web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Bolehkah Misa Requiem Bagi Korban Bunuh Diri?

4.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Baru-baru ini, di paroki kami ada seorang warga yang bunuh diri. Pastor paroki menolak mengadakan Misa Requiem. Ia juga menolak memimpin upacara pemakaman. Apakah memang Gereja Katolik melarang Misa Requiem dan pemakaman secara Katolik bagi orang yang bunuh diri?

Atanasius Jihaut, 08113775xxx

Pertama, perlu diperhatikan bahwa pandangan Gereja tentang tindakan bunuh diri mengalami perubahan yang cukup signifikan, sehingga sikap praktis pastoral Gereja seharusnya juga mengalami perubahan yang berarti (bdk. Majalah HIDUP No 20, 20 Mei 2007 dan No. 46, 13 November 2011).

Kedua, dulu, tindakan bunuh diri sering diartikan sebagai tindakan orang yang kehilangan iman dan harapan akan Allah. Contoh dari pengertian ini ialah Yudas Iskariot yang menggantung diri di pohon (Mat 26:5; bdk. Kis 1:18). Penyesalan Yudas atas pengkhianatannya sedemikian hebat (Mat 26:4), tetapi dia tidak percaya lagi kepada pengampunan Allah, sehingga dia menghukum diri sendiri melalui bunuh diri.

Seringkali penyebab tindakan bunuh diri ialah hilangnya iman kepada Allah Yang Maharahim, yang bersedia mengampuni dosa betapapun besar dan mampu mengatasi segala macam persoalan. Iman yang hilang ini juga membuat orang tidak mempunyai harapan untuk masa depan. Semua menjadi gelap, beban menjadi tak tertanggungkan. Jalan keluar satu-satunya untuk melepaskan semua beban dan permasalahan ialah bunuh diri.

Dengan konsep seperti ini, mereka yang bunuh diri langsung dikategorikan dalam Hukum Gereja 1917 (KHK 1917 Kan 1240, #1,3) sebagai pendosa-pendosa nyata (Latin: peccatores manifesti), yaitu orang yang menolak iman secara eksplisit dan publik. Maka, berlakulah larangan eksplisit untuk mengadakan Misa Requiem dan pemakaman secara Katolik. Di daerah-daerah yang kental kekatolikannya, sikap ini sudah menjadi tradisi turun temurun, sehingga bisa saja para imam melanjutkan begitu saja tradisi itu, tanpa mempertimbangkan perubahan sikap Gereja.

Ketiga, dalam KHK 1983, pemakaman Katolik diatur dalam Kan 1183-1185. Penolakan pemakaman diarahkan kepada mereka yang menolak iman Katolik secara eksplisit dan publik, yaitu penganut bidaah atau skisma serta mereka yang memilih kremasi, karena menolak iman kristiani (bdk. KHK kan 1184 # 1, 1 dan 2). Maka, senafas dengan kedua butir terdahulu, pengertian peccatores manifesti (Kan 1184 #1,3) juga harus berkaitan dengan penolakan iman secara eksplisit dan publik.

Yang menarik ialah bahwa penyebutan eksplisit orang yang bunuh diri dihapus.  Penghapusan ini harus dimaknai sebagai kehendak Gereja untuk tidak serta merta menilai orang yang bunuh diri sebagai peccatores manifesti, yaitu mereka yang berdosa dengan menolak iman secara eksplisit dan publik.

Keempat, secara psikologis banyak di antara orang yang bunuh diri itu mengalami stres sangat berat atau kekecewaan mendalam, sehingga mereka sudah tidak bisa lagi menggunakan akal sehat. Beban ekonomis, tanggung jawab moral yang berat, dan kesendirian bisa saja menjebak orang-orang dalam lorong gelap yang tak berujung dan penuh ketidakpastian. Maka, perbuatan orang yang stres sedemikian secara moral bukan lagi perbuatan secara tahu dan mau.

Keadaan subjektif yang demikian lebih mengundang keprihatinan, daripada sikap kaku untuk menegakkan hukum. Maka, seperti seorang ibu, Gereja bisa menunjukkan pengertian dan penerimaan atas pribadi orang yang bunuh diri, sementara tetap tegas menolak perbuatan bunuh diri. Yesus selalu peduli dan memberikan pertolongan. Sikap Gereja yang demikian kiranya juga harus menjadi sikap umat terhadap saudara-saudari yang mati bunuh diri. Orang yang bunuh diri belum tentu menolak iman kristiani, apalagi secara eksplisit dan publik. Jika bunuh diri dimengerti demikian, maka Misa Requiem dan upacara pemakaman tetap bisa diterimakan kepada saudara yang bunuh diri.

Petrus Maria Handoko CM

1 KOMENTAR

  1. Maaf Pater. Saya mohon izin untuk bertanya,
    apakah seseorang yang telah memiliki anak (berusia 5 bulan) namun telah meninggal sebelum menerima sakramen pernikahan, tidak layak menerima misa requiem? Padahal dari pihak keluarga telah memohon 3x kepada pastor paroki untuk melayani misa requiem..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles