang lagi? Perjumpaan ketiga mengikat persaudaraan.”
Buah dari prinsip ini, Romo Felix bergaul karib dengan K.H. Edy Djunaedi Nawawi, yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Tangerang. Kadang hanya untuk makan bersama, Romo Felix harus menempuh perjalanan tiga jam, menuju pesantren milik Kiai Nawawi. “Orang banten kalau sudah diajak makan, apalagi di rumahnya, berarti sudah akrab.”
Romo Felix diangkat menjadi adik angkat Kiai Nawawi. Kata Romo Felix, ungkapan tak kenal maka tak sayang itu sungguh benar. Sebagai adik angkat, Romo Felix selalu punya tugas dalam setiap acara sang kakak. “Saya jatah sebagai penerima tamu dan seksi konsumsi. Kadang saya pakai jubah, ngga masalah.”
Pun begitu dengan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Tangerang K.H. Masmi. Jika Kiai Masmi memanen hasil kebun, Romo Felix pasti mendapat jatah. “Saya sering makan siang di sana.”
Romo Felix juga bergaul dengan pihak pemerintah. Ia juga bergaul dengan para tokoh pemuda dan ormas Islam. Kata Romo Felix, menenun kebhinnekaan tidak membutuhkan karisma khusus. Setiap orang bisa melakukannya. Tapi bisa mulai dari hal sederhana, contoh minum kopi dan begadang bersama. Persaudaraan, kata Romo Felix, hanya membutuhkan ketulusan dan pengorbanan waktu.
Rumah Besar
Romo Felix tidak sekadar berjumpa. Ia masuk dan mengenal anggota keluarga para tokoh yang ia kenal. “Saya kenal keluarga mereka, tinggal di mana, anaknya siapa, kuliah di mana. Saya kenal satu per satu. Anak-anak mereka juga akrab dengan saya.”
Perjumpaan yang meluas berdampak pada bertambahnya kepercayaan. Romo Felix kerap diminta ormas Islam untuk menjadi pembicara. Di sisi lain, Kiai Ardani mengajak anak muda Katolik bermain musik dan konser kebhinnekaan dengan para santri. “Sehingga kaum muda Katolik menyadari bahwa Islam adalah agama yang ramah bukan pemarah. Menjaga dan bukan menjegal,” jelas Romo Felix.
Para santri, harus dimengerti sebagai calon pemimpin bangsa ini. Umat Katolik mulai memiliki kesadaran baru untuk berpartisipasi dalam membangun pesantren. Selain perjumpaan, gotong royong merupakan benang dalam menenun kebhinnekaan. Umat katolik harus melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat. Toleransi harus dirawat dengan semangat kekeluargaan dan jiwa gotong royong.
Sepenarian dengan Romo Felix, Kiai Ardani menyebut, Indonesia adalah rumah bersama di mana penghuninya bisa hidup dengan nyaman dan rasa bangga. Kebhinnekaan, lanjut Kiai Ardani, mesti menjadi nilai yang tertanam dalam diri setiap putera bangsa. Karena itu, Kiai Ardani meminta para santrinya untuk menjadi pribadi yang merangkul perbedaan. “Indonesia ini dibangun tidak oleh satu warna, agama, atau satu suku. Kita harus menghormati arti kebhinnekaan itu.”
Pada Minggu, 26 November, Kiai Ardani akan memberikan ceramah kerukunan di Paroki Citra Raya. Bahkan, saat ini para tokoh agama dan pemerintah Kabupaten Tangerang berencana membentuk “dusun kerukunan” di wilayah Paroki Citra Raya. Romo Felix menambahkan, dalam kesempatan ini akan ada bimbingan belajar kebangsaan, kerja bakti, melesatarikan adat istiadat, hingga hari kerukunan.
Upaya menenun kebhinnekaan juga kita temui di Ambon. Adalah Josep Matheus Rudolf Fofid, yang menggalang aksi damai sejak konflik Ambon pecah. Opa, begitu ia disapa, mendirikan Tim Relawan Kemanusiaan bersama-sama dengan empat belas rekan sesama wartawan. Opa bersama timnya menerobos blokade-blokade agama untuk memberi bantuan makanan atau mengevakuasi pengungsi.
Opa juga menganimasi event-event yang melibatkan orang muda dari berbagai genre seni. “Jadi dalam satu panggung ada yang melukis, main teater, membaca puisi, menyanyi dan sebagainya. Di situ mereka bisa berkenalan. Di panggung bersama tidak ada agama ini atau itu. Yang ada hanyalah orang-orang yang ingin hidup damai.”
Bergandengan tangan menenun kebhinnekaan juga bisa menjadi senjata melawan ketidakadilan. Di Semarang, Romo Vincentius Kirjito berhasil menghentikan penambangan
pasir di kawasan Merapi. Bersama seniman, aktivis budaya dan pemuka agama setempat, Romo Kirjito kemudian meluncurkan program anti penambangan pasir. Romo Kirjito menggelar berbagai pertunjukan budaya dan seni untuk memperlihatkan dampak buruk kapitalisme terhadap wilayah pegunungan. “Dalam seni dan budaya tidak ada sekat-sekat agama. Kesenian Merapi telah menjadi pengikat untuk sebuah gerakan melawan eksploitasi alam Merapi,” ujar Romo Kirjito.
Edward Wirawan