HIDUPKATOLIK.com – Invasi Italia atas Albania membuat banyak warga hidup dalam penderitaan. Beato Nikollë tampil menyuarakan ketidakadilan ini hingga akhir hayat.
Usai Perang Dunia I, situasi Italia menjadi sangat buruk. Kemerosotan ini membuat banyak orang memimpikan kejayaan Italia zaman Kerajaan Romawi. Mimpi ini membuat berkembangnya paham Fasisme. Golongan Fasisme Italia dipimpin Benito Amilcare Andrea Mussolini (1922-1943), seorang politikus Italia.
Sebagai seorang yang pandai berpidato, Mussolini mampu menarik banyak pengikut. Ia bercita-cita membentuk Italia Raya dengan melancarkan program II Duce. Para pengikutnya kelak dikenal sebagai “Pasukan Kemeja Hitam”, yang berhasil menduduki seluruh Italia, bahkan melakukan invasi ke luar Italia.
Mussolini menjadi penguasa diktator pada periode 1922-1943. Lewat tangan dinginnya, Italia mengalami perubahan. Di bidang religius tercipta lagi hubungan yang baik dengan Sri Paus, lebih-lebih soal kekuasaan antara Sri Paus dan raja. Kedudukan ini tentu menguntungkan Mussolini. Ia menjadi lebih mudah menjalankan programnya.
Pelan-pelan, ia merebut beberapa negara, seperti wilayah Abessinia (Etiophia dan Albania). Di Albania, banyak imam yang menolak kehadirannya karena dianggap merugikan warga Albania. Satu dari sekian imam itu adalah Pater Gjon Nikollë Shllaku OFM. Karena dianggap terlalu mencampuri kekuasaan pemerintah, ia dibunuh bersama 35 martir Albania lainnya.
Saudara Doa
Nikollë lahir dari keluarga Katolik yang saleh. Orangtuanya, Shllaku dan Marë Ashtës, pasangan suami istri yang taat berdevosi kepada Bunda Maria. Sejak kecil, ia kerap disapa Kollë yang berarti anak saleh. Nama ini sengaja diberikan dengan harapan agar bocah kelahiran Shkoder, Albania, 27 Juli 1907 ini kelak menjadi ikon kesalehan bagi Albania.
Lahir dari keluarga yang taat, membuat Kollë dibina dan dididik dalam disiplin Katolik lewat hidup doa yang kuat. Pendidikan iman ini semakin lengkap, ketika ia bersekolah di sebuah sekolah Katolik yang dikelola para biarawan Fransiskan. Dalam masa pendidikan ini, benih-benih panggilan tumbuh di hatinya.
Tamat dari Sekolah Menengah, Kollë memutuskan masuk novisiat Fransiskan pada 4 Oktober 1922. Ia tertarik menjadi imam Saudara-saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum/ OFM) karena semangat hidup dari St Fransiskus Assisi. Baginya, OFM adalah lembaga religius yang menawarkan diri sebagai pecinta kemiskinan, bentara perdamaian, persaudaraan, pendoa sejati, serta penyayang segala mahkluk.
Suatu hari, Dewan Pimpinan Regio OFM Albania bertanya kepadanya soal alasan memilih OFM. Dengan tegas Kollë menjawab, “Saudara Fransiskan adalah manusia biasa yang berjuang sebagaimana orang lain, untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat. Saudara Fransiskan yang baik adalah bukan orang yang suci, melainkan seorang yang terus berjuang untuk menjadi suci.”
Sebagai novis yunior, Kollë terbilang anak yang biasa-biasa saja. Ia tak terlalu unggul dalam bidang akademik. Kendati begitu, hidup doa membuat ia kerap disapa “Saudara Doa”. Pada 13 September 1928, Kollë mengucapkan kaul kekal dan mengambil nama Fr Gjon (Yohanes). Dari Albania, frater yang gemar bermain bola ini dikirim ke Belanda. Di sana, ia melanjutkan studi filsafat dan teologi.
Perjuangan dalam studi, mengantarnya ditahbiskan imam pada 15 Maret 1931. Tugas utamanya melanjutkan studi. Meski tak unggul dalam akademik, tetapi kesetiaan dan kerja kerasnya dinilai sebagai keunggulan yang tak dimiliki rekan-rekannya. Ia melanjutkan studi di Universitas Louvain, Belgia, lalu pindah ke Paris dan menyelesaikan doktoral di bidang filsafat di Universitas Sorbonne Paris, Perancis, pada 1937.
Melarikan Diri
Dari Paris, Pater Kollë kembali ke Albania dan menjadi pengajar filsafat dan bahasa Perancis di sekolah menengah. Selain itu, ia diminta menjadi pembimbing di bidang spiritual di beberapa universitas dan sekolah menengah lainnya. Lewat pencerahan dan nasihatnya, banyak anak muda menemukan jalan yang benar. Ia tidak saja menasihati tetapi memberi teladan menemukan kedamaian hidup lewat hidup doa. “Bila Anda tak bisa menjadi orang baik untuk diri sendiri, jadilah orang yang terbaik untuk orang lain,” pesannya.
Kedekatan Pater Kollë dengan dunia pendidikan, membuat dirinya dekat dengan anak muda. Kaum muda Albania mengenalnya sebagai dosen yang anti rasisme dan membenci gerakan-gerakan intoleransi. Ia kerapkali mengkritik Albania Gheg, ‘Kerajaan Albania’ yang dinilai mendukung gerakan fasisme di Italia. Sebab saat itu, Regno Albanese, ‘Albania Raya’ menjadi kerajaan monarki konstitusional.
Perjuangan untuk menyelamatkan Albania memuncak pada 7-12 April 1939, pada momen invasi besar-besaran Italia atas Albania. Tak lama, Kerajaan Albania ditaklukkan Italia dalam lima hari oleh Mussolini. Raja Zog I berhasil melarikan diri dan kemudian digantikan Raja Emmanuel asal Italia.
Demi menghindari kekejaman Mussolini, Pater Kollë ikut dalam pengasingan ke Yugoslavia. Ia kembali dari Yugoslavia usai Perang Dunia II (1939- 1945). Ketika tiba di Albania, ia menyaksikan warga Republik Rakyat Sosialis Albania hidup dalam kemelaratan akibat fasisme dan komunisme. Aktivitas Gereja lumpuh total. Paham komunisme dan hoxaisme menjadi tren yang berkembang saat itu lewat para sosialis Italia di Albania.
Rakyat menderita, lebih-lebih karena tidak mendapat hak sebagai warga negara di Albania. Infrastruktur dan akses dalam bidang pendidikan dan politik dibatasi. Pembunuhan dan kekejaman menjadi trend baru di Albania.
Ketika tiba di Albania, Pater Kollë menentang fasisme dan komunisme. Ia sering memberi kritik pedas soal paham yang tak sejalan dengan corak hidup masyarakat Albania. “Fasisme dan komunisme adalah usaha manusia untuk menghancurkan kedamaian bersama,” sebuah kritiknya pada Oktober 1945.
Tak disangka, kritiknya ini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia ditangkap pada Desember 1945 saat sedang mengajar. Ia dijeblos-kan dalam penjara dengan penyiksaan yang berat. Setelah itu, ia dihadapkan pada pengadilan dan dijatuhi hukuman mati, dengan saksi dusta yang dianggap sebagai mata-mata Vatikan.
Pater Kollë dibunuh bersama delapan rekannya; dua imam Ordo Jesuit yaitu Pater Daniel Dajani SJ dan Giovanni Fausti SJ; Mark Cuni, seorang seminaris; Frater Gjergj Bici SJ. Tiga orang awam yaitu Gjelosh Lulashi, Qerim Sadiku, dan Gjon Vata juga turut dibunuh bersama Pater Kollë. Delapan martir asal Albania ini ditembak mati di tempat pembuangan sampah di belakang Katedral Shkodra pada 4 Maret 1946 tepat pukul enam pagi.
Saat jenazah mereka ditemukan dalam keadaan terbaring sambil berpegangan tangan, dengan masing-masing membawa Rosario. Pater Kollë bersama tujuh rekannya dibeatifikasi oleh Paus Fransiskus pada 5 November 2016. Misa beatifikasi digelar di Katedral Shkoder, Albania yang dipimpin oleh Prefek Penggelaran Kudus Vatikan, Kardinal Angelo Amato SDB. Ia dikenang bersama 35 Martir Albania lainnya setiap 5 November.
Yusti. H. Wuarmanuk