HIDUPKATOLIK.com – Bermula dari mesin jahit pinjaman dan sepetak kios, ia mengembangkan usaha. Kini, ia punya sepuluh karyawan di usaha jelujurnya. Semua bagian dari rencana Tuhan.
Natalia Sustiana menekuni kursus menjahit sejak duduk di bangku kelas 1 SMP. Pada siang hari, selepas pulang sekolah, Sustiana langsung bergelut dengan kain dan benang. Sayang, keterampilan yang ia tekuni sejak mengenakan pakaian “putih abu-abu” itu, tak berumur panjang. Begitu menikah, istri Mikhael Subagiyo ini banting setir. Ia membuat dan menjajakan kue karena tuntutan ekonomi.
Dalam benak Sustiana kala itu, mengolah dan menjual satu loyang penganan, lebih cepat ketimbang menghasilkan satu lembar pakaian. Tak cuma waktu, harga bahan dasar kudapan juga lebih murah daripada membeli kain beserta “printilannya”. Seiring waktu, usaha Sustiana itu tak lagi menjanjikan. Para pelanggan kuenya kian surut seiring semakin variatif jajanan pasar, serta kehadiran toko atau ritel hingga ke pelosok.
Suatu ketika, sang suami bertanya kepada dia. Pertanyaan itu seperti guyuran air dingin, yang sangat mengagetkan dan membangunkan dari “tidur” panjangnya. “Bu, katanya kamu bisa menjahit, mengapa tidak dikembangkan lagi? Coba (kamu) tekuni kembali dan kembangkan bakat menjahit itu,” ungkap Sustiana, mengutip perkataan suaminya.
Hati Terusik
Hati Sustiana terusik mendengar pertanyaan suaminya. Kata-kata itu seakan menyemai asa untuk menegakkan fondasi ekonomi keluarga dengan sumber rezeki baru. Sekaligus, ia dapat membangunkan kembali keterampilan jahit yang sudah sangat lama tak ia sentuh. Meski semangat telah membuncah, Sustiana mafhum, tak ada mesin jahit di rumahnya. Langkah awalnya adalah meminjam alat itu kepada tetangga.
Pikiran untuk mengembangkan usaha jahit terus bergelayut di benak. Ia semakin optimistis, ladang baru itu bakal berbuah ranum. Saat itu ia mengamati, banyak tetangganya harus pergi jauh dan merogoh kocek lebih dalam, hanya untuk menjahit pakaian, seragam, dan lain-lain. Pelan-pelan, Sustiana memberanikan diri mendatangi para tetangganya.
Ia menawarkan jasa jahitan kepada mereka. Dua tahun berjalan, usaha Sustiana mulai dilirik banyak orang. Para pelanggan jahit Sustiana pun bermunculan. Berbekal tekad kuat dan keyakinan sanggup mengembangkan usaha, ia membeli alat obras dan pres kancing. “Meski mesin jahit masih berstatus meminjam saat itu,” ujar Sustiana.
Berkat kegigihan, Sustiana berhasil membeli mesin jahit tetangga yang telah lama menjadi “teman kerjanya” itu. Mesin itu ia beli dari pundi-pundi usaha jahitnya. Namun, seperti ombak, yang begitu besar kala di tengah laut namun mengecil saat sampai di bibir pantai, demikian juga bisnis jahit Sustiana. Semula banyak orang datang ke rumahnya sambil membawa bahan jahitan, tapi seiring waktu usaha itu semakin meredup.
Setelah tujuh tahun duduk manis di belakang mesin jahit, Sustiana merasa usaha itu tak terlalu menyuntik perubahan bagi ekonomi keluarganya. Tapi, ia urung menghentikan usahanya itu. Ia mencoba peruntungan di wilayah baru yakni Kota Gajah, Lampung Tengah. Sembari menyambung usaha jahit di tempat baru, sang suami tetap pulang-pergi Kota Gajah-Jabung, Lampung Timur, sebagai juru service elektronik. Enam jam Subagiyo habiskan dalam perjalanan setiap hari.
Di Kota Gajah, Sustiana dan keluarga tinggal di kontrakan. Beruntung tempat tinggalnya berhadapan dengan sekolah. Sehingga selain membuka jasa menjahit dan menjajakan benang serta kain, Sustiana juga menjual seragam dan perlengkapan sekolah. Sejak awal, Sustiana membidik konsumennya berasal dari lingkungan sekolah. Dalam perkembangan waktu, berkah itu pun turun kepada mereka. Pelanggan mulai ramai kembali dan roda usaha Sustiana melaju mulus.
Langgar Perjanjian
Saat usaha Sustiana mulai berkembang, masalah baru muncul lagi. Persoalan yang ia hadapi soal perjanjian rumah kontrakan yang mereka tempati. Perjanjian semula antara Sustiana dengan pemilik kontrakan adalah empat tahun. Namun, belum sampai masa kontrak habis, pemilik memutus perjanjian sepihak. Alasan pemilik, rumah tersebut akan dihuni oleh anaknya. Tak hanya sekali, peristiwa semacam dialami Sustiana untuk kedua kalinya.
Tak pelak, kejadian-kejadian ini menjadi beban baru bagi Sustiana di tengah perjuangannya merintis usaha dari bawah. Padahal, ia baru mengisi stok barang, membeli satu mesin jahit baru, dan menggandeng satu pekerja. Tapi, ia dan keluarga tak bisa berbuat apa-apa. Dengan perasaan amat berat, sedih, dan kecewa mereka hengkang dari tempat itu. Beruntung, mereka tidak lama menemukan tempat baru. Di sanalah Sustiana kembali menyambung asa usahanya yang sempat dirundung berbagai masalah.
Benar kata pepatah, di balik awan gelap, ada matahari yang bersinar cerah. Subagiyo nekad meminjam uang dari bank untuk membeli sebuah kios. Bangunan berukuran 3×4 meter itu ia fungsikan secara ganda, tempat tinggal keluarganya sekaligus usaha sang istri.
Sebagai umat Paroki St Paulus Kota Gajah, Subagiyo dan Sustiana tidak mau meninggalkan salah satu dasar hidup rohani mereka, yaitu doa lingkungan. Sempat terbersit dalam benak pasangan itu, bila mereka ketempatan doa lingkungan, rumah mereka tak sanggup menampung jumlah umat yang ikut kegiatan itu. “Rumah kami sempit,” ujar Sustiana.
Kegundahan mereka akhirnya terjawab setelah dua tahun. Subagiyo membobol satu ruangan kios untuk menampung umat lingkungan. Pada tahun itu juga Subagiyo juga pindah tempat kerja. Demi mendukung usaha istri, ia belajar bordir. Aller anfang ist schwer, demikian kata orang Jerman. ‘Setiap permulaan adalah sulit’. Ungkapan itu amat diamini oleh Subagiyo. Ia yang dulu terbiasa mengutak-atik mur dan kabel, kini harus berhadapan dengan kain dan benang.
Subagiyo tak patah arang dan malu. Semua ia lakukan demi membantu pekerjaan belahan jiwanya. Berkat ketekunan dan keseriusan berlatih, Subagiyo akhirnya mahir membuat bordir. Usaha mereka berkembang hingga merambah berbagai jenis pakaian atau busana. Pesanan demi pesanan berderet di buku catatan Sustiana.
Pesanan datang amat beragam, mulai dari jilbab, mukena, hingga stola, dan kasula imam. Pengalaman perdananya membuat busana imam terjadi ketika seorang suster dari tarekat Hati Kudus datang ke kios jahitnya. Biarawati itu menunjukkan jubah dan kasula kepadanya. “Bisa menjahit semacam ini?” tanya sang suster, seperti dikutip Sustiana.
Dengan percaya diri, Sustiana menjawab mampu. Sejak peristiwa itu, ia mulai “kebanjiran” pesanan busana imam. Motif kasula yang dibuat Sustiana kebanyakan adalah motif batik Jawa. Selain itu, ia membuat motif tapis, batik khas Lampung. Bila musim manten, ia juga mendapat banyak pesanan gaun dan jas calon mempelai.
Berbagi Berkah
Melihat usahanya mulai stabil dan berkembang, muncul kerinduan baru bagi Sustiana untuk merangkul ibu-ibu –tetangga– yang memiliki banyak waktu luang di rumah. Saat Sustiana mengajak, mula-mula para tetangga bingung lantaran tak memiliki keterampilan.
Maka, langkah pertamanya adalah mengajari ibu-ibu. Sembari berlatih, mereka langsung diberikan tanggung jawab. Saat ini, Sustiana memiliki sepuluh karyawan di kios jahitnya, empat orang beragama Islam, dan sisanya Katolik. Sustiana juga membangun jaringan dengan penjahit di wilayah sekitar.
Sustiana yakin, seluruh perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi adalah bagian dari rencana Tuhan. Kebaikan Tuhan, menurutnya, tak hanya ia dan keluarganya rasakan, tapi juga para tetangga dan semua orang yang terhubung dengannya.
Fr Nicolaus Heru Andrianto