HIDUPKATOLIK.com – Kini, media sosial menjadi sarana efektif untuk meng– kampanyekan banyak hal, termasuk hal–hal negatif. Di manakah orang muda Katolik dalam gegap gempita media sosial?
Sebuah penelitian dirilis Alvara Research Center pada Oktober 2017. Penelitian ini terkait dengan potensi radikalisme di kalangan profesional Indonesia. Penelitian menggunakan sampel 1200 responden di enam kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Sampel terdiri dari PNS, pegawai BUMN, dan pegawai swasta yang membidik kelompok milenial, dengan cakupan usia hingga 39 tahun. Mereka yang dibidik bervariasi, mulai dari TNI, Polisi, kejaksaan, birokrasi, profesional, dan pengusaha di lembaga keuangan, di lembaga energi, dan pangan. Begitu pula birokrasi, pengusaha, dan profesional di bidang telekomunikasi, kesehatan, pendidikan serta manufaktur, dan infrastruktur.
Beberapa data sangat menarik terkait preferensi kaum muda. Disebutkan bahwa Ustad Arifin Ilham, Okky Setiana Dewi, Ustad Solmed, dan Felix Siauw merupakan ustad yang menjadi selera anak muda. Dari daftar tiga pemuka agama teratas yang menjadi ulama panutan terdapat Mamah Dedeh, AA Gym, dan Habib Rizieq, di mana nama terakhir adalah nama yang kita ketahui memiliki sikap yang radikal. Dalam posisi nomor lima, hanya berselisih prosentase 0,8% tersebutlah nama Felix Siauw (13,1%), nama yang kontroversial belakangan ini karena keterlibatannya dalam ormas HTI.
Data lain menunjukkan proporsi keanggotaan responden pada ormas tertentu, di mana NU dan Muhammadiyah menempati porsi terbesar. Meski demikian, tercatat sejumlah responden menjadi anggota ormas seperti HTI, LDII, FPI, dll, yang mencapai hampir 2%. Dua data ini menjadi gambaran awal untuk memahami dinamika orang muda. Mereka yang disebut sebagai generasi milenial mulai memiliki sikap pengerasan identitas keagamaan.
Milenial
Salah satu karakteristik generasi milenial, sebagaimana diketahui adalah kedekatan mereka dengan teknologi informasi. Mereka cenderung menggunakan teknologi informasi sebagai basis dalam upaya mencari informasi, membangun pertemanan, jaringan, serta dalam menentukan apa yang dikonsumsi sehari-hari. Teknologi informasi menjadi bagian tidak terlepaskan dari kehidupan sosial dan personal mereka.
Kecenderungan membaca dengan cermat tidak lagi menjadi habitus mereka, melainkan lebih pada konsumsi audio-visual melalui gawai (gadget) yang mereka miliki. Maka media sosial dinilai efektif untuk menjangkau orang-orang muda. Youtube digunakan oleh para pemuka agama untuk menjangkau kaum muda. Kaum muda mengakses video melalui Youtube dengan gegap gempita. Siapa saja yang menyampaikan gagasan dengan menggunakan teknik dan pendekatan yang dapat diterima orang muda, maka videonya akan di-share kepada semakin banyak orang dan mendapatkan jumlah views yang tinggi.
Bermunculan semakin banyak pemuka agama yang menjadi selebritis dan populer berkat media sosial. Mereka yang menjadi panutan, bukan menghiasi layar kaca, melainkan mereka yang rajin mengunggah videonya melalui Youtube dan sejumlah penggemar akan dengan rela memviralkan melalui akun media sosial yang mereka miliki.
Siapa mereka yang menjadi selebritis dan populer di media sosial? Sebagian adalah mereka yang menaburkan benih-benih radikalisme ke dalam jiwa kaum muda yang bergejolak. Di manakah kaum muda Gereja melihat dirinya sendiri?
Laskar Dialog
Sebagian mulai menyuarakan kegelisahan menjadi minoritas atau bahkan minoritas ganda (Katolik sekaligus Tionghoa). Kegelisahan terutama sejak kasus Pilkada DKI Jakarta merebak dan membangun keterpecahan masyarakat ke dalam kelompok yang pro A versus kelompok pro B. Pro A memusuhi mereka yang pro B, begitu pula sebaliknya. Pro A mati-matian membela A, dan kehilangan kemampuan untuk melihat situasi secara fair dan obyektif, begitu pun sebaliknya.
Kegelisahan ini muncul dalam sejumlah Whatsapp Group (WAG), pun dalam media sosial. Muncul tendensi untuk menyudutkan pihak yang dianggap berbeda, dengan menempatkan diri sebagai korban. Pelan-pelan bertumbuh menjadi radikal bisa jadi merupakan sebuah keniscayaan historis di negeri ini. Hal yang sesungguhnya dapat mulai disikapi serius oleh Gereja. Siapa Gereja? Kita semua yang memiliki kesadaran, yang memiliki kemampuan untuk melihat bahaya radikalisme pada upaya membangun kesatuan dan persatuan dengan berlandaskan kebhinnekaan.
Jangan kita mengulang sejarah seperti tahun 1937, ketika sejumlah imam Katolik mendirikan Catholic Radical Alliance (Aliansi Katolik Radikal) di kota Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat. Tidak perlu juga kita mengulang sejarah radikalisme kelompok Kristen Radikal, Hutaree di Michigan.
Mari kita lihat bahwa ada banyak rekan-rekan Muslim yang tidak berhenti mengobarkan semangat untuk merajut persaudaraan sejati dengan mereka yang berbeda. Mereka berani, meski berhadapan dengan risiko dimusuhi kalangan mereka sendiri. Lihat bagaimana rekan-rekan Muslim jatuh bangun menghadapi hantaman dari kelompoknya sendiri dan tetap berjuang untuk mendukung persatuan dan kesatuan. Tidak sedikit pihak yang menghantam mereka secara keji dan brutal dalam ruang media sosial. Tidak sedikit mereka menghadapi olok-olok, dan bahkan dikafir-kafirkan hanya karena memihak pada kita, yang dianggap sebagai kafirun.
Kita tidak sendirian, mulailah bangkit dan bergandengan tangan. Untuk sebagian orang dapat bergandengan tangan dengan umat Muslim dan sebagian dapat memulainya dengan sesama dalam Gereja kita. Langkah selanjutnya, kita menggandeng tangan semua yang ada di sekitar Gereja untuk bersama-sama memperjuangkan Indonesia yang satu. Sebagai bagian dari generasi milenial, rebut ruang publik dengan menggunakan semua saluran yang ada, Facebook, Instagram, Twitter, dan bahkan Youtube. Siapa takut?
Kita rebut dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik orang muda itu sendiri. Dengan demikian, kaum muda berdayakan dirimu dengan menjadi “laskar dialog” antarumat beriman. Dan merangkul, berarti juga menggunakan kata-kata santun dalam proses dialog.
Maria Puspitasari