HIDUPKATOLIK.com – SIARAN PERS SEMINAR KEBANGSAAN 28 OKTOBER 2017, Kolese Gonzaga, Jakarta.
Rakyat Indonesia diajak untuk tidak terpengaruh dengan masuknya ideologi yang potensial merusak persatuan bangsa.
Indonesia merupakan bangsa besar yang memiliki keragaman budaya, bahasa, maupaun bahasa. Identitas Indonesia yang berbhinneka tunggal ika mestinya terus diperkuat untuk tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sayangnya, ada sekelompok orang yang mencoba untuk merusak persatuan Indonesia dengan memasukkan ideologi yang sebenarnya sudah terbukti menghancurkan negara-negara di Timur Tengah.
“Ada ideologi yang sebenarnya sudah bangkrut, tapi masih laku di sekalangan orang Indonesia,” kata tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif dalam Seminar Kebangsaan bertema ‘Satu Dalam Bhinneka, Satu Dalam Sumpah Pemuda, Satu Indonesia,’dalam perayaan Lustrum VI SMA Kolese Gonzaga di Aula Seminari Menengah Wacana Bhakti Jakarta, Sabtu (28/10/2017).
Menurut dia, proses pemersatuan bangsa Indonesia pada 1928 hingga Indonesia merdeka merupakan hasil kerja bersama. Tak hanya rakyat yang beragama Islam yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Namun, juga rakyat Indonesia yang beragama Katolik, Kristen, dan agama lainnya.
“Ini bangsa besar, rakyatnya juga harus berpikir besar. Jangan hanya karena ada ideologi rongsokan itu, Kita jadi rusak. Jangan sampai kita meninggalkan identitas Kita sebagai bangsa besar,” ujarnya.
Dengan maraknya ideologi asing yang masuk ke Indonesia, masyarakat hendaknya tidak kembali menguatkan identitas budaya bangsa yang beragam. Sebab, tidak dipungkiri banyak ideologi asing tersebut yang mengancam kebhinekaan.
Di sisi lain, ada kelompok-kelompok yang berupaya merusak kebhinekaan untuk kepentingan politik praktis. “Ada kelompok yang merusak bangsa yang bhinneka untuk politik praktis.
Menurut Syafii, lemahnya pilar kebangsaan dari ancaman ideologi asing juga terjadi karena kekayaan budaya daerah saat ini mulai ditinggalkan.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu pun mengungkapkan kritiknya terhadap generasi mudah yang lupa dengan budaya tiap daerah.
“Bahasa daerah jangan sampai mati, anak muda Jawa sudah enggak bisa bahasa Jawa. Padahal itu sangat kaya. Saya akan menangis kalau bahasa daerah mati semua,” katanya.
Pribumisasi Islam
Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Reformasi Birokrasi Azyumardi Azra menyatakan Indonesia sangat beruntung karena Islam yang berkembang di tanah air adalah Islam ‘jalan tengah’ atau Islam yang toleran.
Negara-negara di Eropa, kata dia, sangat ingin mencontoh Indonesia yang mampu bersatu dengan segala keragaman suku bangsa, budaya, bahasa, bahkan agama.
Menurut dia, satu-satunya cara menumbuhkan Islam yang toleran adalah dengan pribumisasi Islam atau kontekstualisasi Islam.
“Selama Islamnya masih berorientasi ke luar, padahal di luar sudah bangkrut, sudah kacau balau tidak bisa dijadikan contoh. Nah, itu yang mau dibawa ke Indonesia,” katanya.
Islam yang toleran, ia melanjutkan, bisa menjadi bagian dari budaya bangsa. Banyak sekali praktik keislaman di Indonesia yang tidak ada di negara lain, misalnya tasyakuran dan walimah.
“Itu memperkuat kohesi sosial. Itu memperkuat solidaritas berbangsa, solidaritas umat manusia,” ujarnya.
Azyumardi mengatakan vernakularisasi atau membahasakan doktrin agama dengan bahasa lokal mampu membuat Islam sangat dekat dengan budaya lokal.
“Yang terjadi saat ini, semua istilah dikembalikan ke istilah asing. Puasa jadi shaum. Sehingga, Islam menjadi asing bagi masyarakat Indonesia,” katanya.
Indonesia dengan berbagai keragamannya tetap bersatu karena memiliki toleransi, tenggang rasa, tepa selira, sikap tidak mau menang sendiri yang begitu kuat.
“Indonesia itu keajaiban, dengan keberagaman tapi bisa bersatu. Indonesia begitu plural,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan adanya ideologi dari luar yang masuk dan berpotensi menghancurkan bangsa. Untuk itu, masyarakat Indonesia diminta untuk kembali bersatu untuk berjuang bersama menentang ideologi yang merusak NKRI.
“Kita tidak bisa menerima secara take and granted, sudah selesai, tidak bisa. Padahal tantangannya riil, ada ideologi impor yang dibawa ke sini untuk menghancurkan bangsa,” katanya.
Umat Katolik melawan lupa
Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk merawat ingatan akan sejarah perjuangan Indonesia. Perumusan Sumpah Pemuda 89 tahun yang lalu, kata dia, melibatkan seluruh unsur rakyat Indonesia, termasuk umat Katolik.
Menjelang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, para pemuda menggelar tiga kali sidang yang cukup menegangkan karena diintai oleh mata-mata Belanda. Sidang pertama perumusan pada 27 Oktober 1928 sore hari digelar di Gedung Pemuda Katolik, yang saat ini menjadi Aula Gereja Katedral di Jakarta.
Keterlibatan gereja dan umat Katolik dalam sejarah Indonesia hingga kini masih ditelusur bukti tertulisnya. Sebab, bukti tersebut tidak ada di Indonesia. Gereka Katolik masih mencari bukti-bukti sejarah tersebut hingga ke Leiden di Belanda.
“Banyak yang sudah lupa akan sejarah Indonesia. Kita harus melawan lupa,” katanya.
Sejak memimpin umat Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), pada 2010, Ignatius Suharyo mencanangkan semboyan Amalkan Pancasila selama 5 tahun berturut-turut. Hal itu salah satu upaya untuk melawan lupa di kalangan umat Katolik.
Secara konkret, KAJ mencoba mencari simbol-simbol untuk menggerakkan umat agar tidak lupa sejarah. Misalnya, dengan membuat dan mensosialisasikan rosario merah putih.
“Umat Katolik memiliki tasbih yang namanya rosario. Harapannya, umat katolik setiap kali berdoa ingat akan negara dan bangsa. Maka, ada rosario merah putih,” katanya.
Tahun depan, KAJ ingin mendalami sila ke-3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Untuk itu, KAJ akan mensosialisakan rupa Bunda Maria yang berwajah khas nusantara dengan gambar Garuda Pancasila di dadanya dan menggunakan slayer merah putih. Tak hanya itu, Bunda Maria akan mengenakan mahkota peta Indonesia.
“Umat katolik sangat suka sekali dengan Bunda Maria,” katanya.
KAJ terus mencari simbol-simbol semacam itu untuk mewujudkan konsep-konsep menjadi gerakan-gerakan untuk merawat dan mencintai Indonesia.
“Penting bagi kita melawan lupa. Untuk melawan lupa, kita harus merawat ingatan akan sejarah,” ujarnya.
Berjalan bersama
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara B.S. Mardiatmadja mengatakan, dalam rumusan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dinyatakan:
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Pada rumusan ketiga tersebut bermakna bahasa-bahasa lokal tetap diakui eksistensinya. Dengan demikian, kemajukan dan persatuan berjalan bersama dalam semangat Sumpah Pemuda 1928.
Selain itu, dalam perumusan Pancasila juga secara nyata menyatakan bahwa perbedaan dan keragaman yang ada di Indonesia tidak menyebabkan perpecahan, melainkan persatuan.
“Rumusan-rumusan Pancasila adalah rumusan persatuan, gerak bersatu, semuanya dirangkum di sana,” ujarnya.
Mardiatmadja mengatakan, bangsa Indonesia perlu berziarah tentang pemersatuan, bukan penyatuan bangsa. Sebab, krisis-krisis yang terjadi saat ini sangat berpotensi merusak NKRI.
Menurut dia, pemersatuan bangsa Indonesia perlu tetap diolah dengan berbagai langkah.
Pertama, pengolahan politis. “Jangan sampai terjadi pembajakan demokrasi. Karena orang bisa pakai akal-akal pemungutan suara tapi sebenarnya memaksakan kehendak. Tidak sesuai sila ketiga Pancasila meskipun sepertinya sesuai sila keempat,” katanya.
Kedua, penyatuan tata kelola kenegaraan. Berbagai kelompok saat ini ingin menekankan pendiriannya sendiri, tanpa memikirkan masyarakat lainnya. “Penyatuan itu harus dibenahi dengan satu tekad pemersatuan,” ujarnya.
Ketiga, pemaduan budaya yang majemuk dan membutuhkan saling memahami dan menghormati. Menurut dia, agama, iman harus dirumuskan dengan cara yang dapat dipahami orang lain.
“Bagaimana kita bisa saling mengkomunikasikan prinsip-prinsip iman. Misalnya dengan membuat simbol yang tepat. Seperti, rosario merah putih yang dikenalkan Keuskupan Agung Jakarta. Banyak keuskupan lain juga memanfaatkan itu,” katanya.
Keempat, pemersatuan dari sudut akal budi. Pemersatuan itu tidak hanya dengan mengingat tetapi memikirkan dan merumuskan kembali.
Kelima, pemaduan cara berkomunikasi. “Cara berkomunikasi ini sangat unik untuk generasi (saat) ini. Mereka sangat mampu menciptakan komunikasi dan pembicaraan sehingga mengatasi segala sektarianisme,” ungkapnya.
Keenam, pembentukan sikap dan sarana legal dalam penegakkan pemersatuan. Harapannya, Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju, hubungan antar manusia terjalin dengan baik, tercipta situasi yang aman, saling mengetahui iman satu sama lain.
“Dan Kita bisa setia satu sama lain sebagai satu nusa, satu bangsa, yang menjunjung tinggi satu bahasa persatuan Bahasa Indonesia,” katanya.
Ia berharap masyarakat Indonesia mampu menghayati agama-agama tidak secara fanatis, melainkan inklusif.
“Yang Kita coba peringati, nusantara yang bersemangat inklusif. Kita perlu melanjutkan ziarah inklusif itu,” ujarnya.
Siaran pers ini diterbitkan persis pada 28 Oktober lalu oleh panitia Seminar Kebangsaan bertemakan “MERAJUT SEMANGAT KEBANGSAAN DALAM BINGKAI NKRI” dan sub-tema “KEMBALI KE SEMANGAT SOEMPAH PEMOEDA 1928 UNTUK MENJAGA KEUTUHAN INDONESIA”, sebagai tanggapan atas keprihatinan semangat kebangsaan yang tampak memudar disebagian kalangan masyarakat.
Hadir sebagai para pembicara dan moderator:
1. Prof. Dr. Akhmad Syafii Ma’arif
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
3. Prof. Dr. Ignatius Suharyo
4. Prof. Dr. BS. Mardiatmadja, SJ.
5. Sella Wangkar, SIP., M.M. sebagai Moderator
Acara seminar diadakan di aula SMA Kolese Gonzaga, Jalan Pejaten Barat 10 A, dengan turut mengundang Ketua Yayasan Pendidikan, Kepala sekolah, para guru pendamping se-DKI, serta guru dan murid utusan dari Kolese-kolese Indonesia (di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Solo, Magelang dan Papua).
Selain acara seminar, juga dilangsungkan peluncuran buku yang bertemakan tentang arti kebangsaan di mata kaum muda, yang ditulis sendiri oleh siswa dan siswi SMA Koleze Gonzaga dalam rangkaian kegiatan Lustrum VI (21 Oktober hingga 4 November 2017) sebagai ungkapan syukur 30 tahun berkarya dalam dunia pendidikan di Indonesia.
(A.Bilandoro)