web page hit counter
Selasa, 5 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Luther dan Katolik

3.5/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Seorang biarawan muda dari Jerman bernama Martin Luther (1483-1546) membuat geger kalangan Gereja, tatkala ia dikabarkan telah memaku pernyataan sikapnya pada pintu masuk gereja biara di Kota Wittenberg, 31 Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktik Gereja Katolik yang antara lain memperdagangkan “surat pengampunan dosa” agar mendapatkan uang bagi pembangunan aneka proyek megah, termasuk Gereja St Petrus di Roma.

Banyak orang sederhana zaman Luther percaya, dengan membeli surat itu, mereka akan memperoleh keselamatan, sebab dosa mereka dan dosa mereka yang didoakan, diampuni. Tapi apa artinya ini? Artinya, keselamatan manusia pada akhirnya merupakan hasil prestasi manusia itu sendiri, bukan lantaran rahmat Allah semata!

Nah, Luther mengoreksi cara berpikir demikian (bahwa keselamatan bisa diperoleh dengan prestasi manusia sendiri). Di dalam batinnya Luther sendiri mengalami, betapa ia tetap merasa berdosa meski telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik. Pertanyaanya, bagaimana manusia bisa mendapatkan keselamatan atau –dalam bahasa Luther– memperoleh “iustificatio” (pembenaran) dari Allah?

Dalam renungannya atas surat Roma 1:17, Luther menemukan ayat ini: “Sebab di dalam Injil nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’”. Sekarang Luther menemukan jawabannya: manusia memperoleh pembenaran dari Allah berkat iman dan hanya iman (sola fide)! Dalam imannya, manusia boleh merasa pasti bahwa ia “dibenarkan” oleh Allah lantaran rahmat-Nya semata-mata (sola gratia), maka bukan melalui segala macam perbuatan baik dan saleh hasil prestasinya sendiri. Kepastian ini diketahui dari Kitab Suci saja (sola scriptura), bukan filsafat dan hukum Gereja.

Ajaran Luther tersebut membahayakan posisi resmi Gereja Katolik saat itu. Pada 18 April 1521, dalam sidang di Worms, Luther didesak untuk mencabut ajarannya. Tapi, ia menolak dengan berkata: “Oleh karena suara hatiku terpaut pada Sabda Allah (=Kitab Suci), maka aku tidak bisa dan tidak akan mencabut ajaranku. Sebab celakalah dan mustahillah bahwa aku melawan suara hatiku sendiri. Semoga Tuhan menolong aku!” Perpecahan besar dalam sejarah agama Kristiani pun terjadi. Luther dikucilkan. Namun, ajarannya kelak mendasari munculnya Protestantisme.

Dalam sejarah teologi, ada perdebatan mengenai pembenaran “karena iman semata” (dari pihak manusia) atau “karena rahmat semata” (dari pihak Allah) ini. Luther dituduh melawan ajaran Kitab Suci, bahwa “iman tanpa perbuatan pada hakikatnya mati” (Yak 2,17), hal mana berarti untuk keselamatan diperlukan baik iman maupun perbuatan.

Tetapi prinsip “hanya iman” pada Luther tidak boleh ditafsirkan bahwa manusia hanyalah bersikap pasif dan tidak perlu berbuat baik untuk keselamatannya. Luther mau mengatakan, bahwa keselamatan manusia itu berasal dari Allah, dan bahwa manusia tidak bisa “menyogok” Allah untuk menyelamatkannya, “sebab” ia telah melakukan perbuatan baik. Keselamatan dari Allah adalah anugerah atau rahmat Allah melulu! Manusia menanggapinya secara positif dalam iman yang hidup. Dari iman yang hidup inilah, muncul pelbagai perbuatan baik yang nyata sebagai ungkapannya. Jadi, perbuatan baik, misal ziarah, puasa, ibadat, dan sebagainya “bukanlah” ganti (substitusi) bagi iman, melainkan konsekuensi dari iman yang hidup. Ibarat pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, demikianlah orang beriman. Kata Luther, “Perbuatan baik tidak akan pernah membuat seseorang menjadi baik dan saleh, melainkan sebaliknya, seorang yang baik akan melakukan perbuatan yang baik dan saleh.”

Berkat adanya pemahaman baru ini relasi Gereja Katolik dengan Gereja Protestan makin terasa erat. Sejak pertemuan di Augsburg, 31 Okt 1999, diperoleh persetujuan menyangkut “pembenaran karena rahmat” ini antara pihak Katolik dengan Ikatan Gereja Lutheran Sedunia, lalu dilanjutkan dengan Dewan Gereja Metodis Sedunia (23 Juli 2006), dan akhirnya dengan Perserikatan Gereja Reform Sedunia (4 Juli 2017) di Wittenberg. Salah satu dari beberapa kerikil tajam yang mengganggu ekumene dengan demikian disingkirkan lewat pengakuan bersama: “Kami bersama-sama mengakui, bahwa dalam upayanya mencapai keselamatannya tergantung sepenuhnya pada rahmat Allah… Pembenaran terjadi karena rahmat semata”.

Simon Petrus L. Tjahjadi

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

1 KOMENTAR

  1. Ini mengapa kita terus diolok-olok pihak non-Katolik karena mengganggap indulgensi sebagai “pengampunan dosa”. Ajaran Katolik menyatakan kalau indulgensi adalah penghapusan hukuman yang timbul akibat dosa yang diperbuat (dan dosa tersebut telah diampuni). Hukuman itu sendiri pada hakikatnya melekat pada dosa, bukan berarti hukuman = dosa. Karena itu indulgensi tidak ada gunanya pada orang yang tidak menyesali dosanya sehingga tidak memungkinkan adanya pengampunan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles