HIDUPKATOLIK.com – Program APP dikembangkan sejak tahun 1950- an. APP menjadi kekhasan Gereja di Indonesia.
Sekitar tahun 1969, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang (Vikjen KAS), Romo C. Carri SJ menggulirkan gagasan Aksi Puasa di KAS. Gagasan ini sebenarnya juga sudah diusulkan oleh Kardinal Justinus Darmojuwono (1914-1994), yang kala itu menjabat sebagai Uskup Agung Semarang sekaligus Ketua PWI Sosial Majelis Waligereja Indonesia (MAWI). PWI Sosial MAWI tersebut ki ni bernama Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi PSE KWI).
Gayung pun bersambut. Tahun 1970, gagasan yang telah dilemparkan oleh Romo Carri ditangkap oleh Romo Gregorius Utomo Pr selaku Delegatus Sosial (Delsos) KAS kala itu. Hal tersebut menjadi konsen para pelayan pastoral bidang sosial ekonomi, yang pada saat itu sedang hangat membicarakan tentang Ensiklik Populorum Progressio (PP). Maklumlah, ensiklik itu merupakan salah satu warisan Ajaran Sosial Gereja dari Bapa Suci Paulus VI (1963-1978) yang diterbitkan dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 26 Maret 1967. Ensiklik itu mengatakan, “Na ma baru bagi perdamaian adalah pembangunan”.
Proyek Percontohan APP
Sebenarnya, gagasan Aksi Puasa sudah sempat muncul dua dekake sebelumnya, sekitar tahun 1950. Pada waktu itu, Sekretaris PWI Sosial MAWI, Romo Johanes Baptista Dijkstra SJ (1911-2003) telah menanggapi ASG dalam karya ke rasulannya. Dijkstra dengan pelbagai upaya telah berusaha memberi warna tersendiri terhadap gerakan pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia. Misionaris Jesuit kelahiran Amsterdam, Belanda, 26 Oktober 1911 ini telah berkiprah dengan ikut membidani lahirnya kelompok Pilot Project Aksi Puasa Pembangunan (APP). Aksi kelompok umat Katolik ini sangat sederhana. Mereka dengan sukarela menyisihkan sebagian uangnya untuk solidaritas bagi sesama yang membutuhkan pada Masa Prapaskah.
Tahun 1954, seusai Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) dengan bantuan teman-temannya –salah satunya adalah Romo Josephus Gerardus Beek SJ (1917-1983)– Romo Dijkstra membentuk gerakan yang tidak beraviliasi pada Gereja Katolik, tetapi bersifat umum yang dinamakan Gerakan Pancasila. Gerakan Pancasila inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Ikatan Buruh Pancasila (IBP), Ikatan Petani Pancasila (IPP), Ikatan Para Medis Pancasila (IPMPS), dan Ikatan Usahawan Pancasila (IUI). Namun, Pilot Project APP ternyata masih bergaung dan dikontekstualisasikan secara kreatif oleh Romo Carri bersama Romo Utomo. Menurut pemikiran Romo Carri, umat Katolik perlu menjalankan Aksi Puasa untuk menjembatani jurang antara kaya dan miskin dengan berpedoman pada Ensiklik Populorum Progressio dari Paus Paulus VI.
Kontekstualisasi kegiatan Masa Prapaskah tersebut akhirnya menelorkan Aksi Puasa, yang dimulai pertama kali pada Masa Prapaskah tahun 1970. Aksi Puasa ini ditetap menjadi kegiatan selama Masa Prapaskah dalam Sidang Pleno PWI Sosial MAWI di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1970. Dalam Sidang Pleno tersebut, para peserta juga menyusun suatu Pedoman Aksi Puasa, yang kemudian disahkan oleh para Uskup dalam Sidang Tahunan MAWI pada November 1970.
Seiring waktu bergulir, dalam Sidang Pleno PWI Sosial MAWI di Pacet, Jawa Timur pada September 1972, istilah “Aksi Puasa” dibakukan menjadi “Aksi Puasa Pembangunan” (APP), seperti yang kita kenal sekarang.
Visi Keberpihakan
Sejak digulirkan oleh Romo Carri, geliat APP ini kemudian berusaha di kembangkan di KAS. Dari sekitar 50 paroki di KAS pada saat itu, hanya enam paroki yang membuka diri dan menanggapi undangan aksi Masa Prapaskah ini. Banyak pastor menunjukkan sikap menentang dan menganggapnya sebagai gerakan yang berbau Marxis.
Meski mendapat umpan balik yang tidak mengenakkan, upaya sosialisasi APP di KAS terus digalakkan. Akhirnya sejak 1973, ketika Romo Utomo mengampu Sekretaris PWI Sosial MAWI, gerakan APP mulai dilancarkan keseluruh keuskupan di Indonesia. Gerakan Gereja Katolik secara nasional ini pun mendapat respon positif dari waktu ke waktu. Selain didukung oleh para Uskup, gencarnya sosialisasi yang di lakukan di kalangan para pastor memainkan peranan besar dalam keberhasilan gerakan APP ini. Usaha ini terus berlanjut tiap tahun dengan tema yang berbeda, dan kini seolah telah mentradisi dalam kehidupan menggereja di Indonesia.
APP menjadi suatu wujud keberpihakan Gereja yang berupa kegiatan amal bersama bagi sesama yang berkekurangan. Sebenarnya, kegiatan amal seperti ini tidak diwajibkan oleh Gereja Katolik Universal, tetapi menjadi sikap khas Gereja Katolik di Indonesia. Boleh jadi, kegiatan amal bersama ini tidak dilakukan oleh Gereja Katolik di negara lain selama Masa Prapaskah. Oleh karena itu, APP merupakan inisiatif khas Gereja setempat.
Dalam ajaran Gereja Katolik Universal, tradisi Masa Prapaskah diisi dengan praktik-praktik ungkapan rasa tobat secara pribadi, yakni dengan doa, puasa, pantang, matiraga, dan amal. Semangat pertobatan dihidupi secara personal dan menjadi ungkapan pembaruan diri setiap anggota Gereja selama Masa Pra paskah. Jika Gereja Indonesia mengisi Masa Prapaskah dengan APP, inilah visi keberpihakan Gereja lokal yang ditradisikan untuk menjawab kebutuhan umat yang dilayani.
Ungkapan visi keberpihakan ini disadari sebagai bentuk konkret pewartaan Injil yang tidak akan pernah utuh tanpa usaha menegakkan keadilan dan mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Beriman kepada Yesus tetapi meng abaikan perjuangan keadilan dan pembebasan bagi kaum tersingkir merupakan pengakuan bahwa mencintai Allah, tetapi melupakan cinta pada sesama. Dalam hal ini, Gereja Indonesia konsisten untuk memprioritaskan pelayanan pada kaum miskin, preferential option for (and with) the poor and oppressed. Pelayanan dan keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas ini sudah semestinya disertai dengan usaha memperjuangkan perdamaian dan keutuhan ciptaan. Inilah inti pewartaan Kerajaan Allah di dunia, yakni mewartakan kebenaran, perdamaian, dan sukacita. Tiga hal itulah yang tidak hanya dihidupi dalam hidup rohani, tetapi harus dibumikan melalui karya nyata dalam kehidupan sehari-hari. Maka apapun tema APP yang di canangkan oleh setiap keuskupan, semangat dasar yang merujuk pada visi keberpihakan ini janganlah dilupakan!
Semangat Pertobatan
Visi keberpihakan pada yang miskin dan tertindas dalam APP tersebut dilandasi oleh semangat pertobatan pada Masa Prapaskah. Menegakkan keadilan berarti membangun kembali relasi dengan Tuhan dan sesama. Tujuan pembangunan relasi itu adalah perdamaian antara Tuhan dan sesama, yakni suatu realitas keadilan dalam masyarakat sehingga tercapailah keutuhan ciptaan dalam ketentraman dan kesejahteraan yang merata.
Dasar APP adalah pertobatan, yaitu pengarahan diri kepada Allah dan ikut serta membangun Kerajaan-Nya. Wujud sikap tobat itu bermacam-macam dan semestinya terkait dengan keadilan dan perdamaian. Sikap tersebut hendaknya mengarahkan manusia untuk “…membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yes 58: 6-7). Itulah puasa yang dikehendaki Allah, yang telah diimplementasikan oleh Gereja Katolik Indonesia menjadi APP.
APP terarah pada kesejateraan dan kedamaian manusia, terutama bagi mereka yang kehilangan harapan, tersingkir, dan tertindas. Dengan demikian, APP menjadi persembahan kepada Tuhan untuk keselamatan manusia. Inilah amanat perutusan para pengikut Kristus yang menghayati semangat pertobatan, yaitu senantiasa pengarahan diri kepada Allah dan ikut serta membangun Kerajaan-Nya sebagai hakekat dan perutusan Gereja Umat Allah (bdk. Lumen Gentium art.1).
R.B.E. Agung Nugroho/Yustinus H. Wuarmanuk