HIDUPKATOLIK.COM – “Ya Bapa, semoga dalam suasana perayaan Natal ini kami tak melupakan mereka yang terpencil dan menderita”
[kilas balik Hidup edisi-51 hal.10-11, 21 Desember 2008]
INILAH doa yang membuat Agustina Bota Kedang akrab disapa Agustin (38 tahun), perempuan yang sehari-hari menjadi pembantu rumah tangga di sebuah keluarga di Singapura merenung dan merinding. Doa ini didengar setiap kali dia mengikuti Misa Natal.
“Hati saya sangat sedih. Doa ini dimohon pada Tuhan untuk memulangkan para perantau.
Saya hanya bisa berdoa, bahwa suatu hari Tuhan akan menuntun saya pulang juga ke kampung halaman saya. Saya menanti kepulangan saya …” ujarnya.
Apakah Agustin yang lahir di Lewoleba, Lembata, Flores ini sangat menderita di tempat perantauan ini? Tampaknya tidak. “Majikan saya sangat baik dan punya toleransi yang sangat tinggi. Saya selalu mendapat kesempatan off-day di hari Minggu. Di hari Natal saya diberi hadiah dari majikan. Bahkan ulang tahun saya dirayakan,” tuturnya.
Bukan hanya hiburan pasif – yang ia terima dari majikan –Agustin yang giat sebagai anggota Legio Maria di negeri ini, mendapatkan hiburan aktif. “Yang membahagiakan adalah saya juga bisa mengunjungi dan menghibur orang sakit asal Indonesia yang sedang berobat di Singapura.”
Meski demikian merayakan Natal di perantauan tetap terasa kosong.”Walau kita bisa merayakan Natal dengan meriah di sini, tetapi hati saya sepi. Jauh dari kampung halaman dan jauh dari keluarga,” demikian kisah Maria Eliana Wunu alias Alice, asal Ende (Flores), yang sudah merantau enam tahun dan sekarang juga tinggal di Singapura.
Mengapa merantau
Mengapa memilih merantau dan kemudian memendam kerinduan sedemikian mengigit pada keluarga. Ini jawaban Alice, “Saya ingin memperbaiki hidup saya dan masa depan keluarga saya di Flores. Saya ingin meringankan beban ekonomi mereka. Dengan merantau ke Singapura, saya sudah membiayai sekolah adik-adik saya, di samping membangun sebuah gubuk kecil untuk mama”.
Jawaban Alice menjadi jawaban hampir semua migran, entah itu di Nunukan, Batam, Singapura, Malaysia, Hong Kong, atau berbagai tempat lain. Mereka ingin sedikit melepaskan dari himpitan ekonomi. Untuk itulah mereka pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Tetapi hanya untuk sementara. Kerinduan akhir mereka hanyalah satu: suatu saat mereka boleh kembali pulang ke rumah.
Ketika ditanya mengenai makna Natal, Valentino Masang Wolo (41) – asal Adonara, NTT – yang bekerja di Nunukan, berkata, “Kelahiran Yesus yang menebus dosa kita. Yesus lahir untuk diriku dan saudara-saudaraku. Saya merasa diperbarui dan kenangan Natal di kampung teringat kembali”.
Makna Natal tidak pernah dilepaskan dari kerinduan pada kampung halaman dan handai taulan terdekat. Maria Lucia Pudjiastutik – dipangigil Tutik (51 tahun) — sudah tujuh belas tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura. Belasan tahun di negeri orang, Tutik, asal Surabaya, merenung pengalaman apa yang membuatnya bahagia, “Saya bahagia kalau sedang di rumah. Kumpul dengan anak dan cucu-cucu”.
Tutik ingin berhenti kerja. Dia merasa sudah sangat capai. Dia suatu saat ingin pulang, dengan membawa modal sedikit untuk usaha kecil-kecilan. Asal cukup untuk makan dan berobat kalau sakit.
Mengapa pulang
Para pekerja sederhana pergi dari rumah kerap dengan membawa berbagai kesulitan. Fransiska Suswanti, bekerja di Singapura, meninggalkan keretakan hidup keluarga dan problem ekonomi.
“Satu tahun yang lalu, di pagi itu saya melahirkan anak saya, dan keesokan harinya saya harus hadir dalam sidang terakhir perceraian dari mantan suami saya. Dengan rendah hati saya doa rosario tiap malam dan mohon agar Tuhan mengampuni dosa-dosa saya,” Siska – sapaan akrab Fransiska Suswanti.
Masyarakat perantau bukan gejala baru. Bahkan dalam Kitab Suci, Abraham dikatakan
meninggalkan kampung halamannya di tanah Ur dan mengikuti panggilan Tuhan (Kej 11:28). Lewat proses yang berliku-liku, diperjualbelikan, Yusuf – anak Yakub dan Rakhel – merantau ke tanah Mesir.
Tentu ada persamaan sosial-kultural-ekonomi dari masa ke masa yang hendak menjelaskan gejala perantauan. Tetapi fenomena sekarang ini khas. Dengarkan doa dan harapan Siska untuk Natal tahun ini, “Saya berdoa, semoga Tuhan selalu membuka hati setiap umatnya, untuk saling mengasihi, dan peduli pada orang-orang miskin … Dengan
keadaan krisis ekonomi dunia saat ini, semoga mereka sabar, tabah, dan dikuatkan …”
Krisis ekonomi dunia
Siska menyebutkan ‘krisis ekonomi dunia’ dalam doanya. Dalam pencarian yang lebih
dalam akan kita temukan akar persoalan yang jauh lebih kompleks dari apa yang diungkapkan ibu dari dua anak berumur 39 tahun asal Kendal, Jawa Tengah ini.
Inilah sistem ekonomi dunia yang telah mencerai-beraikan anggota keluarga, suami
dan isteri, orangtua dengan anak, sahabat dekat. Inilah realita yang memisahkan kita dari
orang yang paling kita cintai. Bahkan ketika ia meninggal kita tidak mungkin berada di
sampingnya. Lagi cerita dari Siska, “Saya tidak diizinkan oleh majikan pulang kampung
ketika mendengar berita duka bahwa orangtua saya meninggal”.
Semua orang pergi dan membuat keputusan untuk merantau karena alasan ekonomi dan
uang. Kerinduan personal tidak pernah terpuaskan dengan uang. Kalau begitu banyak orang pergi dan berkorban sedemikian banyak dengan alasan ekonomi, kita bertanya-tanya: apa yang salah dengan masyarakat kita?
Pernyataan ini menjadi terasa ironis karena di tengah-tengah kita berlangsung perkembangan yang sangat menakjubkan: pembangunan gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan di mana-mana, perkembangan teknologi komunikasi yang hampir tidak ada batasnya, dan berbagai tempat kemewahan yang dijumpai di banyak tempat.
Memahami kaum migran ini kita harus meletakkan dalam konteks luas. Orang-orang ini
menikmati mobilitas yang sangat tinggi. Syukur kepada Allah dengan adanya teknologi komunikasi dan transportasi yang canggih. Namun semua kemajuan ini adalah semu untuk mereka. Masyarakat bawah ini tidak pernah menjadi pelaku. Mereka penikmat, dan sesudah menjadi penikmat, mereka menjadi kurban.
Kemajuan menguntungkan untuk para pelaku, yaitu mereka yang memiliki modal yang
tinggi, berpengetahuan mendalam. Sebaliknya, adalah orang miskin, cacat, buruk rupa, pengetahuan terbatas, mereka selalu diombang-ambingkan oleh kepentingan ekonomi dunia.
Nampaknya saja, para kaum migran ini menikmati apa yang disebut ‘globalisasi’. Mereka
bisa merantau ke berbagai penjuru dunia, dengan menggunakan pesawat terbang kesana kemari. Yang sesungguhnya, mereka hanya menikmati gejala permukaan saja dari globalisasi. Mereka tidak pernah benar-benar tertanam dan memahami kebudayaannya. Tidak mengherankan, yang berlangsung adalah keterasingan. Mereka selalu ingin pulang ke kampung halaman.
Kelahiran Yesus adalah realisasi Sabda yang menjadi Daging. Yesus yang adalah Sang Penyelamat seluruh umat manusia hadir dan terikat dalam kebudayaan tertentu, khususnya Yahudi. Dia tertanam dan menghayati kebudayaan ini.
Kedalaman ini ternyata kemudian menjadi sangat berguna sebelum mengambil sikap kritis terhadap kebudayaan ini. Dia melampaui keyahudiannya tanpa harus tercerabut dalam kebudayaan lokal. Sebuah semangat yang kemudian dilanjutkan oleh para murid-murid-Nya.
Proses dari orang-orang yang sedang kita bicarakan ini terbalik. Kita tidak pernah benar-benar memahami dan menghayati kebudayaan kita. Ketika kita keluar dari kebudayaan lokal, masyarakat kita langsung menyerap kebudayaan baru. Lagi-lagi yang diserap dari kebudayaan baru ini pun hanya “wah”-nya, gebyarnya, tidak pernah benar-benar masuk ke dalam roh kemoderenan ini. Kita dilucuti oleh kebudayaan baru, sementara kita belum menginternalisasi identitas kebudayaan lokal dari mana kita berasal.
Greg Soetomo, SJ/Merry P
(ab)