web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Peziarahan Ekumenis Katolik-Lutheran

3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Perayaan lima abad Reformasi Martin Luther disikapi sebagai cara Tuhan menyapa Gereja untuk membangun rekonsiliasi antarsesama.

Oktober tahun lalu, Paus Fransiskus berkunjung ke Lund, Swedia. Banyak tokoh meyakini ia akan menghadapi penerimaan yang dingin. Beberapa media menulis, kehadiran Paus tidak untuk merayakan “pemberontakan” Martin Luther. Namun, kelompok yang lain melihat, lawatan Paus di negara Skandinavia ini bak angin segar. Anjangsana Paus ini menjadi “pendingin” bagi hubungan Gereja Katolik dengan Gereja Lutheran.

Paus Fransiskus memberitakan “penyembuhan kenangan”; dimensi penting dalam membangun persatuan antar-Gereja. Di hadapan jemaat Lutheran, saat Misa Ekumene di Lund, Bapa Suci meminta pengampunan bagi perilaku tidak Injili yang dilakukan pendahulu Gereja masa lalu. Rekonsiliasi ini dianggap sebagai cita-cita bersama, saat merayakan 500 tahun Reformasi Martin Luther.

Kebenaran Iman
Luther adalah produk Katolik Roma abad pertengahan. Ia lahir di Eisleben, Jerman, 10 November 1483. Ayahnya seorang petani yang mandiri dan pekerja keras. Datang dari keluarga religius, Luther muda dididik dalam disiplin kekristenan yang saleh.

Saat berusia tujuh tahun, ia mulai bersekolah hingga mencapai perguruan tinggi. Secara fisik dirinya sehat dan kuat. Secara intelektual, ia sangat cerdas. Materi pelajaran yang ia terima ialah adat kebiasaan Abad Pertengahan. Ia sangat sedikit diajari humanisme. Kemudian, ia belajar di Universitas Erfurt, Jerman saat usianya 17 tahun. Ia kemudian juga belajar teologi skolastik William Ockam. Luther tertarik mendalami teologi dan filsafat, khususnya pada Aristoteles, William of Ockham, dan Gabriel Biel. Dia sangat dipengaruhi oleh Bartholomaeus Arnoldi von Usingen dan Jodocus Trutfetter. Keduanya mengajari Luther untuk skeptis dan menguji segala sesuatu dengan pengalamannya sendiri.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Di luar kehendak orangtua, tiba-tiba Luther membatalkan studi hukum, dan secara mengejutkan ia masuk biara. Ia masuk Biara St Agustinus di Erfurt yang sangat ketat. Tujuannya agar mendapatkan kepastian akan keselamatan melalui kesucian hidup. Rintisan panggilannya berpuncak dengan penahbisan dirinya sebagai imam pada 2 Mei 1507.

Pengalaman Misa pertamanya menimbulkan “teror” baginya. Ia sadar masih sebagai orang berdosa, namun mendapat “hak” untuk menyapa Allah. Demi menghilangkan kecemasan itu, Luther mencari kekuatan lewat tradisi monastik. Ia bermatiraga, berpuasa kadang-kadang beberapa hari tidak makan.

Periode selanjutnya adalah sebagai pengajar teologi di Wittenberg. Di sinilah, Luther menemukan pencerahan hidup. Hal ini perlahan-lahan dirasakan ketika sedang membaca perikop Roma 1:17, “Orang benar akan hidup dalam iman” (Justus ex fide vivit). Teks ini membuatnya yakin bahwa orang dibenarkan karena imannya. Iman pertama-tama bukan persetujuan budi dan kehendak manusia atas wahyu Allah. Iman adalah jawaban dari hati yang utuh kepada Allah.

Disposisi Keadilan
Luther agak terkejut bahwa pengalaman pencerahannya tentang “pembenaran karena iman” membuatnya menjadi orang penting di Jerman dan seluruh Eropa Barat. Dalam setiap khotbah ia menekankan perlunya pembaruan hidup moral dalam Gereja. Namun yang khas bagi Luther adalah masalah indulgensi, yakni kepercayaan bahwa Paus dapat mengambil perbendaharaan rahmat yang digunakan untuk menghapus hukuman atas dosa-dosa orang hidup juga bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian. Kalau indulgensi diberikan, maka kondisi di Api Penyucian bisa dikurangi atau diakhiri sama sekali. “Begitu bunyi uang masuk ke dalam kotak derma, saat itu juga jiwa dikeluarkan dari Api Penyucian.”

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Praktik indulgensi itu membuat Luther menempelkan “Buletin Universitas” yang terdiri dari 95 dalil di pintu Gereja di Wittenberg, pada 31 Oktober 1517. Tanggal ini pada kemudian hari dikenang sebagai hari lahirnya Protestanisme. Dalam bahasa keras dan tegas, Luther menentang praktik-praktik indulgensi. Ia menentang praktik pengumpulan dana di Jerman untuk membangun Gereja di Roma. Alasannya, hanya sedikit orang Jerman akan berdoa di sana. Ia berpendapat, Paus sebenarnya cukup kaya untuk membangun Gereja itu. Menurutnya, yang lebih utama adalah memberikan imam yang baik, daripada memberikan indulgensi. Paus juga ia kritik karena tidak punya yurisdiksi sampai ke Api Penyucian.

Di luar dugaan Luther, dalilnya ini mendapat tanggapan yang luar biasa. Dalam beberapa bulan, dalil itu dicetak dalam bahasa Latin, dan juga terjemahannya dalam dialek-dialek lokal daerah Jerman. Akibatnya, Luther yang masih seorang imam Ordo St Agustinus itu, menjadi bahan kontroversi. Luther tidak berniat untuk melawan Paus, tapi ia juga tak mau menarik kembali dalil-dalilnya.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Gebrakan Luther ini melahirkan reformasi. Dalam perkembangan, pandangan-pandangannya “menandingi” tiga ajaran dasar Katolik, yaitu Kitab Suci, Tradisi, dan Kekuasaan Magisterium. Luther memprioritaskan Sola Gratia (hanya kasih), Sola Fide (hanya iman), dan Sola Scriptura (hanya Kitab Suci). Makna teologis dari tiga poin ini adalah manusia hanya dapat diselamatkan oleh anugerah. Manusia akan mendapatkan keselamatan yaitu menyerahkan diri dalam iman. Selanjutnya dalam Alkitab, manusia dapat mengenal Yesus dan kehendak-Nya.

Lima abad reformasi yang dirayakan tahun ini, diharapkan membangun kembali rekonsiliasi Katolik dengan Lutheran. Saat Pekan Doa Sedunia tahun ini, delegasi Lutheran dan denominasi Gereja Reformis berkunjung ke Vatikan. Uskup Lutheran Turku, Kaarlo Kalliali memimpin delegasi ini. Dalam sambutan, Paus Fransiskus mengenang lagi perjalanan ke Swedia. “Berada di sana memberi kami keberanian dan kekuatan dalam Tuhan kita Yesus Kristus untuk melihat perjalanan ekumenis; bahwa kita dipanggil berjalan bersama.” Semoga umat Katolik dan Protestan semakin bersatu seperti doa Yesus, “Mereka semua menjadi satu, seperti Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 17: 21).

Yusti H. Wuarmanuk/Albertus Sujoko MSC

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles