HIDUPKATOLIK.com – Badan SAR (Search and Rescue) Nasional atau Basarnas bertugas menangani bencana. Belakangan, nama Komandan Basarnas, Marsekal Madya Felicianus Henry Bambang Sulistyo, mencuat karena berhasil memimpin operasi evakuasi korban Air Asia.
Desember 2014, Indonesia tengah berduka atas peristiwa bencana tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah. Di bulan yang sama, Indonesia juga dikejutkan oleh jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di sekitar perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Karena menelan korban jiwa cukup banyak, tak heran jika musibah ini menyedot perhatian masyarakat dari berbagai lapisan.
Berbagai institusi yang terkait bahumembahu menyelamatkan korban. Tak terkecuali, ujung tombak dari tim penyelamat yakni Basarnas. Sejak pesawat Air Asia QZ 8501 dinyatakan hilang kontak, kepala Basarnas (Kabasarnas), Felicianus Henry Bambang Sulistyo atau yang akrab disapa Bambang menjadi fokus perhatian masyarakat, baik pemerintah, media, maupun keluarga korban. Dari menit ke menit, keterangan Bambang selalu ditunggu oleh masyarakat.
Bambang adalah “otak” dibalik proyek kemanusiaan besar-besaran dalam mencari korban pesawat Air Asia QZ 8501. Pada hari kedua, ketika pesawat dinyatakan hilang, Bambang melakukan teleconference dengan keluarga korban di Surabaya. Terlihat, keluarga korban menangis dan berharap kepada Basarnas agar dapat segera menemukan korban dalam keadaan selamat.
“Melihat serpihan pesawat yang ditemukan, saya kira tidak akan ada korban yang selamat. Tapi saya tidak bisa menyampaikan hal itu pada keluarga korban pada hari pertama dan kedua itu. Ini perang batin buat saya. Pertama kali bertatap muka dengan mereka, saya terharu, tanpa sadar menitikkan air mata. Sebagai tentara hal itu pantang. Tapi dalam operasi kemanusiaan seperti ini, tentarakan juga manusia, yang bisa meneteskan air mata,” kata Marsekal Bintang Tiga tatkala ditemui di Kantor Basarnas, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 26/1.
Selama proses pencarian korban, anak kedua dari delapan bersaudara ini memantau proses evakuasi dari ruangan “Command Centre” di kantornya. Demi koordinasi, kelancaran evakuasi dan menampung informasi yang berdatangan, ayah dua orang ini hanya tidur 90 menit sehari dan selama 18 hari tak sempat pulang ke rumah. “Karena tuntutan tugas, saya tidak mungkin pulang ke rumah. Sampai malam informasi terus masuk. Keluarga tak masalah dengan hal ini,” tutur lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini.
Cinta Pesawat
Bambang kecil, lahir dari keluarga guru di Bantul, DI Yogyakarta. Tempat tinggalnya berdekatan dengan area latihan penerbang angkatan udara. Bunyi pesawat terbang sudah tak asing terdengar di telinganya. Sejak kecil, Bambang sering melihat pemandangan pesawat terbang landing dan take-off. Inilah, awal mula ketertarikan Bambang pada dunia penerbangan.
Lulus dari SMA Argomulyo, Sedayu, Bambang mendapat beasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Lantaran biaya hidup yang tinggi pada masa itu, Bambang tak ingin menjadi beban orangtua. Ia hanya bertahan tiga bulan di IPB dan memutuskan keluar. Suami dari Natalia Ratih Setyaningsih ini kemudian ikut tes masuk di Akabri, dan diterima.
Saat penentuan jurusan, umat stasi St Agustinus, Halim Perdanakusuma, Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur ini hanya menulis satu pilihan yakni Angkatan Udara. “Saya memang ingin menjadi penerbang. Pilihan saya hanya satu, angkatan udara saja, gak ada pilihan lain,” tegas pria yang pernah menjabat sebagai Dirjen Rencana Pertahanan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia ini.
Bambang diterima dan memulai debut karirnya di dunia penerbangan. Ia menempuh pendidikan di sekolah penerbangan dan masuk jurusan penerbang tempur. Pemilik pangkat Marsekal Madya TNI ini mulai berlatih pada salah satu jenis pesawat tempur. Setelah mahir, beberapa pesawat tempur, ia terbangkan seperti Sukhoi dan A-4 Skyhawk. Ia juga pernah menjadi dosen jurusan pesawat tempur di Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI). Bambang juga ikut mendirikan tim Aerobatik Jupiter TNI Angkatan Udara.
Sejak 14 April 2014, Bambang ditunjuk sebagai Kepala Basarnas menggantikan Mayjen TNI Marinir Alfan Baharuddin. “Bagi saya, karir dan jabatan tak begitu penting. Sebagai prajurit negara, saya siap ditugaskan dimana saja,” tandasnya.
Karya Seni
Sebagai Kepala Basarnas, Bambang paham betul tugasnya memimpin operasi kemanusiaan yang harus siap kapan saja. Baginya, operasi pencarian korban pesawat Air Asia QZ 8501 yang kini sedang dipimpinnya, adalah karya “seni”. Mulai dari seni kerjasama dengan berbagai negara yang membantu evakuasi, berhadapan dengan media, hingga mengolah banyaknya informasi yang datang.
Saat ditawari ikut Presiden Joko Widodo memantau proses evakuasi di Pangkalan Bun, Bambang lebih memilih memimpin proses evakuasi dari kantornya. “Di ruang Command Centre, setiap hari saya mendapat laporan kondisi lapangan, cuaca, dan berbagai hal. Laporan itu kita jadikan dasar komando. Tidak efektif jika harus ke Pangkalan Bun. Di sana saya hanya bisa melihat laut saja. Padahal, waktu itu yang dibutuhkan adalah koordinasi untuk para petugas dari berbagai lapisan, baik dari dalam maupun luar negeri, agar cepat menemukan korban,” tutur pria yang mengepalai sekitar 3.200 anggota Basarnas.
Hingga kini, operasi pencarian jenazah korban belum ditutup. Masih ada tiga hal yang harus diurus Bambang yakni pengendalian arus informasi yang masuk dan keluar lewat media, mengurus jalannya operasi, dan membantu keluarga korban.
Gereja Tanggap Bencana
Terkait, aktivitas komunitas tanggap bencana yang dibentuk oleh Gereja pasca bencana, Bambang memberikan apresiasi. Kepedulian kelompok masyarakat termasuk orang Katolik atau Gereja, saat membantu korban pasca-bencana sungguh bermanfaat. Hanya saja, catatan Bambang, ke depan perlu ditata soal cara dan proses membantu korban.
Antara pihak Gereja dan tim SAR setempat dapat berbagi tugas. Misalnya, pengelolaan relawan dan evakuasi korban adalah tugas tim SAR, karena mereka memang memiliki dan terlatih dalam melakukan evakuasi korban bencana. Sedangkan pengumpulan bantuan seperti makanan dan pakaian menjadi tugas Gereja. “Semangat membantu itu penting, tapi perlu diingat bahwa anggota tim SAR memiliki keahlian khusus yang selalu dilatih. Tidak sembarang orang bisa ikut begitu saja menjadi anggota SAR. Jangan sampai yang menolong malah jadi korban,” kata Bambang.
Sebaiknya, Paroki setempat yang terkena bencana dapat menghimpun data bantuan, baik makanan, pakaian, alat mandi, obat-obatan yang datang dari paroki sendiri maupun dari luar dan membantu menyalurkan bantuan tersebut kepada para korban. “Ini jauh lebih efektif. Di paroki, misal ada umat yang menjadi dokter bisa diberdayakan. Jadi semua menjalankan fungsinya masing-masing. Tapi jika ada Tim SAR dari Paroki, mereka sebaiknya dibekali pelatihan agar dapat menolong sesuai dengan standar keselamatan,” kata perwira tinggi yang hobi bermain golf ini.
Aprianita Ganadi