HIDUPKATOLIK.com – Mengawali dan mengakhiri hari dengan meditasi, doa dan merefleksikan isi Kitab Suci membuat imannya dewasa. Aneurisma otak menghampirinya. Ia memeluk rasa sakit dengan iman dan kasih akan Tuhan.
Pagi masih pucat. Seperti biasa, Maria Florentina Kindawati Sumantri bangun tidur, lalu duduk. Hening, diam di hadapan Tuhan. Ia bermeditasi. Sembari menutup mata, ia mengucap doa dalam hati: Maranatha …Maranatha …. Berulang- ulang doa itu ia rapalkan sambil membiarkan diri lebur dalam keheningan.Maranatha artinya “Tuhan, datanglah” (1Kor 16:22).
Tin, begitu sapaannya, adalah seorang meditator dalam Komunitas Meditasi Kristiani Indonesia atau The World Community for Christian Meditation (WCCM) Indonesia. Sejak 2007, ia terlibat dalam komunitas ini, di Jakarta. Setiap Minggu, anggota komunitas berkumpul per paroki atau dekanat untuk merenungkan bacaan Kitab Suci, bermeditasi, dan berbagi pengalaman iman.
Tiap pagi dan petang, Tin melakukan meditasi secara pribadi di rumah selama 20 sampai 30 menit. “Masalah sebesar apapun, bila dihadapi dengan pikiran dan hati tenang, pasti ada jalan keluar,” tandas perempuan yang dikaruniai seorang putri ini. Melalui meditasi, Tin percaya bahwa Tuhan selalu bersamanya.
Suatu sore, 11 Juli 2014, tiba-tiba Tin merasakan sakit kepala yang luar biasa. Mata kanannya pun seperti ditekan dan ditarik sampai ke belakang kepala. Rasa sakit itu disertai mual dan muntah. Alih-alih berpikir macam-macam, ia justru menganggapnya sebagai sakit kepala biasa.
Diagnosa Dokter
Tiga hari berselang, Tin masih merasakan sakit kepala. Ia lalu memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Dokter mendiagnosa bahwa Tin hanya kelelahan dan stres biasa, sehingga dokter hanya memberinya obat penahan sakit dan obat penenang agar bisa beristira hat. Mendengar penjelasan dokter, Tin berusaha menerima. Namun, desakan untuk mencari tahu penyakit apa yang sebenarnya terus menderanya.
Usai berdiskusi dengan keluarga, Tin memeriksakan diri ke dokter spesialis syaraf. Dokter menyarankan agar Tin berkonsultasi dengan dokter mata untuk pemeriksaan tekanan bola mata, karena diduga ia mengalami glaukoma. Ia juga menjalani berbagai pemeriksaan. Hasilnya normal. Namun rasa sakitnya tak kunjung raib.
Demi kesembuhannya, Tin pergi ke dokter mata. Dokter memberi obat dan berpesan apabila obat sudah habis dan masih sakit, Tin diminta untuk melakukan CT-scan kepala. Obat habis, tapi sakit kepalanya seolah tak mau pergi. CT-scan kepala pun ia jalani.
Selain berobat ke dokter, Tin mengikuti seminar kesehatan. Salah satunya seminar “Mari Mencegah Stroke” di Paroki Stella Maris Pluit, Jakarta Utara dengan pembicara dr Julius July.
Sembilan hari berlalu sejak sakit kepala yang tiba-tiba mendera Tin. Ia masih belum mengetahui penyakitnya. Pada Minggu, 20 Juli 2014, Tin terbangun pukul 05.00. Perutnya mual dan ia muntah. Namun hal itu tak menghalanginya untuk tetap melakukan kebiasaaan doa dan meditasi pagi. Setelah bermeditasi, ia berniat untuk kembali tidur karena hari masih pagi.
Selang 10 menit, kepalanya terasa sangat sakit dan matanya seperti ditarik. Tin tak kuasa menahan sakit. Ia menangis, berteriak memohon bantuan kepada Tuhan.
Putri semata wayangnya, yang juga dokter, segera memeriksa tekanan darah bundanya dan memberinya obat penenang. “Saya tertidur pulas. Ketika terbangun, saya begitu terkejut karena mata kanan tidak bisa terbuka sama sekali,” kisah istri Ignatius Maria Budinugroho Prawiro ini.
Rasa takut dan bingung menyelimuti hati Tin. Apalagi saat itu, suami dan anaknya pergi mengikuti Misa di gereja. Di tengah rasa takut yang mendera, Tin memotret matanya dengan handphone dan mengirimkan kepada kakaknya. Sang kakak mengatakan, foto mata Tin sama seperti gambar dalam slide presentation Dokter Julius di seminar “Mari Mencegah Stroke”. Sang kakak menganjurkan Tin untuk berkonsultasi sekaligus berobat ke Dokter Julius di RS Siloam, Lippo Village Tangerang. Namun, Tin masih mempertimbangkan usulan itu karena ia ingin melihat hasil CT scan kepala dari dokter spesialis syaraf.
Hasil CT-scan normal. Ketika melihat mata Tin yang bengkak, dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan: MRI dan DSA. “Saya melihat dokter sepertinya bingung melihat mata saya yang tertutup sebelah. Saya akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan pemeriksaan,” ujar umat Paroki St Petrus dan Paulus Mangga Besar, Jakarta ini. Lalu Tin memeriksakan diri kepada Dokter Julius.
Mengucap Syukur
Pada 22 Juli 2014, Tin ditemani sang suami berobat ke Dokter Julius. Dokter ini, ahli bedah saraf yang meneliti aneurysma otak. Dokter langsung menganjurkan untuk pemeriksaan CT Angiografy.Setelah menunggu dua jam, hasil pemeriksaan keluar. Tin harus segera menjalani operasi pada hari itu. Ia didiagnosa terkena aneurysma otak, yaitu adanya pelebaran pembuluh darah di otak yang menekan saraf matanya. “Dokter tidak bisa menunda-nunda lagi. Dokter tidak mau mengambil risiko … sebab pernah terjadi penundaan operasi, akhirnya bearakibat fatal pada pasien. Dokter tidak mau hal itu terjadi kepada saya,” kenang perempuan kelahiran Cirebon, 1 November 1959 ini.
Usai berunding dengan keluarga, diputuskan bahwa Tin akan menjalani operasi pada pukul 23.00 hari itu. Tin terlihat tegar dan tidak takut untuk menjalani operasi. Ia dan keluarganya berdoa bersama dan menyerahkan semua kepada Tuhan. Dukungan serta doa keluarga dan teman-temannya menjadi kekuatan tersendiri baginya.
Sebelum menjalani operasi, Tin tak henti mendaraskan doa. “Saya berdoa Bapa Kami, Salam Maria, dan mengucapkan Maranatha, lalu masuk dalam keheningan meditasi. Saya pasrah kepada kehendak Tuhan dan percaya Allah Bapa tak pernah meninggalkan anaknya sendirian,” kisahnya. Operasi pun dilakukan.
Keesokan harinya, Tin tersadar dan sudah berada di ICU. Sukacita dan syukur kepada Tuhan menghiasi hati Tin karena ia tidak merasakan sakit. Dokter mengatakan, sangat mustahil setelah selesai operasi ada orang yang kelihatan sehat bugar dan penuh sukacita.
Kemudian Tin diizinkan untuk pindah ke ruang perawatan. Lima hari pasca operasi, mata kanan yang bengkak berangsur-angsur pulih. “Hal ini di luar dugaan. Tuhan sungguh luar biasa … saya tidak mengalami muntah dan tidak merasakan sakit sama sekali. Tuhan menjaga saya,” tandasnya.
Pada penghujung bulan Juli, Tin diperbolehkan pulang. Masih terlihat jelas 38 bekas jahitan yang terlihat seperti bando pada separuh lebih kepala yang rambutnya telah dicukur habis. Seminggu pasca operasi, dokter membuka semua jahitan di kepalanya. Menurut dokter, kesembuhan Tin begitu cepat dan tak terduga. “Semua ini berkat ketekunan Ibu bermeditasi setiap hari,” kata sang dokter.
Tin dan keluarga terus bersyukur atas anugerah Tuhan itu. Pada hari Minggu, Tin pergi ke Gereja bersama keluarganya. “Ini juga berkat doa dari keluarga dan teman- teman, termasuk pimpinan WCCM Internasional Fr Laurence Freeman OSB; saya sembuh. Kekuatan doa sungguh luar biasa,” paparnya.
Bagi Tin, pengalaman sakit aneurisma otak merupakan anugerah Tuhan. Ia berkata, “Saya melihatnya sebagai ujian atas iman. Ini salah satu bentuk kasih-Nya kepada saya. Mukjizat-Nya nyata dalam hidup saya. Tuhan menyelamatkan hidup saya tepat pada waktu-Nya.”
Yustinus H. Wuarmanuk