HIDUPKATOLIK.com – Gereja dan negara perlu memikirkan cara bersama untuk membentuk tatanan masyarakat yang bebas ajaran radikalisme serta tatanan masyarakat yang cinta damai.
Semua agama memiliki potensi radikal. Paling tidak ketika sebuah agama mengklaim diri memiliki kebenaran absolut dan ketaatan buta terhadap seorang pemimpin, maka benih radikalisme bisa tumbuh. Tragedi Jonestown pada 18 November 1978, membuat seluruh dunia sadar, bahwa agama sebagai institusi moral, terkandung potensi adanya benih-benih radikalisme. Pendeta James Warren Jones Kreta dari Indiana memaksa seluruh pengikutnya untuk bunuh diri massal. Sekte Peoples Temple ini percaya pada perkataan Yesus dalam Markus 16:17-18, “… mereka memegang ular, sekalipun mereka meminum racun maut, mereka tidak celaka….”
Doktrin Jones ini membuat sedikitnya 912 pengikut bunuh diri massal secara sukarela. Brigjen Pol. Martinus Hukom mengungkapkan kisah ini untuk menunjukkan, bahwa potensi radikalisme bisa terjadi dalam agama manapun. “Pembantaian Jonestown adalah salah satu bentuk radikalisme dalam agama Kristen. Ketika seseorang taat secara buta terhadap seorang tokoh, maka bahaya radikalisme muncul,” tegas Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI ini.
Radikalisme Agama
Pria kelahiran Ambon, Maluku, 30 Januari 1969 ini mengungkapkan, secara teoritis, radikalisme tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama tertentu. Tetapi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya radikalisme adalah eksklusivisme agama yang dominan. Konsekuensinya adalah muncul penolakan dan rasa kebencian terhadap agama lain. “Ketika sebuah agama menolak membuka diri dan menerima agama lain maka tendensi radikalisme sangat besar,” kata Martinus.
Martinus mengutip tulisan Charles Kimball, Pendeta Methodis dalam buku When Religion Becomes Evil, ada lima tahap yang membuat agama memiliki potensi radikal. Pertama, ketika agama itu mengklaim kebenaran absolut atau kebenaran hanya ada pada agamanya. Kedua, kepatuhan buta kepada tokoh agama tertentu tanpa melalui nalar sehat. Ketiga, ada tujuan untuk membangun era ideal yang penuh kemakmuran. Ketika tujuan itu tidak terpenuhi, maka muncul radikalisme. Keempat, menghalalkan segala cara demi tujuan dimaksud. Kelima, mengobarkan “perang suci” untuk menggolkan tujuannya.
Jenderal bintang satu ini menambahkan bentuk nyata kaum radikal di Indonesia salah satunya adalah terorisme. “Sikap radikal akan mendorong perilaku individu untuk membela secara mati-matian suatu kepercayaan, keyakinan, agama, atau ideologi yang dianutnya.” Martinus memberi contoh keberadaan kelompok dan individu yang menganut paham radikal terutama yang berafiliasi dengan jaringan kelompok radikal internasional cukup mengganggu, seperti aksi teror di Thamrin, Surakarta, Tangerang, Medan, Samarinda, dan tempat yang lain.
Perkuat Pancasila
Senada dengan Martinus, Alois Wisnuhardana, Tenaga Ahli Madya di Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan salah satu faktor munculnya radikalisme adalah masuknya ideologi keagamaan transnasional ke Indonesia. Hal ini kemudian mempengaruhi cara berpikir dan penghayatan keagamaan yang keliru pada sebagian kecil masyarakat. Salah satu tugas KSP adalah menjalankan fungsi pencegahan radikalisme dan penanggulangan terorisme.
“Kebanyakan pelaku radikalisme justru orang muda yang belajar keagamaan secara keliru atau pada tempat yang keliru,” ungkap Alois.
Wahid Institute bahkan menyebutkan beberapa provinsi seperti Jawa Barat mendapat rapor merah sebagai daerah dengan kasus tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Setara Institute dalam penelitiannya lebih tajam lagi menyebutkan bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas berdirinya Islamic State. Maarif Institute pada 2011 pernah membuat riset di SMU Negeri di Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo. Dari riset itu, 50 sekolah mengkonfirmasi fenomena radikalisme dan mengakui bahwa sekolah menjadi ruang terbuka bagi diseminasi paham apa saja, terlebih paham radikalisme.
Dari data itu, Kepala Desk Social Media Crisis KSP ini mengatakan, tak mungkin menafikan adanya aksi-aksi yang berasaskan kekerasan, pemaksaan, bahkan pembinasaan dalam radikalisme. Implikasinya dari kekerasan adalah munculnya ketakutan dan kekhawatiran pada kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kekerasan selalu menimbulkan efek teror, bagi kelompok masyarakat secara luas.
Maka, lanjut Alois, dibutuhkan peran Gereja sebagai lembaga moralitas. Caranya adalah membangun kerjasama lintas agama. “Gereja harus semakin banyak menyebarkan berita-berita positif dan optimis, sebagai kontra dari penyebaran informasi kekerasan dan teror,” harap Alois.
Alois meminta kepada orang muda Katolik, agar menanggapi kasus yang masuk kategori radikalisme ini bukan secara apatis. Maka perlu revitalisasi tradisi agama, membatasi pengarusutamaan intoleransi oleh gerakan-gerakan radikal. Alois mendorong setiap pihak untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga masyarakat lokal yang memiliki akar budaya kuat dalam masyarakat. Langkah ini perlu pelibatan tokoh-tokoh agama, serta menguatkan lagi Pancasila sebagai way of life. “Pancasila harus dikembangkan menjadi ideologi yang aktif dan sesuai dengan kebutuhan serta tantangan bangsa hari ini,” tutup Alois.
Yusti H. Wuarmanuk