HIDUPKATOLIK.com – Masa mudanya nyaris dihabiskan di lembah kelam. Hobinya berjudi, wataknya temperamental. Ia dipecat dari kemiliteran, hidupnya merana sebagai pengemis. Namun, Tuhan mengutusnya ke tengah orang sakit.
Muda, kaya, dan berbakat di bidang militer. Demikian potret Kamilus de Lellis. Tetapi, semua kelebihan itu raib! Padahal usianya baru memasuki masa produktif. Ia terpuruk karena hobi berjudi. Bukan hanya itu, Kamilus cepat marah dan bahkan bisa sampai meledak-ledak, meski alasannya perkara sepele. Ia didepak dari kemiliteran sebagai buntut tabiat buruknya.
Perangai Kamilus sama sekali tak berubah meski sudah dipecat. Ia tetap menghamburkan uang orangtuanya di atas meja judi. Rumah dan segala harta benda ludes. Hidup pria kelahiran Bocchionico, Abruzzo, Italia Tengah, 25 Mei 1550 ini merana. Hidupnya tergantung dari belas kasihan orang. Ia mengemis di pinggir jalan.
Kamilus nyaris mati kelaparan. Lambat laun, ia menyadari kelakuannya. Ia belajar dari pengalaman yang membuatnya terkatung-katung. Lalu, ia berhenti mengemis. Pada 1574, ia mengadu nasib menjadi kuli bangunan di Biara Kapusin (OFMCap) Manfredonia, Foggia, Italia.
Di biara inilah Kamilus seolah menelanjangi diri di muka cermin. Seluruh kekelaman masa lalu terlukis jelas. Masa muda yang seharusnya menjadi kesempatan merengkuh impian justru ia lelang dalam hingar bingar tindak maksiat.
Proses refleksi itu mulai menyalakan pijar harapan di hatinya. Kamilus ingin bertobat dan memperbaiki hidup. Ia ingin berbuat sesuatu untuk orang lain sebelum mati. Dalam bimbingan seorang Kapusin, ia menyerahkan diri dalam pertobatan. Ia dibaptis. Ia ingin menjadi Bruder Kapusin, namun ditolak karena kakinya pincang akibat perang melawan pasukan Turki.
Karunia Pertobatan
Tekad Kamilus meniti panggilan tak sirna. Berbekal gaji hasil kerja kasar, ia hijrah ke Roma untuk mengobati kakinya. Di Kota Abadi ini, ia bertemu Philipus Neri OC (yang di kemudian hari digelari Santo dalam kanonisasi 12 Maret 1622). Kamilus tertegun dengan keramahan Pastor Neri. Ia meminta sang pastor untuk menjadi Bapa Rohaninya. Berkat kemurahan Pastor Neri, mantan tentara itu mendapat pelayanan di RS St Yakobus, Giancomo. Kamilus menjalani pengobatan hingga sembuh.
Sebagai rasa terima kasihnya, Kamilus minta kepada pimpinan RS agar bisa membantu merawat orang-orang sakit di tempat itu. Keinginannya dikabulkan. Seiring waktu, berkat keuletan, perhatian, kerja keras, dan pengorbanan, ia akhirnya didaulat untuk memimpin RS Giancomo.
Meski sudah menjabat sebagai Direktur RS, Kamilus tetap turun ke bangsal- bangsal pasien. Ia menyapa dan memperhatikan kesehatan mereka. Hidup rohaninya mulai tumbuh subur. Ia menyediakan waktu untuk mengaku dosa, menjalani praktik hidup asketis, dan mengenakan pakaian berbahan kasar.
Dalam permenungan, Kamilus kian yakin, fokus panggilannya tertuju kepada orang-orang sakit. Setiap hari, ia menerima pasien yang membutuhkan pertolongannya; tak hanya secara fisik, tapi juga rohani. Tak sedikit pasien yang datang dan minta nasihat, serta peneguhan. Kamilus makin sadar, banyak pasien yang membutuhkan bantuan, tak melulu penanganan medis, tapi juga spiritual.
Kamilus tergerak mendirikan komunitas religius yang berorientasi kepada pelayanan orang sakit. Rencana itu diapresiasi oleh Pastor Neri. Bapa Pengakuannya itu pun menyumbangkan sejumlah uang, guna memulai membangun komunitas dan karya pelayanan.
Pada 1582, rencananya terealisasi. Komunitas ini ia namai Clerci Regulari Ministeri Infirmaribus (MI). Pada 1586, Paus Sixtus V mengesahkan komunitas tersebut sebagai sebuah kongregasi yang berhak menentukan pimpinannya sendiri. Kala itu, Kamilus didapuk sebagai Superior General pertama. Di kemudian hari, anggota ordo ini menyebut diri Kamilian, sesuai nama dan spiritualitas Bapa Pendiri.
Kemudian pada 1591, Paus Gregorius XIV memasukkan kongregasi itu dalam kelompok Ordo Mendikantes (pengemis) yang menghidupi empat kaul, yaitu: kemiskinan, kemurnian, ketaatan, dan pelayanan kepada orang sakit. Keberadaan ordo ini lalu dikukuhkan oleh Paus Klemens VIII pada 1592 dan 1600.
Rendah Hati
Meski pernah manjadi direktur dan mendirikan ordo, Kamilus tak malu mengakui diri sebagai pribadi yang berpendidikan minim. Meski usianya sudah berkepala tiga, ia tak sungkan belajar bersama anak-anak. Usai menamatkan pendidikan calon imam, Ia ditahbiskan oleh Uskup St Asaph, Wales, Inggris Raya, Mgr Thomas Goldwell CR, pada pada 1584. Dialah imam terakhir yang ditahbiskan sebelum keuskupan tersebut ditutup oleh Vatikan setahun kemudian.
Usai ditahbiskan, Kamilus melanjutkan karya pelayanan di antara orang sakit. Karya misinya kian meluas dengan berdirinya sejumlah biara di Napoli dan berbagai kota di Italia. “Mengabdilah seikhlas- ikhlasnya hingga titik darah terakhir, karena Tuhan hadir paling nyata di dalam diri orang-orang sakit yang kita layani. Tuhan mengutus kita untuk melayani mereka,” demikian ia selalu mengatakan.
Apa yang dikatakan, dilakukannya. Kamilus kerap mengabaikan waktu istirahat. Kebiasaan ini berdampak buruk bagi kesehatannya, hingga ia didera bermacam penyakit. Meski demikian, semangatnya tak redup. “Begitu besar kebahagiaan yang saya alami. Semua rasa sakit dan penderitaan adalah suatu kebahagiaan,” ungkapnya, mengutip perkataan St Fransiskus.
Dokter menyatakan hidupnya tak akan bertahan lama, tetapi ia justru menganggap itu sebagai warta gembira. Kala berada dalam sakratul maut, Kamilus menghaturkan syukur atas penyelenggaraan Tuhan. “Ya Tuhan, saya mengaku paling celaka dari antara orang-orang berdosa. Saya sangat tidak layak menerima rahmat-Mu. Namun, Engkau menyelamatkan saya dengan kebaikan- Mu yang tak terbatas. Saya berharap dapat ditempatkan dalam rahmat Ilahi- Mu melalui darah-Mu yang mulia,” bisik Kamilus dengan melepas senyum.
Permohonan Terakhir
Menjelang akhir hayatnya, Kamilus rajin mengaku dosa dan mohon pengampunan Tuhan atas segala khilaf selama hidupnya. Pada 14 Juli 1614, ia menghembuskan nafas terakhir dalam usia 64 tahun di Genoa, Italia. Jenazahnya dikuburkan di Gereja St Maria Magdalena, Roma. Setelah wafatnya, banyak umat yang mengalami mukjizat kesembuhan setelah berdoa melalui perantaraan imam pemerhati orang sakit ini.
Paus Benediktus XIV (1740-1758) membeatifikasi Kamilus pada 1 April 1742. Lalu pada 29 Juni 1746, Paus yang sama menganugerahkan gelar Santo. Gereja mengenang teladan hidup pelindung para orang sakit dan tenaga medis ini tiap 14 Juli.
Odorikus Holang