HIDUPKATOLIK.com – Di Rumah Sakit (RS) Siloam Lippo Karawaci Tangerang, saya bertemu dengan sosok bernama Ketut Budi Wijaya. Ia mengantre bersama pasien lain untuk melakukan cek rutin kesehatan. Siapa Ketut Budi Wijaya? Ia adalah Direktur Utama PT Lippo Karawaci. Saat ini Lippo Karawaci membawahi lima unit usaha; urban development,rumah sakit, mal, hotel, dan asset management. RS Siloam adalah bagian dari bisnis PT Lippo Karawaci.
Yang dilakukan Ketut Budi Wijaya menarik. Untuk memahami proses bisnis rumah sakit, ia menjadi pasien seperti umumnya pasien yang lain. Dengan demikian, ketika ia memberi masukan kepada pengelola RS Siloam, ia paham proses bisnis yang terjadi.
Hari ini, RS Siloam merupakan jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia. Ekspansi RS Siloam sangat mungkin dilakukan di kota-kota besar di Indonesia Sesuai namanya, Siloam, rumah sakit ini memang membawa spirit kristiani. Semua nama bangsal serta tempat perawatan dikutip dari Kitab Suci. Hanya saja RS Siloam dikelola institusi bisnis. Maka, nuansa bernama “keuntungan” pun terasa kental. Spirit kristiani yang mula-mula digelorakan, berganti dengan keuntungan bisnis.
Apakah strategi RS Siloam salah? Tidak! Melihat pertumbuhan yang signifikan, menandakan bahwa RS Siloam menjadi pilihan pasien. Harga mahal selaras dengan pelayanan yang diberikan dan kesembuhan yang didapatkan. Mungkin bagi pengelola RS Siloam, spirit kristiani itu mewujud dalam pelayanan prima, kecepatan menangani pasien, serta kemudahan mengakses RS Siloam karena ada di mana-mana. Pun dengan kebijakan RS Siloam yang menyediakan kamar perawatan bagi kaum miskin dengan biaya terjangkau, tapi pelayanan kelas satu.
Sementara, rumah sakit yang dikelola yayasan Katolik semakin menua. Jumlah rumah sakit Katolik juga pasti lebih banyak dibanding RS Siloam. Kehebatan rumah sakit Katolik sudah tersohor. Jika sebuah kota ada rumah sakit Katolik, bisa dikatakan itulah rumah sakit yang terbaik. Tapi, mungkin itu sudah masa lalu. Dari ratusan rumah sakit Katolik, mayoritas berdiri pada zaman penjajahan Belanda. Rumah sakit yang berdiri pada era kekinian nyaris bisa dihitung dengan jari.
Dalam kancah persaingan antarrumah sakit, rumah sakit Katolik semacam sosok tua, namun tetap terus bersolek, tegap, dan sehat. Sosok tua ini juga tak lagi lincah. Ia hanya menjalankan strategi bertahan, bukan menyerang.
Mengantisipasi masa kini dan masa depan, rumah sakit Katolik seharusnya berganti strategi menjadi “penyerang”, tanpa menanggalkan nilai kekatolikan. Pola pikir masa lalu tentang “misi” yang ingin mengkatolikkan banyak orang layak dibangkitkan lagi dengan pemahaman baru, yakni misi mendirikan rumah sakit sebanyak-banyaknya.
Tapi, bagaimana dengan semangat kapitalisme yang semakin kental merasuki bisnis rumah sakit? Tentu tak diharamkan bila rumah sakit Katolik mencari keuntungan.Mencari keuntungan bagi rumah sakit Katolik adalah kewajiban. Pun jika rumah sakit Katolik harus bersaing dengan rumah sakit yang kapitalis, rumah sakit Katolik bisa mengadopsinya dengan mengenakan biaya mahal, namun pelayanan, peralatan, dan dokter kelas satu. Dari keuntungan rumah sakit Katolik yang “kapitalis” ini, rumah sakit tersebut bisa mendirikan rumah sakit atau balai pengobatan yang hidup dari subsidi.
Saya membayangkan, dalam waktu dekat berdiri sepuluh rumah sakit Katolik yang “kapitalis”, yang memang bertugas mencari untung sebanyak-banyaknya, seratus rumah sakit Katolik “sosialis” yang antara keuntungan dan pelayanan seimbang, serta seribu rumah sakit Katolik “proletar” sebesar klinik atau puskesmas yang memang berdiri untuk menolong masyarakat tanpa peduli biaya. Dari mana dana untuk seribu rumah sakit itu? Lima puluh persen dari donasi sepuluh rumah sakit Katolikyang “kapitalis”, dua puluh lima persen sumbangan rumah sakit Katolik “sosialis”, dan sisanya berasal dari pendapatan sendiri.
A.M. Lilik Agung Lilik