HIDUPKATOLIK.com – Bu Dina, hubungan saya dengan pacar belakangan ini menemui banyak masalah. Kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun dan merencanakan untuk menikah. Tapi, akhir-akhir ini, setiap kami bertengkar karena perbedaan pendapat. Dia kerap mengucapkan kata “putus”. Saya tak pernah mengiyakan, karena saya sangat mencintainya. Saya tak ingin dia meninggalkan saya. Apakah saya bodoh? Apa itu termasuk cinta buta? Apa yang harus saya lakukan, kalau pacar minta putus terus? Apa saya harus menyetujui permintaannya?
Dia sulit saya ajak berdiskusi secara serius. Saya khawatir jika kami menikah, dia sulit diajak berkomunikasi. Padahal, kata orang, persoalan dalam hidup berkeluarga amat kompleks. Bagaimana mungkin menyelesaikan masalah keluarga tanpa harus berembung bareng antara suami dan istri. Mohon masukannya, Bu.
Christoforus Tanjung, Bekasi
Mas Christoforus, terima kasih telah berbagi pengalaman di forum ini. Berpacaran pada dasarnya adalah tahapan sebelum pernikahan untuk saling mengenal satu sama lain. Proses perkenalan ini tujuannya untuk menyesuaikan diri satu sama lain, agar dalam pernikahan, masalah yang muncul bisa diantisipasi.
Menurut psikolog asal Amerika, Robert Sternberg, cinta terdiri dari tiga komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan suatu hubungan, yaitu passion (hasrat/gairah, termasuk seksual), intimacy atau kedekatan, serta commitment yaitu perjanjian untuk terus menjalin hubungan, baik secara informal (berpacaran) maupun secara formal (pernikahan).
Di setiap tahap hubungan, ketiga komponen ini akan mengalami perubahan komposisi atau perbandingan, misal passion akan ada di awal-awal hubungan dan biasanya menurun seiring berjalannya waktu, atau perubahan komitmen dari informal ke formal. Hal yang juga penting untuk diketahui adalah perbedaan akan selalu ada dalam setiap hubungan, termasuk pernikahan yang langgeng sekalipun.
Hal penting adalah mencari jalan tengah atau kompromi untuk menghadapinya, atau menerima perbedaan tersebut sebagai bagian dari dinamika suatu hubungan. Saat pasangan mudah sekali mengucapkan kata putus, setiap menghadapi konflik akibat perbedaan, maka perlu dikaji kembali tingkat komitmen dari yang bersangkutan.
Anda sendiri juga perlu melihat kembali secara obyektif apakah perbedaan yang ada dalam diri Anda dan pasangan merupakan deal breaker, atau hal yang secara mendasar sebenarnya tidak bisa Anda terima, dan selalu menjadi sumber konflik. Coba luangkan waktu untuk benar-benar membicarakan perbedaan yang sering memicu konflik dengan pasangan, misalnya pada saat santai atau hari libur, dan mencari solusi atau sampai pada tahap agree to disagree, artinya menerima perbedaan tersebut dengan lapang dada dan berjanji untuk tidak mempermasalahkannya pada kemudian hari.
Coba Anda bicarakan dengan pasangan hal-hal yang disukai masing-masing, merasa nyaman, dan sebaliknya terkait pasangan Anda; mulai dari yang konkret (seperti nada suara, kecepatan berjalan, dan cara memperlakukan pasangan) sampai yang ke abstrak (misal agama, politik, norma sosial).
Diskusikan juga rencana kehidupan pernikahan, seperti pendapatan dan keuangan, keluarga besar, aktivitas, serta kebiasaan di dalamnya, jumlah dan cara pengasuhan anak, dan aspirasi jangka panjang baik sebagai pribadi maupun pasangan suami istri. Sebagian pasangan yang berpacaran terkadang kurang meluangkan waktu untuk membicarakan hal-hal penting tersebut dan pada akhirnya setelah menikah sering berkonflik, padahal seharusnya perbedaan tersebut dapat diantisipasi sebelum menikah.
Jika memang Anda masih berniat untuk mempertahankan hubungan, hal lain yang dapat dicoba adalah berkonsultasi dengan pemuka agama, konselor, atau psikolog baik sendiri maupun dengan pasangan. Setelah melakukan berbagai upaya, tetapi pasangan Anda kurang menunjukkan komitmen ataupun usaha untuk kompromi, ada baiknya Anda memikirkan kembali segala konsekuensi dari karakteristik pasangan jika kelak menikah. Selamat berjuang.
Dinastutipacaran