HIDUPKATOLIK.com – Filipina negara pertama di Asia atau ketiga di dunia, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Namun, Islam justru yang pertama menyebarkan agama di negara kepulauan ini.
Filipina merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik. Di Asia, Filipina menduduki urutan pertama sebagai negara dengan penganut Katolik terbanyak. Sedangkan di dunia, menurut hasil survei Pew Research Centre, negara kepulauan itu berada di posisi ketiga setelah Brasil dan Meksiko. Meski Katolik menjadi agama mayoritas, dalam sejarah negeri itu ternyata Islam yang pertama kali menyebarkan agama ke sana.
Muslim pertama masuk Filipina pada abad ke-14. Sementara Katolik baru mun cul pada abad ke-16. Islam masuk melalui pengaruh para pedagang Persia yang berasal dari beberapa kesultanan dari Kepulauan Malaya. Syarif Karim Makdum, seorang pedagang dan ulama asal Arab adalah kelompok perdana yang menyebarkan Islam di Kepulauan Sulu dan Jolo, Filipina Selatan, pada 1380.
Tak lama sejak kedatangan Karim, sebuah mesjid berdiri di Simunul, Mindanao, Filipina Selatan. Masjid Sheik Karimal Makdum, merupakan masjid tertua yang menjadi salah satu bukti jejak sejarah keislaman di Filipina. Masjid itu hingga kini masih berdiri dan menjadi ikon yang sangat sarat nilai-nilai sejarah dan keagamaan.
Syiar Islam terus berlanjut. Pada tahun 1390, Pangeran Minangkabau, Rajah Baguinda bersama para pengikutnya memperluas penyebaran Islam di Filipina Selatan. Islamisasi terus berlanjut dengan kehadiran sejumlah ulama dari Arab yang bepergian ke Malaysia dan Indonesia membantu penyebaran Islam di Filipina. Setiap permukiman dikepalai oleh seorang datu, raja, dan sultan. Tak pelak, banyak penduduk Filipina yang sebelumnya animis memeluk Islam.
Populasi umat Islam semakin meningkat. Hal itu melatarbelakangi berdirinya Provinsi Islam yang meliputi Maguindanao, Kesultanan Sulu, Kesultanan Lanao, dan sebagian lain di Filipina selatan. Satu abad berikutnya, menurut informasi yang dilansir Republika.co.id, Islam telah mencapai Kepulauan Sulu di ujung selatan Filipina. Pada abad ke-15 setengah bagian dari Luzon, Filipina Utara dan pulau-pulau Mindanao di selatan tunduk pada berbagai kesultanan Muslim Borneo. Karena itulah, banyak penduduk di selatan yang menyatakan memeluk Islam.
Kedatangan Matador
Abad ke-16, Raja Felipe II, penguasa Spanyol mengutus Ferdinand Magellan berlayar ke Hindia Timur (Indonesia) untuk mencari wilayah penghasil rempah-rempah. Dalam pelayaran, Magellan bersama awaknya berlabuh di Cebu, Filipina Tengah, 17 Maret 1521. Kehadiran para pelayar dari negeri matador menjadi titik awal masuknya pengaruh Barat dan kekatolikan di Filipina.
Konon, Magellan sempat bertemu dengan Raja Humabon, pemangku kekuasaan di wilayah Cebu. Kehadiran Magellan disambut baik oleh Raja Humabon yang pada saat itu sedang galau karena cucu laki-laki kesayangannya gering. Sang raja meminta Magellan menyembuhkan cucunya. Tak dinyana, sang cucu sembuh berkat pertolongan Magellan.
Sebagai kompensasi atas jasa Magellan, penguasa Cebu itu merestui navigator Spanyol membaptis rakyatnya menjadi Katolik. Sedikitnya 800 penduduk asli Filipina menjadi Katolik. Kejadian itu bak angin segar buat Spanyol untuk mengakarkan pengaruhnya di bidang politik, sosial, dan keagamaan di wilayah itu.
Miguel Lopez de Legapsi diutus Raja Spanyol menggantikan Magellan yang gugur dalam pertempuran. Legapsi masuk Cebu lewat New Spain (kini, Meksiko). Dari Cebu, Legapsi menanamkan fondasi kuat pengaruh Spanyol di daerah koloni baru itu. Berbarengan dengan usaha tersebut, katolikisasi mulai gencar dilakukan.
Spanyol berhasil menguasai Filipina Utara berkat negosiasi apik dan tentu kekuatan pasukan Legapsi. Namun berbeda dengan Filipina Selatan, seperti Mindanao dan Sulu. Spanyol tidak mampu menguasai wilayah tersebut. Meski de mi kian, pengaruh Spanyol dan Katolik berkembang pesat di daerah lain.
Para misionaris dari berbagai Ordo atau Kongregasi datang silih berganti dan membantu perkembangan Misi Katolik. Berawal dari imam Fransiskan (1577), disusul Dominikan (1587). Para Dominikan membuka Universitas St Thomas sebagai lembaga pendidikan tinggi pertama di Asia. Setelah kedatangan Dominikan diikuti Agustinian dan Jesuit (1595). Wilayah Filipina kemudian dibagi menjadi beberapa wilayah misi yang dilayani oleh imam-imam tersebut. Pada 6 Februari 1579, Keuskupan Manila berdiri. Mgr Domingo Salazar OP (1512-1594) di dapuk sebagai uskup pertama Manila.
Internalisasi Budaya
Mgr Salazar OP menentang keras perbudakan dan pajak yang dilaksanakan oleh Spanyol yang memiskinkan penduduk setempat. Ia menyerukan bahwa karya pewartaan dan perluasan karya misi ditempuh dengan suara sejuk, bukan dengan kekerasan. Sebaliknya, ia meminta karya misi harus menampilkan wajah ramah dan bersahabat dengan masyarakat dan kebudayaan setempat. Salah satu di antaranya adalah mempelajari bahasa Tagalog agar bisa berkomunikasi dengan umat.
Pada tahun 1550, seorang Jesuit, Pedro Chirino mempelajari Bahasa Tagalog. Kemudian, ia membuka sekolah di Taytay. Saban Minggu, ia berkatekese dengan Bahasa Tagalog. Lagu-lagu Perayaan Ekaristi dan ibadat pun menggunakan baha sa lokal tersebut. Internalisasi budaya yang di motori Jesuit dalam karya misi me nyuburkan benih-benih kekatolikan di Filipina. Pada tahun 1586, sekitar 400 ribu orang dibaptis Katolik.
Romo Adolf Heuken SJ, dalam Ensiklopedi Gereja, menyebutkan pewartaan Injil yang dilakukan secara sistematis sejak 1564, membuat Gereja Katolik berdiri kokoh pada akhir abad ke-18. Akan tetapi selama Spanyol masih bercokol di Filipina, kegiatan gereja mengalami kesulitan. Sebab, tak jarang pimpinan koloni berusaha mengontrol dan mencampuri pengangkatan uskup dan pejabat gerejani lain. Urusan agama dan politik di Filipina baru terpisah ketika Amerika menganeksasi wilayah tersebut. Kondisi ini bertahan hingga kini.
Pada abad ke-19 berkobar gerakan antiklerikalisme di Filipina. Lalu, pada tahun 1902, muncul Skisma Aglipayan. Hal itu membuat sekitar 3 juta umat Gereja Katolik memisahkan diri dan mendirikan Gereja Independen. Dalam gereja ini, pe rempuan bisa ditahbiskan. Dan kaum tertahbis tidak diwajibkan hidup selibat. Umat Gereja Aglipayan memandang roti dan anggur dalam Ekaristi hanya materi biasa. Tak mengalami transubstansi, seperti yang berlaku dalam iman Katolik.
Selain Gereja Aglipayan, ada juga Iglesiani Cristo (Gereja Kristus) yang memi sahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Denominasi Gereja Katolik yang didirikan oleh Felix Y. Manalo pada tahun 1914, tak menganggap Yesus sebagai Allah Putra. Mereka menyakini, Iglesiani Christo adalah satu-satunya gereja yang didirikan oleh Yesus dan direstorasi oleh Felix Y. Manalo.
Selain itu, praktek mangkukulam (perdukunan) masih marak di sana. Tentu ini menjadi tantangan lain yang harus ditanggapi secara bijak dan bajik. Iman harus bisa masuk dan berkomunikasi dengan kebudayaan setempat.
Gereja Katolik, secara khusus Filipina, juga merasakan angin segar pasca Konsili Vatikan II. Gereja semakin sadar perannya untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Salah satu peristiwa besar yang pernah dialami Gereja Katolik ada lah Revolusi Rosario (1986).
Kala itu, para kaum berjubah dan umat turun ke jalan, menyuarakan soal hak asa si manusia, dan menuntut pemilihan umum yang transparan dan kredibel. Lewat aksi people power tersebut, terbukti rakyat mampu menumbangkan rezim Presiden Ferdinand Marcos yang sudah berkuasa puluhan tahun.
Filipina kini berhadapan dengan persoalan kemiskinan yang dipengaruhi sejumlah faktor. Perbaikan kondisi masyarakat tidak cukup hanya berdoa, sebagaimana diketahui umat Katolik Filipina punya devosi mendalam dan tradisi kekatolikan yang kental. Berdoa tidak serta merta menghapus kemiskinan. Perlu kerjasama antara imam, biarawan-biarawati dan umat seperti kesuksesan saat Revolusi Rosario dulu.
Yanuari Marwanto/Yustinus H. Wuarmanuk