HIDUPKATOLIK.com – Masa kepausannya ditandai kemelut dalam Gereja. ia menjaga kemurnian ajaran Gereja dari rongrongan bidaah Donatisme, Pelagianisme, Manikeisme, dan Novatianisme.
Tahun 430, Paus menggelar Sinode di Roma. Sinode itu menelurkan kutukan dan hukuman ekskomunikasi atas kesesatan Uskup Agung Konstantinopel, Mgr Nestorius (386-450). Bapa Suci memerintahkan Patriark Alexandria, Cyrilus I (376-444) untuk mengeksekusi keputusannya atas Mgr Nestorius. Jika dalam sepuluh hari Mgr Nestorius tidak menulis pernyataan tobat, mengakui kesesatan, dan memohon ampun kepada Takhta Suci, ia akan dilengserkan dari Takhta Konstantinopel dan diekskomunikasi.
Dalam dekrit hasil sinode itu, Paus tak hanya menulis kepada Mgr Nestorius, tapi juga kepada seluruh klerus dan umat di Konstantinopel. Ia juga menyebut beberapa tokoh yang dinilai telah terkontaminasi bidaah Pelagianisme, seperti Patriark Antiokhia, Yohanes I (†442); Uskup Metropolitan Yerusalem, Mgr Juvenal (†458) yang kelak menjadi Patriark Yerusalem (422-458) pasca Konsili Kalsedon (451); Uskup Thessalonika, Mgr Rufus; dan Uskup Caesarea Philippi, Mgr Flavianus.
Pelagianisme adalah paham yang mengajarkan bahwa hakikat manusia sebagai ciptaan Allah tidak rusak oleh dosa asal. Paham yang diajarkan seorang rahib asal Inggris, Pelagius (360-418) ini menekankan, bahwa manusia dapat memegang kendali penuh atas dirinya, sehingga tak butuh pertolongan rahmat Allah untuk melakukan kebaikan. Implikasinya, Sakramen Baptis tak terkait dengan kualitas pengampuan dosa karena dosa asal tidak ada. Doktrin ini mengurangi peran rahmat Ilahi dalam proses keselamatan umat manusia. Dalam sejarah, ajaran Pelagius dinilai sebagai bidaah dalam Konsili Kartago (418).
Itulah secuil kisah perseteruan antara Roma dengan Konstantinopel, yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Paus Celestinus I. Sangat sedikit informasi tentang kehidupannya sebelum menjadi Paus. Paus berdarah Roma ini lahir di Campania, Italia barat daya. Ayahnya bernama Priscus. Konon, ia sempat hidup bersama St Ambrosius (340-397) di Milan, Italia. Dalam dokumen Paus Innocentius I (†417) tahun 416, Celestinus disebut sebagai diakon. Sejak menjadi Diakon Roma, Celestinus sudah menjadi figur terhormat di kalangan Gereja. Buktinya, tahun 418, Uskup Hippo, St Agustinus (354-430) menulis sebuah surat kepada Celestinus dalam bahasa yang sangat hormat. Saat terpilih menjadi Paus menggantikan Paus Bonifasius I (†422) pada 10 September 422, ia masih seorang diakon.
Persiapan Konsili
Pada 428, Mgr Nestorius naik takhta sebagai Uskup Agung Konstantinopel, menggantikan Mgr Sisinnius I (†427). Awalnya, Paus begitu puas dengan Mgr Nestorius, seperti terungkap dalam suratnya kepada Penerus Takhta St Andreas. Namun, seiring waktu kebijakan Mgr Nestorius mulai dipertanyakan. Dengan sengaja, ia menerima penganut Pelagianisme yang telah diusir dari Roma di wilayah yurisdiksinya.
Lalu, tersiar kabar bahwa Mgr Nestorius mengakomodasi ajaran Pelagianisme. Mendengar berita itu, Paus Celestinus I memerintahkan Patriark Cyrilus I mengivestigasi rumor itu. Dalam penyelidikan, Patriark Cyrilus I menemukan, bahwa Mgr Nestorius secara terbuka telah menyatakan keberpihakan kepada Pelagianisme. Laporan itu menggerakkan Paus untuk menggelar sinode di Roma tahun 430. Akhirnya, tugas Patriark Cyrilus I menghasilkan ekskomunikasi kepada Mgr Nestorius dan pemulihan kembali beberapa takhta dari para uskup yang menyatakan kesetiaan kepada Takhta St Petrus.
Konon, Sinode Roma itu disinyalir sebagai persiapan Konsili Ekumenis Efesus (431). Konsili Efesus digelar oleh Kaisar Theodosius II (401-450) pada Juni-Juli 431 di Basilika St Maria Efesus, Anatolia (kini Selçuk, Turki). Paus mengirim delegasi khusus untuk Konsili itu, yaitu Mgr Arcadius, Mgr Projectus, dan Pater Philippus. Pater Philippus ditugaskan membantu Patriark Cyrilus I yang menjadi pimpinan konsili. Delegasi Paus itu tak hanya menjadi peserta, tapi mereka memiliki hak istimewa untuk menilai dan memutuskan perkara yang dibahas atas nama Paus Celestinus I. Konsili ini berhasil menggulung habis Coelestius dari Italia, kolega dan pimpinan para murid Pelagius (360-418). Ia juga mengutuk Pelagianisme sebagai bidaah.
Lawan Bidaah
Masa kepausan Celestinus I diwarnai aneka kemelut dalam Gereja dan ancaman bangsa barbar ke jantung Kota Abadi. Sebutan “barbar” muncul karena bangsa-bangsa itu tak berbicara menggunakan bahasa Latin seperti orang Roma. Ia gigih melawan Novatianisme. Novatianisme adalah sekte yang diajarkan Novatian (200-258), seorang imam yang menjadi antipaus pada 251-258. Ia menolak orang-orang yang ingin kembali ke pangkuan Gereja karena sebelumnya telah menyangkal iman atau murtad. Selain murtad, ada beberapa dosa yang tak dapat diampuni, seperti pembunuhan, perzinahan, dan penyembahan berhala. Sinode Roma (251) mengutuk ajaran dan mengekskomunikasi Novatian dan pengikutnya karena menolak hak serta otoritas Gereja dalam pengampunan dosa (Sakramen Tobat).
Selain itu, Paus Celestinus I berjibaku memerangi bidaah Manikeisme. Manikeisme adalah sistem agama yang didirikan Mani (216-274) di Persia sekitar paruh kedua abad III, yang mengajarkan bahwa dalam kehidupan ini selalu terjadi konflik permanen antara kekuatan terang dan kekuatan gelap. Ajaran ini juga menggabungkan beberapa konsep, seperti dualisme Zoroaster, etika Budhisme, mitos-mitos Babilonia kuno, dan Kristiani, tetapi menolak konsep “dosa” dalam agama Kristen. Maka, Gereja menilai sebagai bidaah.
Bahkan, Bapa Suci juga menangkis ajaran Donatisme yang berkembang dalam Gereja. Donatisme adalah ajaran yang disebarkan Uskup Kartago, Mgr Donatus, sekitar abad IV. Aliran ini berpendapat bahwa Gereja hanya terdiri dari kumpulan orang-orang suci. Maka, sakramen yang diterima tidak sah jika klerus yang menerimakan pernah berdosa, sehingga harus diadakan upacara penerimaan ulang. Padahal, Gereja Katolik mengajarkan, bahwa sakramen yang diterimakan tetap sah, meskipun klerus yang melayani dalam keberdosaan, karena keabsahan sakramen tak tergantung dari kesucian pelayannya, tetapi rahmat Allah.
Dengan karakter tegas sekaligus lembut, Paus Celestinus I mampu menjadi nahkoda Gereja dengan baik. Ia memegang teguh ajaran dan hak-hak Gereja, serta membela martabat Takhta Suci. Berkat bantuan Aelia Galla Placidia (388-450), istri Kaisar Constantius III (†421), melalui putranya, Kaisar Valentinianus III (419-455), Paus dibantu mengusir para pengikut Manikenisme dan bidaah lainnya dari Roma.
Paus Celestinus I juga merestui Uskup Auxerre (kini Keuskupan Agung Sens-Auxerre, Perancis), St Germanus (378-448) dan Uskup Troyes, Perancis, St Lupus (383-478). Mereka diutus para uskup Gallia ke Inggris untuk menumpas Pelagianisme. Inggris adalah kampung halaman Pelagius. Pada 429, mereka berhasil menumpas Pelagianisme di Inggris.
Tak Kenal Lelah
Paus Celestinus I tak pernah lelah menegakkan hak Takhta Suci atas Gereja universal. Setidaknya, ia menulis 16 dekrit dan beberapa dokumen lain, seperti diskursus tentang Nestorianisme yang disampaikan dalam Sinode Roma (430).
Pada akhir masa kepausan, ia secara resmi mengutus St Patrick (387-461) ke Irlandia untuk karya misi. St Patrick diharapkan membantu Uskup Irlandia, Mgr Palladius (408-461), yang sudah lebih dulu bermisi. Sebelum diutus, Mgr Palladius ditahbiskan sebagai Uskup pertama Irlandia di Roma oleh Bapa Suci. Setelah beberapa abad, benih-benih iman Katolik yang ditabur para utusan Paus Celestinus I ini pun berbuah melimpah.
Di Roma, Paus Celestinus I merestorasi dan mempercantik Gereja St Maria in Trastevere yang pernah dijarah bangsa Goth dan Gereja St Sabina. Selain itu, ia menghiasi Katakombe St Priscilla dengan lukisan suasana Konsili Efesus.
Paus pertama inisiator “introitus”, yaitu kutipan Mazmur yang didaraskan pada awal Misa ini wafat pada 26 Juli 432. Selama bertakhta, ia menunjukkan gaya kepemimpinan yang penuh semangat dan sering menghadapi oposisi dari aneka bidaah. Gereja memperingatinya tiap 6 April. Jenazahnya disemayamkan di Katakombe St Priscilla di Via Salaria, yang telah ia restorasi. Pada 820, Paus Paskalis I (†824) memindahkan jazadnya ke Basilika St Prassede. Konon, sebagian relikuinya juga tersimpan di Katedral St Petrus Mantua, Lombardia, Italia utara.
R.B.E. Agung Nugroho