HIDUPKATOLIK.com – Tuhan merencanakan panggilan khusus dalam hidupnya untuk menjadi biarawati. Tetapi panggilan itu dimulai dalam hidup perkawinan.
Pernikahan Elisabetta Sanna dan Antonio Porcu terbilang bahagia. Meski Antonio jauh lebih tua lima tahun dari Sanna, namun pasangan suami istri ini tak pernah terlibat pertengkaran. Semua ini berkat ketabahan hati Sanna. Selain dewasa, Sanna adalah seorang perempuan penyabar. Bagi Antonio, Sanna adalah ibu dari tujuh anaknya, sekaligus sahabat yang baik. Ia selalu ada saat suami dan anak-anak membutuhkan dukungan. Hal itu membuat anak-anaknya tak pernah kekurangan kasih sayang.
Salah satu keutamaan Sanna adalah kesalehan hidup. Sebagai ibu, Sanna selalu menanamkan disiplin hidup rohani kepada anak-anaknya. Saban hari, dirinya tak pernah melewatkan doa Rosario. Salah satu intensi wajibnya adalah semoga kelak salah satu anggota keluarga bisa menjadi biarawan atau biarawati. Dalam buku biografi yang ditulis seorang anak mereka dikatakan, Sanna suatu hari pernah berdoa, “Tuhan, sungguh betapa bahagia hatiku bila kelak menyaksikan seorang buah hati mengenakan jubah kebesaran-Mu.”
Harapan Sanna terkabul. Dua anaknya menjadi biarawati Ordo Fransiskan Sekuler dan seorang putranya menjadi imam. Lebih istimewa lagi, ketika sang suami meninggal dunia, Sanna juga memutuskan menjadi biarawati Ordo Fransiscanus Soecularis (OFS). Ia menjadi biarawati yang saleh. Kesetiaannya melayani anak-anak membuat ia dikenang sebagai pelindung para single mother.
Gadis Penyakitan
Sanna lahir dari keluarga miskin. Orangtuanya petani yang dikenal sebagai pekerja keras. Sejak kanak-kanak, bungsu dari lima bersaudara ini sudah terbiasa hidup susah. Karena kemiskinan, Sanna dan saudara-saudarinya kerap hanya makan sekali sehari. Asupan gizi yang kurang membuat perkembangan fisiknya terganggu. Pada usia tiga bulan, ia menderita penyakit cacar yang mengakibatkan kedua tangannya tak bisa digerakkan.
Melihat perkembangan si buah hati, orangtua Sanna hanya bisa pasrah. Mereka pun berharap dalam doa, agar ada donatur yang mau membantu meringankan beban mereka.
Dalam masa penantian itu, Tuhan menggerakkan hati seorang suster biarawati Ordo Fransiskan Sekuler. Sr Lucia Pinna menawarkan bantuan untuk merawat Sanna di biara. Tawaran ini langsung diiyakan oleh orangtua Sanna. Sejak itu, Sanna muda hidup dalam asuhan para suster.
Menyaksikan kehidupan doa dan pelayanan para suster, membentuk karakter lain dalam hidup Sanna. Ia tumbuh menjadi gadis yang sehat dan saleh. Ia menjadi remaja yang penyabar dan bertanggung jawab. Sr Pinna kerap memperkenalkan doa Rosario dan Adorasi Ekaristi kepada Sanna. Semenjak itu, kehidupan rohani gadis kelahiran Sassari, Sardinia, Italia, 23 April 1788 ini berkembang pesat. Memasuki usia 17 tahun, Sanna diperbolehkan mengikuti pelajaran katekismus yang diberikan Pater Luigi Sanna yang tak lain adalah pamannya sendiri.
Pater Luigi pada kemudian hari bersaksi bahwa pada suatu hari, ketika Sanna berdoa di kapel biara OFS, sebuah suara berkata kepada Sanna. “Ambilah keberanian dan cintailah Aku.” Menurut Sanna, suara itu terdengar sangat merdu dan penuh keyakinan. Sanna yakin, Tuhan telah merencanakan sesuatu dalam hidupnya.
Ketika yakin atas panggilan Tuhan itu, pada 27 April 1794, Sanna menerima Komuni Pertama dari Uskup Agung Sassari Mgr Giacinto della Torre OSA († 1790). Ia mengungkapkan kegembiraan menyambut Tubuh Kristus dengan tekad ingin menjadi biarawati. “Saya ingin menjadi biarawati, tetapi belum mengetahui kapan Tuhan memilih saya,” ungkap Sanna dalam sepucuk surat kepada keluarganya.
Meski ada niat, tetapi rupanya Tuhan belum merestui panggilan Sanna. Memasuki usia 19 tahun, ia menjalin hubungan dengan Antonio Porcu. Mereka lalu menikah pada 13 September 1807. Keduanya dikarunia tujuh orang anak, tetapi dua orang meninggal sejak dilahirkan. Sebagai perempuan saleh, Sanna tak lelah mengajarkan iman kepada anak-anaknya. Keluarga ini hidup dalam keharmonisan. Mereka saling mencintai hingga maut memisahkan.
Pada 25 Januari 1825, sebuah tragedi dialami keluarga ini. Entah kenapa Antonio tiba-tiba meninggal dunia. Tampaknya, Antonio terkena serangan jantung saat sedang bekerja. Kematian sang suami menambah beban bagi Sanna. Ia harus mengambil peran ganda: menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Kekuatan Sanna adalah doa. Ketika dirinya merasa tak berdaya, doa menjadi sarana berkeluh kesah kepada Tuhan.
Panggilan Lain
Dalam perjuangan menjadi single mother, Sanna tak pernah mengabaikan tanggung jawab sebagai orangtua. Ia berusaha tampil sebagai sahabat sekaligus ibu yang mau berbagi dengan anak-anaknya.
Pada 1829, Sanna bertemu Pater Guiseppe Valle. Dalam pertemuan tak sengaja itu, Sanna banyak bercerita tentang beban keluarganya dan meminta petunjuk Pater Valle. Sang imam lalu mengajak Sanna berziarah ke Tanah Suci.
Mereka pun berangkat ke Porto Torres, Genoa tahun 1830, lalu berniat ke Siprus. Tapi niat ke Siprus dibatalkan karena Pater Valle tidak memiliki visa untuk tinggal di Siprus. Akhirnya, Pater Valle dan Sanna memutuskan ke Roma dan tiba di sana pada 23 Juli 1830. Ketika mengunjungi Basilika St Petrus, Sanna bertemu Pater Camillo Loria dan meminta menerima Sakramen Tobat. Dalam pertemuan itu, Pater Loria meminta mereka segera kembali ke Sassari agar bisa bertemu anak-anaknya. Namun, ketika tiba waktu keberangkatan, Sanna mendadak sakit keras. Ia tak bisa menggerakkan kaki dan tangannya.
Pada waktu yang sama, Pater Valle kembali ke Sassari. Sanna pun menghubungi seorang kenalannya, Pater Vincenzo Palloti. Dengan penuh cinta, Sanna dirawat secara intesif oleh Pater Palloti. Dalam penderitaan karena terpisah dari anak-anaknya, Sanna tidak berkecil hati. Sebagai ganti, Pater Palloti mempercayakannya untuk membantu pelayanan para suster OFS. Ia menerima tugas ini dengan senang hati. Kerapkali, ia terlihat mengunjungi orang sakit dan membawa penghiburan kepada orang-orang miskin di Roma.
Berkat dukungan Pater Palloti, Sanna akhirnya memutuskan menjadi biarawati OFS Provinsi Codrongianos, Roma. Ia terus melayani masyarakat kecil dengan tulus. Tempat tinggalnya menjadi tempat bagi setiap anak yang tidak mendapat kasih sayang. Semangat pelayanannya terus menggebu meski tanpa Pater Palloti yang meninggal dunia pada 1850.
Sr Sanna adalah ibu yang tulus hati. Ia memberi dari segala kekurangan. Cinta dan kehadirannya memberi nyawa baru bagi setiap anak yang membutuhkan. Ia menjadi suster yang kerapkali keluar masuk tempat-tempat kumuh untuk memberi cinta kepada anak-anak. Dalam perjuangan itu, banyak anak meninggal dalam dekapan kasihnya.
Sayang, karya pelayanan ini berhenti ketika penyakit cacar mendera raganya. Ia meninggal di tengah kolega dan anak-anak yang ia layani pada 17 Februari 1857. Jasadnya dimakamkan di Gereja San Salvator Onda, Roma. Tujuh anaknya juga turut hadir dalam pemakaman itu.
Proses beatifikasinya dibuka oleh Keuskupan Agung Sassari pada 15 Juni 1857. Pada 22 April 1880, Paus Leo XIII menggelarinya Hamba Allah. Pater Jan Korycki, postulatornya menyerahkan berkas penyelidikan beatifikasi Sr Sanna pada 1997 kepada Kongregasi Penggelaran Kudus. Paus Fransiskus mengenang Sr Sanna sebagai seorang yang penuh kebajikan. Sanna lalu digelari Venerabilis pada 27 Januari 2014.
Paus yang sama kemudian mengangkatnya sebagai beata. Misa beatifikasi digelar 17 September 2016. Beatifikasi ini sehubungan dengan mukjizat yang dialami seorang gadis asal Brasil yang sembuh dari tumor lengan pada 2008. Beata Sanna dikenang sebagai pelindung para single mother yang berjuang untuk kebahagiaan anak-anak. Ia dikenang tiap 17 Februari.
Yusti H. Wuarmanuk