HIDUPKATOLIK.com – Seorang pemimpin menciptakan perubahan atas status quo dan mampu menggerakkan serta mempengaruhi orang lain. Sebuah perubahan selalu berasal dari status quo. Pemimpin berbeda dengan negarawan. Negarawan adalah pemimpin politik yang taat asas, bebas dari kepentingan, dan menyusun kebijakan demi kemaslahatan rakyat dengan pandangan ke depan, serta mengelola masalah kenegaraan dengan kebijaksanaan.
Pemimpin yang efektif memiliki sifat atau ciri tertentu yang sangat penting, misal, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Paling tidak, itulah gambaran sejumlah tokoh pemimpin dunia, seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Soekarno, dan yang lain.
Pasca Reformasi 1998, negara ini telah menerapkan sistem demokrasi. Sistem ini melahirkan para pemimpin baru. Rakyat punya banyak alternatif dalam memilih pemimpin. Namun, bila melihat politik elit, terutama elit partai politik, kita masih melihat bahwa pemimpin baru hanya ada di tingkat bawah. Wajah lama yang itu-itu saja masih bercokol sebagai pemimpin partai politik.
Aktor-aktor politik yang ada dalam pusaran Pemilu 2014 adalah orang-orang lama, yang pernah meramaikan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Kalaupun Indonesia pada Pemilu 2014 lalu menghasilkan muka baru sebagai presiden, tapi wakil presiden, pimpinan partai politik, dan sebagian anggota parlemen adalah wajah lama. Kabinet juga melibatkan wajah-wajah lama.
Indonesia saat ini memiliki banyak pemimpin. Tapi tak ada satupun yang tampil sebagai negarawan. Praktik demokrasi selama 17 tahun, sepertinya menciptakan defisit negarawan. Demokrasi ternyata hanya demokrasi politik, belum menyentuh demokrasi sosial. Hak asasi yang muncul baru hak asasi politik, dan belum menyentuh hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya. Nasionalisme sama sekali belum mengarah demi menyejahterakan rakyat.
Politik saat ini justru politik yang tak bisa diterima etik dan norma publik, bahkan cenderung menampilkan akrobatik politik kotor dan kekuasaan yang koruptif. Indonesia seperti kehilangan konsep untuk bekerja yang bukan sekadar bekerja.
Pemimpin yang ada saat ini, tak lebih adalah mereka yang lahir dari proses simbiosis mutualistik kekuasaan lama dan kekuatan baru. Para pemimpin yang ada ini adalah elit baru yang telah mengalami metamorfosis. Mereka melekat erat di parlemen, di berbagai unit asosiasi sipil, politik, bisnis, birokrasi dan partai politik, serta menguasai hampir seluruh gelanggang percaturan, termasuk di ruang publik.
Di tengah sistem yang korup, kaum elit itu mengerjakan beragam kepentingan melalui mekanisme dan prosedur demokrasi. Dengan cara ini, mereka membajak demokrasi, dan membuat transisi menuju demokrasi yang lebih substansial macet di tengah jalan.
Hal ini memperlihatkan demokrasi dan demokratisasi bukan sekadar liberalisasi politik. Rezim otoritarian memang telah tumbang, tapi masih banyak agenda yang belum dikerjakan guna memperbaiki instrumen pemerintahan demokratik. Proyek besar merekonstruksi negara, sepertinya jauh lebih rumit daripada menjatuhkan pemerintahan otoriter.
Dengan menggunakan prosedur, mekanisme, dan metode demokrasi, para aktor dari kalangan elit lama yang berkolaborasi dengan elit baru ini sesungguhnya mengembangkan strategi komprehensif untuk memanfaatkan sistem hukum dan sistem politik demi memperkuat posisi mereka dengan dukungan publik. Mereka menguasai semua sektor dengan menggunakan demokrasi, membajak semua kemungkinan perubahan politik, demi kepentingan sendiri.
Transisi menuju demokrasi ternyata hanya ilusi. Indonesia pasca reformasi, ternyata hanya melahirkan elit baru yang menguasai berbagai sektor negara. Elit baru ini beradaptasi dengan sistem baru dan larut ke dalamnya. Yang ironis, hampir tak ada satupun elit lama berhasil memegang posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Maka, barangkali kita tak lagi memerlukan pemimpin. Yang kita butuhkan seorang negarawan!
Stanley Adi Prasteyo