HIDUPKATOLIK.com – Saat ini, orang lebih banyak menghabiskan waktu berselancar di dunia maya. Media sosial pun beralih dari penghubung silahturahmi menjadi alat provokasi.
Media sosial (medsos) sudah tak asing dan tak dapat pisah dari kehidupan masyarakat. Bahkan ketika sekelompok orang duduk di satu meja yang sama, mereka sama-sama mengabaikan satu sama lain dan cenderung lebih asyik dengan gadget masing-masing. Kemajuan teknologi tak dapat dipungkiri sangat memudahkan manusia untuk bisa berkomunikasi dengan orang-orang terjauh sekalipun. Tapi juga bisa menjauhkan orang-orang yang ada di sekitar kita.
Seringkali ditemukan, pergerakan aksi terorisme dan radikalisme memanfaatkan medsos sebagai pasar yang potensial dalam mempengaruhi masyarakat, khususnya kaum muda. Kekhawatiran dengan lajunya arus informasi yang tak bisa lagi disaring di medsos, terlihat dari banyaknya tulisan atau video yang mengandung ujaran kebencian. Konten-konten ini menggiring opini publik ke arah negatif.
Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI), Romo Kamilus Pantus mengatakan, medsos memang amat potensial digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi seseorang. Medsos digunakan untuk menyebarkan informasi dengan waktu yang cepat dan tak terbatas. Terlebih lagi dengan minimnya minat baca masyarakat, cenderung membuat orang memahami sesuatu secara tidak sempurna. “Ada pihak yang menyebarkan berbagai aliran menyesatkan. Ini juga menimbulkan suatu ideologi baru, ideologi jalan pintas. Jalan pintas untuk terkenal, jalan pintas menjadi orang hebat, jalan pintas masuk surga, dan sebagainya,” jelasnya.
Literasi Medsos
Keprihatinan terhadap ujaran kebencian dalam medsos sangat terasa. Menurut Romo Kamilus, orang muda mudah sekali terjerat. Hal ini harus dilihat sebagai ancaman nasional. “Kalau dulu kita mengatakan darurat narkoba, sekarang darurat media sosial,” tegasnya.
Untuk menyikapi hal ini, sejak 2014, Komsos KWI sudah mengadakan literasi media di keuskupan-keuskupan. Pada 2017, Komsos KWI digandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dalam forum dialog dan literasi media. Kemkominfo dan Komsos KWI mengadakan “Forum Dialog Literasi Media Kaum Muda Katolik” di tujuh kota dengan mengundang 100 orang muda di tiap kota yang aktif di media sosial. Mereka juga melibatkan PMKRI, ISKA, PK, dan FMKI. “Orang muda kami seleksi dengan jejaring dari Komisi Kepemudaan KWI dan juga organisasi masyarakat Katolik. Inisiatif baik ini sangat kami apresiasi karena pemerintah mau memulai menggandeng tokoh-tokoh agama,” ungkapnya.
Gerakan literasi medsos ini sudah berjalan di beberapa kota; Jakarta, Malang, Medan, Bandung, Manado, dan Kupang. Sekitar akhir November akan diadakan juga di Semarang. Kegiatan ini diadakan dua hari, di mana hari pertama merupakan seminar dan penyuluhan tentang medsos dan penggunaanya secara bijak. Hari kedua, peserta memproduksi konten kreatif dengan unsur positif. “Mereka membuat film-film pendek dengan tema Sumpah
Pemuda,” terang Romo Kamilus.
Literasi medsos ini bertujuan untuk menyikapi konten negatif yang marak di medsos. Perlu digarisbawahi, bahwa konten-konten ini bukan menyerang balik atau perang konten, yang akan menimbulkan konflik yang lebih luas dan berbenturan langsung. Tetapi, medsos menjadi tempat persemaian nilai baik dalam agama dan nilai kebangsaan. “Berhadapan dengan konten-konten negatif tentu tidak langsung melawan. Kita menyebarkan hal yang positif. Spirit yang kita pakai, spirit kabar baik,” tuturnya.
Jempol, Tombol
Sekretaris Komisi Kepemudaan (Komkep) KWI, Romo Antonius Haryanto, juga merupakan pengguna aktif medsos seperti Facebook dan Twitter. Ia juga menyebutkan soal konten radikalisme yang marak di medsos. Diakui, orang muda yang penuh semangat memang bisa dengan mudah terpicu secara emosi dan akhirnya banyak muncul ujaran kebencian. Namun menurutnya, banyak orang muda yang sudah pada tahap selesai tentang masalah “perbedaan”. “Untuk orang muda Katolik sepertinya sudah dewasa. Rasanya mereka memang dididik tidak gampang untuk menanggapi hal seperti itu,” tutur Romo Hary.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gerakan-gerakan lintas agama dan multikultural. Banyak kaum muda Katolik terlibat dalam acara temu kebangsaan. “Mereka bisa kok melebur dengan cara mereka sendiri, bukan kita yang harus mendikte. Itu juga rasa cinta. Kita beda, namun itu yang menjadi tantangan untuk bisa bersatu,” terangnya.
Romo Hary mengungkapkan, ada banyak anak muda Katolik yang justru menanggapi konten negatif tersebut dengan membuat konten kebaikan untuk meluruskan berita-berita yang tak benar. “Tanggapan lebih wise. Kalau debat masih di jalur yang wajar. Kembali ke jargon kita, toleransi. Nilai-nilai kekatolikan masih tertanam kuat,” jelasnya.
Salah seorang anak muda yang menggunakan akun medsos pribadinya untuk membuat konten positif ialah Desiana Simorangkir. Desi memiliki akun Facebook sejak 2006 dan Twitter sejak 2009. Ketika marak ujaran kebencian di medsos, umat Paroki Hati Kudus Kramat, Keuskupan Agung Jakarta ini berinisiatif menyebarkan konten untuk merawat kebangsaan menggunakan akun pribadinya.
Desi mengatakan, orang muda jangan mudah diprovokasi dengan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Melainkan menjadikan isu-isu itu sebagai amunisi untuk merawat kebangsaan. Ia juga mengingatkan, untuk menggali dulu tentang kebenaran dan kedalaman isu yang dapat menimbulkan perang. “Sebagai orang yang menggunakan medsos, kroscek itu menjadi syarat utama sebelum jempolnya mencet tombol share,” tegasnya.
Setali tiga uang dengan Desi, Marsianus Wawo Daso juga menggunakan akun medsosnya untuk menangkal ujaran kebencian. Ia menampilkan ujaran tentang toleransi dan kebangsaan. Nus berharap, kaum muda terlibat secara serius menyebarkan konten positif. Jangan takut dengan dikotomi minoritas dan mayoritas. “Keberadaan kita diakui negara dan memiliki hak yang sama. Tapi bukan menimbulkan konflik baru. Jangan terprovokasi. Kita menyadarkan, bukan melawan,” jelas umat Paroki St Thomas Rasul Kelapa Dua Depok, Keuskupan Bogor.
Romo Hary pun mengajak kaum muda untuk membanjiri medsos dengan hal-hal yang benar, menyuarakan hal positif, bukan melakukan penyerangan balik terhadap konten negatif. Terlebih dengan situasi ini, ia mengajak orang muda untuk tidak semakin mengasingkan dan mengurung diri, melainkan semakin terbuka untuk membangun persaudaraan. “Sebelum share tolong benar-benar direnungkan dan direfleksikan, apakah ini membawa kebaikan atau malah menjatuhkan. Jika dampaknya menggerakkan orang ke hal positif baru share,” pesannya.