HIDUPKATOLIK.COM – Menjadi Guru Haruslah Menjadi Sebuah Hobi
Hari Guru Nasional yang kita peringati disetiap tanggal 25 November dan Hari Guru Sedunia disetiap tanggal 5 Oktober (sejak tahun 1994, dikutip Wikipedia), seolah ingin mengingatkan kita untuk memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan mereka bahwa keberlangsungan generasi pada masa depan ditentukan oleh guru.
Barangkali kita juga masih ingat dengan syair lagu berjudul “Jasamu Guru” yang diperdengarkan sejak kecil:
Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dibimbing pak guru, Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara
Meskipun jasa mereka sedemikian besarnya bagi kemajuan suatu bangsa dan dihormati akan profesinya secara khusus disetiap tahunnya, dinamika perjuangan seorang guru di kota-kota besar yang telah lebih maju hingga saat ini pun masih sangat kontras perbedaannya dengan mereka yang berkarya di tanah Papua.
Seperti apa lika-liku dan pahit manisnya seorang guru yang mengajar di tanah Nabire, Papua yang dimaksud itu? Simak tulisan dari bruder A. Dieng Karnedi, SJ, SS, S.Pd untuk anda pembaca setia Hidup digital:
- https://www.hidupkatolik.com/2017/11/22/14920/saya-benci-menjadi-seorang-guru-bagian-i/
- https://www.hidupkatolik.com/2017/11/24/15151/saya-benci-menjadi-seorang-guru-bagian-ii/
- https://www.hidupkatolik.com/2017/11/27/15263/saya-benci-menjadi-seorang-guru-bagian-iii/
- https://www.hidupkatolik.com/2017/11/29/15180/saya-benci-menjadi-seorang-guru-bagian-iv/
Selanjutnya kita diajak oleh bruder Dieng SJ untuk menelusuri bagian cerita yang kelima (akhir dari rangkaian cerita sebelumnya berjudul “saya benci menjadi seorang guru”) berikut ini:
Sebagai seorang guru, segala bentuk “ratapan“ di atas bukanlah tantangan yang melemahkan semangat, justru sebaliknya, itulah kesempatan bagi saya untuk bertindak lebih. Dengan seluruh bekal dan pengalaman yang saya miliki, saya pun mulai mengajar anak-anak dengan penuh cinta dan semangat.
Semua yang terbaik, menurut takaran saya, saya berikan tanpa ragu-ragu kepada anak-anak didik. Saya yakin, walaupun saat ini mungkin mereka tidak memahami seluruh materi pembelajaran yang saya sampaikan, suatu saat nanti saya yakin mereka akan mengingatnya. Paling tidak, mereka pernah mencicipi materi pembelajaran yang normalnya diberikan oleh para guru mereka. Sebab, hal semacam itu pun adalah hal yang langka di tanah ini.
Karena saya memiliki kecintaan yang besar terhadap lingkungan hidup, tumbuh-tumbuhan dan persoalan-persoalan ekologi, saya pun mengintegrasikan rasa cinta saya itu dalam proses pembelajaran.
Saat mengajar agama dengan tema lingkungan hidup, saya mengajak anak-anak untuk membuat kebun tanaman herbal. Saat mengajar tentang keanekaragaman hayati di kelas biologi peminatan kelas X, saya mengajak anak-anak untuk mencermati bunga-bunga Zinnia elegans dan Impatiens balsamnia sebagai contoh-contoh jenis tanaman yang mengalami variasi genetik.
Anak-anak juga merasa gembira pada saat belajar tentang kerygma (pewartaan) sebagai tugas gereja dan mereka diberi tugas untuk menjadi kakak-kakak pembina dan mengajar sekolah minggu.
Akhirnya, apakah saya benci menjadi guru? Tidak. Justru dengan menjadi guru itu saya belajar banyak. Saya belajar mengenai aktualisasi diri, kreativitas dan bagaimana melayani dengan tanpa pamrih.
“Menjadi guru haruslah menjadi sebuah hobi“ kata Rm. Sunu Hardiyanta, SJ, dosen sekaligus provinsial saya. Saya setuju dengan kata-kata beliau dan mulai saat ini tentu hobi menjadi guru tersebut akan saya hidupi dengan sungguh-sungguh.
Salam Koteka (Kobarkan tekad kepada Allah)
Br.Dieng SJ adalah satu contoh Misionaris Lokal di Nabire, Papua, seorang “santo” nyata di zaman now, yang selain aktif mengajar dan sebagai sub moderator di sekolah SMA Adhi Luhur (kolese Le Coq d’Armandville), juga berkeliling ke stasi-stasi (yang jaraknya cukup jauh dan lintasan menantang) di pedalaman Nabire di setiap Minggunya untuk memimpin ibadat. Terjadwal juga turut membantu di paroki Kristus Sahabat Kita, Meriam.
Hobi dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup dilakukannya bersama anak-anak SMA Adhi Luhur dalam komunitas Le Cocq d’Armandville Botanical community.
Harapannya kepada para pembaca sekalian, “agar (mereka) lebih peduli pada sesama, di luar sana ada saudara-saudari kita yang mengalami kesulitan dan tantangan lebih berat, mengajak mereka lebih mensyukuri rahmat-rahmat pendidikan yang telah mereka alami dan akhirnya lebih menghargai para guru dengan segala perjuangannya“.
Terimakasih Bapak guru, terimakasih Ibu guru, jasamu kukenang selalu.
(A.Bilandoro)