web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Teladan Kegigihan Passionis Muda

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ditentang sang ayah, tekadnya menjadi imam justru membara. Ia wafat sebelum ditahbiskan, namun kesalehan dan teladan imannya menginspirasi banyak orang muda.

Sejak belia, Ferdinando Santa Maria tertarik menjadi imam Kongregasi Passionis (Congregatio Passionis Iesu Christi/CP). Tunas-tunas panggilannya tumbuh karena terinspirasi cara hidup para pater Passionis. Jarak rumah Ferdinando dengan Biara Passionis pun dekat, satu desa di Pontecorvo, Frosione, Italia. Kapanpun, ia bisa bermain ke biara dengan berjalan kaki.

Akan tetapi orangtua Ferdinando, terutama sang ayah, Peter Paul tak merestui putranya menjadi imam. Peter sudah memimpikan Ferdinando meneruskan usaha keluarga sebagai pengrajin tali rami. Ia senantiasa mengajak putranya bekerja, pergi ke pasar dan ikut pameran untuk memasarkan produk. Semua itu dilakukan Peter agar Ferdinando melupakan keinginannya menjadi imam.

Misi terselubung Peter itu tak menuai sukses. Ferdinando justru kian mantap merajut cita-cita menjadi Passionis. Ia sering bertandang ke Biara Passionis, bertukar pikiran dengan pimpinan biara, serta mengikuti retret. Kebulatan tekad Ferdinando menjadi imam pun sempat ditegaskan kepada ayahnya.

Suatu kali, mereka berjalan di tepi sungai. Ferdinando minta ayahnya melihat aliran air sungai. Kemudian ia berkata kepadanya “Hidup itu mengalir seperti air. Hari baru datang, kemudian pergi, dan berganti hari baru. Biarkanlah! Segala sesuatu bila dipaksakan, apa yang bakal kita dapat? Tidak ada! Justru kekecewaan yang kita peroleh.”

Peter terkejut mendengar perkataan putranya. Ia tak menyangka Ferdinando menegurnya lewat kata-kata lembut itu. Alih-alih membuat berang, Peter justru sadar jika selama ini telah memaksakan kehendak pribadi pada anaknya. Setelah peristiwa itu, Peter merestui jalan panggilan Ferdinando.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Tekad Membara
Meski sudah mengantongi izin sang ayah, Ferdinando belum bisa bergabung dengan Kongregasi Passionis. Alasannya, belum cukup umur. Saat mengutarakan niatnya menjadi Passionis kepada pimpinan biara, ia baru 12 tahun. Sementara kongregasi mematok usia calon minimal 17 tahun.

Ferdinando tak putus asa. Remaja kelahiran Pontecorvo, Italia, 4 Mei 1883 itu mengisi masa penantiannya dengan belajar Bahasa Latin dan Retorika dari Antonio Rosca, guru sekolahnya. Selain itu, ia juga rutin pergi ke Biara Passionis St Maria Ratu Penuh Rahmat di dekat rumahnya. Di sana, ia berdoa dan berkonsultasi dengan para pater terkait panggilannya.

Tradisi kerohaniannya sudah tertanam sejak dini dalam keluarga. Ia rajin ke gereja, mengikuti Ekaristi, dan berdevosi kepada St Maria Bunda Tak Bercela. Putra Cecilia Rusio ini juga aktif di gereja sebagai misdinar dan kelompok paduan suara.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada 1889, Ferdinando menerima sepucuk surat dari Provinsial Passionis, Pastor Justin Aspri CP. Dalam surat itu, Pastor Justin menjelaskan, Ferdinando layak dan diterima sebagai calon Passionis. Usai mendengar warta itu, Ferdinando berpamitan dan masuk Novisiat Passionis St Maria, Paliano, Italia Tengah. Sesuai tradisi biara, Ferdinando mengganti namanya menjadi Grimoaldo, santo patron tanah kelahirannya.

Ragam Tantangan
Pola hidup di Biara Passionis sangat spartan dan memprihatinkan. Saban hari para novis tidur beralaskan jerami kering. Mereka mengenakan jubah/tunik hitam berbahan kasar yang sangat tidak nyaman dipakai. Meski demikian, Grimoaldo mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Hari-harinya di novisiat dihiasi dengan Ekaristi, doa, mati raga, dan kerja. Semua aktivitas itu ia jalani dalam ketenangan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Kolega sebiaranya mengapresiasi semangat dan sikap Grimoaldo. Meski masih sangat muda, ia mampu menguasai ritme hidup di biara. Ia berusaha meneladan semangat St Gabriel CP dan menggali spiritualitas Yesus yang tersalib.

Setelah mengikrarkan kaul pada 6 Maret 1900, Grimoaldo pindah ke Komunitas Passionis di Ceccano, Italia. Di sana, ia tenggelam dalam studi Filsafat dan Teologi sebagai bekal imamatnya. Prestasi akademiknya mendulang pujian dari pembimbing rohani dan para imam lain.

Semua prestasi itu ia torehkan dengan peluh dan air mata. Grimoaldo mengenang, saat pertama kali menginjakkan kaki di Komunitas Ceccano, ia berulangkali melanggar disiplin. Beruntung ia mampu memperbaiki diri sebelum didepak kongregasi. Bagi Grimoaldo, perjuangannya bisa merasakan pendidikan sampai pada tahap ini merupakan anugerah luar biasa.

Meski dihujani beragam tugas dan beban studi, Grimoaldo tak melupakan doa dan puasa. Ia membatasi relasi dan komunikasi dengan dunia luar, termasuk dengan keluarganya sendiri. Suatu ketika pada 1901, ia menerima kabar duka dari keluarganya. Ayahnya meninggal. Pimpinan komunitas mengizinkannya melayat. Namun, ia memilih tetap tinggal di biara dan menjalani rutinitas seperti biasa.

Meningitis Akut
Pada April 1902, Grimoaldo bertemu dengan ibunya. Pertemuan itu merupakan pertemuan pertama dan terakhir sejak ia masuk CP. Sang ibu kagum dan bersyukur, putranya tumbuh dan berkembang menjadi calon imam yang taat, rajin, dan murah hati.

Sore hari, 31 Oktober 1902. Grimoaldo mengitari kompleks biara. Tiba-tiba ia merasakan sakit di jantungnya, seperti tertusuk- tusuk. Belum usai derita jantungnya mereda, kepalanya ikut sakit. Lehernya kaku. Tubuhnya demam disertai muntah-muntah. Tak lama berselang, ia pun jatuh tak sadarkan diri.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Setelah menjalani pemeriksaan, Grimoaldo divonis menderita meningitis akut, ditambah beberapa jenis penyakit lain yang membuat stamina tubuhnya lemah. Berbagai usaha medis diupayakan agar ia sembuh. Para konfraternya pun terus membawa Grimoaldo dalam doa.

Malang, ternyata Tuhan berkendak lain! Pada 18 November 1902, Grimoaldo wafat. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Biara Passionis di Ceccano. Tahun 1957, Takhta Suci membuka proses penggelaran kudus bagi Grimoaldo. Ia dikenal sebagai calon imam yang tekun, rajin, murah hati, dan saleh. Pada 1991, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengesahkan dekrit kesaksian hidup dan teladan iman Grimoaldo.

Banyak doa terkabul berkat perantaraan Grimoaldo. Menurut kesaksian para imigran di Pontecorvo, setiap kali berdoa kepada Grimoaldo, para pemilik tanah bermurah hati kepada mereka. Para imigran diperbolehkan menggarap tanah. Dari usaha tersebut, mereka mendapat penghasilan untuk menyambung hidup.

Mujizat yang membuat Grimoaldo dibeatifikasi terjadi pada tahun 1995. Seorang bapak berdoa kepada Grimoaldo agar anaknya sembuh. Anak itu mengalami kecelakaan mobil dan sekarat. Paramedis sudah angkat tangan. Tak dinyana, anak itu berangsur pulih. Takhta Suci membeberkan, sang anak hidup karena pertolongan Grimoaldo. Pada 29 Januari 1995, Bapa Suci membeatifikasi Grimoaldo di Basilika St Petrus Vatikan. Gereja mengenang teladan hidup Beato Grimoaldo tiap 18 November.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles