HIDUPKATOLIK.com – Ia lumpuh karena jatuh dari atap rumah. Batinnya bergolak, ia melayangkan protes kepada Tuhan. Akhirnya ia bersyukur atas apa yang ia alami.
Sisilia Tri Purnomo menikah dengan Ignatius Hapsoro Wirandoko pada 24 Maret 1996. Waktu itu, Hapsoro tengah menyelesaikan kuliahnya sebagai calon dokter.
Sisilia, sosok perempuan yang tertib, disiplin dan pekerja keras. Ia pun “mengharuskan” sang suami dan anak-anaknya tertib dan disiplin. Ia mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, memasak, membereskan rumah, dan menjalankan bisnis.
Sisilia merasa bisa melakukan segala sesuatu sendiri dan sangat percaya diri. Ia mengandalkan hidupnya dari kemampuan diri sendiri. Ia juga selalu mengatur sang suami, misalnya dalam hal berpakaian. Selain itu, ia mengharuskan keluarga melakukan semua hal seperti kemauannya.
“Dulu saya juga amat keras kepada anak. Jika lima menit setelah bel pulang sekolah, anak saya Larasati belum sampai di mobil saya, saya marah. Saya berteriak- teriak,” kisahnya. Mengenang peristiwa itu, Sisilia menyesal dan malu. “Mengapa saya mudah marah kepada anak dengan hal-hal kecil, tanpa saya tanyakan dulu alasannya?” sesal Sisilia.
Sapaan Tuhan lewat kelumpuhan yang dialami Sisilia seolah menjadi titik balik yang mengubah hidup dan pribadi Sisilia.
Protes kepada Tuhan
Kala itu, 11 Mei 2011, Sisilia dan keluarganya tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Suatu pagi setelah mandi, Sisilia melihat pohon mangga di depan rumahnya berbuah lebat dan ranum. Ia pun mengajak sang suami untuk memanen mangga. Suaminya, Hapsoro, mengambil tangga dan memanjat. Namun Sisilia meminta Hapsoro turun. “Saya saja yang manjat,” ujarnya.
Hapsoro menuruti permintaan Sisilia. Setelah Hapsoro turun, Sisilia memanjat dan berdiri di atap emper rumah yang terbuat dari asbes. Ia memetik mangga satu demi satu dan melemparkannya ke bawah yang ditangkap oleh suaminya. Karena panen mangga sudah cukup banyak, Hapsoro meminta Sisilia turun. Ia menuruti permintaan suaminya.
Namun sebelum turun, Sisilia melihat banyak daun kering di atap rumahnya. Dengan tangannya, ia pun membersihkan daun-daun itu. Saking asyiknya, kaki Sisilia salah langkah. Atap yang diinjaknya jebol. Ia terjatuh dan pingsan beberapa saat. Setelah sadar, Hapsoro mengajaknya ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaannya. Namun, perempuan kelahiran Jakarta, 5 Juni 1975 ini menolak. “Tidak usah Pa, saya tidak apa-apa.”
Hapsoro berusaha membujuk Sisilia untuk memeriksakan diri ke dokter karena ia khawatir ada yang serius terjadi pada istrinya. Kedua kaki Sisilia menurut Hapsoro dingin sekali. “Ma lebih baik kita cek, supaya tidak terjadi apa-apa,” bujuk Hapsoro. Akhirnya Sisilia menuruti sang suami.
Sesampainya di RS Elisabeth Semarang, Sisilia langsung ditangani oleh dokter ahli tulang, teman Hapsoro. Hasil pemeriksaan menunjukkan, lima ruas tulang belakang Sisilia rusak. Lima ruas tulang belakangnya itu dipasangi pen agar Sisilia nantinya bisa duduk.
Dokter pun menjelaskan kepada Hapsoro bahwa secara medis Sisilia akan mengalami lumpuh permanen. Hapsoro berusaha menerima penjelasan dokter, meski batinnya menjerit. Hapsoro tidak rela istrinya menderita kelumpuhan. Ketika dokter mengatakan apa yang terjadi kepada Sisilia bahwa ia akan lumpuh, Sisilia menerima berita itu dengan tenang. Ia yakin bahwa semua penyakit akan sembuh pada waktunya. “Jangankan yang lumpuh, orang sakit kanker yang belum ada obatnya saja bisa sembuh,” katanya.
Minggu berganti, bulan berlalu, kelumpuhannya tak kunjung pulih. Perempuan yang dikaruniai tiga anak ini mulai gelisah dan melayangkan protes kepada Tuhan. “Tuhan, apa salahku? Mengapa Tuhan menghukum saya seperti ini? Saya ingin melayani keluarga, Gereja, dan sesama, lumpuh?”
Bagi Sisilia, setiap malam terasa amat panjang. Saat suami dan anak-anaknya tertidur, ia masih terjaga. “Tuhan kenapa Kau siksa saya? Apa dosaku?” protesnya. Sisilia membayangkan masa lalu sebelum sakit, ketika ia bisa melakukan berbagai hal, termasuk menyopir mobil sendiri. “Jangankan nyopir, mau bangkit saja sekarang tidak bisa, kecuali dengan dibopong,” ujarnya.
Kini semua berubah. Sisilia menghabiskan harinya di kursi roda dan tempat tidur. Jika Minggu tiba, ia pergi ke gereja bersama keluarga. Sang suami dengan setia menggendong Sisilia untuk turun dan naik dari mobil. “Dulu saya selalu mbopong anak ketika masih kecil, sekarang saya dibopong seperti anak kecil,” ujarnya. Dalam keadaan seperti itu, hatinya makin teriris ketika melihat sang suami. Bagi Sisilia, suaminya telah berjuang tanpa mengenal lelah untuk bekerja dan tetap setia mendampinginya. Di tengah sedih yang menyelimuti hati, Sisilia pun mengambil Rosario dan mulai mendaraskan doa, untuk menimba kekuatan.
Menerima Kenyataan
Berbulan-bulan Sisilia bergulat dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Seiring waktu, ia merasa lelah. “Jika saya yang manusia saja mengasihi anak-anakku, tentu Tuhan lebih dari itu. Kasih Tuhan padaku lebih besar dari pada kasihku kepada anakku.”
Sisilia mulai merenungkan segala pengalaman yang terjadi pada dirinya. Ia mencoba untuk menggali duka Bunda Maria yang tak terhingga. Karena imannya, Bunda Maria bahagia dan segala deritanya sebagai Bunda Penebus menjadi berkat. Sisilia ingin meneladan Bunda Maria. Ia berusaha untuk merenungkan apa kehendak Tuhan yang terbaik dalam peristiwa yang ia alami. Ia mulai menerima kenyataan serta berdamai dengan diri, keluarga, dan Tuhan.
Sang suami terus mendampingi dan menguatkannya. Di tengah kesibukan sebagai dokter dan dosen, Hapsoro juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang biasa dikerjakan sang istri. Sebelum berangkat bekerja, Hapsoro pergi ke pasar, merawat Sisilia, kemudian baru berangkat bekerja.
“Pa, maafkan saya. Saya sangat merepotkan Papa. Sekarang saya tak dapat berbuat apa-apa,” ujar Sisilia. “Ma, pengorbanan Mama kepada saya dan anak-anak sudah amat banyak, sekarang saatnya saya melayani Mama,” jawab Hapsoro.
Sisilia, yang sejak Agustus 2011 menjadi warga Paroki Bunda Maria Cirebon, semakin merasakan kasih Tuhan lewat suami dan anak-anaknya. Perlahan semangat hidupnya pulih. Dibantu oleh pekerja rumah tangga, dengan kursi roda Sisilia berusaha mengerjakan pekerjaan rumah tangga: memasak, mencuci piring, dll. Sisilia terus memeluk keyakinan bahwa anugerah kesembuhan akan ia dapatkan. “Saya pasti akan sembuh,” demikian ia katakan kepada siapa saja yang ia jumpai.
“Dulu saya hidup dengan mengandalkan diri sendiri karena saya menganggap mampu melakukan segala hal yang saya mau. Kini, saya menyandarkan hidup saya kepada Tuhan. Hidup bersandar pada Tuhan itu membawa damai. Di dalam Tuhan, tak ada kekhawatiran,” ungkapnya penuh keyakinan. “Tuhan, terima kasih. Jadikan kami rendah hati. Jadikan kami berkat bagi sesama,” ujar Sisilia dalam doanya.
Lewat pergulatan batin yang panjang, Sisilia menemukan bahwa kelumpuhan kakinya telah menyembuhkan jiwanya. “Kaki saya masih lumpuh, tetapi rohani saya sembuh. Tuhan Mahakasih. Tuhan merajai hatiku. Saya telah disembuhkan dan diselamatkan dari keangkuhan diri,” demikian Sisilia.
Yohanes Muryadi