HIDUPKATOLIK.com – Bunga tidur seolah memberi pertanda setiap kehamilannya. Arti mimpi itu baru ia pahami kala buah hatinya lahir dan beranjak dewasa.
Maria Tukinah tak pernah menyangka jika mimpi-mimpinya pada masa lalu menjadi kenyataan ketika anak-anaknya dewasa. Tapi, Tukinah bukanlah peramal atau cenayang. Bunga tidur saat mengandung keenam buah hatinya seolah memberi petunjuk langkah kehidupan anak-anaknya kelak.
Seperti Bunda Maria, Tukinah menyimpan segala mimpi-mimpi itu dalam hati. Ia baru menguak satu persatu mimpinya kala sang buah hati dewasa. Selama rentang waktu yang membentang panjang, Tukinah tak pernah alpa mendoakan anak-anaknya. Bukan kesuksesan yang ia mohon. Ia hanya berharap, putra-putrinya menjadi pribadi yang layak di mata Tuhan dan sesama.
Mimpi Burung
Saat mengandung anak pertama, Tukinah bermimpi. Dalam mimpinya, ia mendapat seekor burung. Tubuh unggas itu berbintik. Gerakannya begitu tangkas. Seumur-umur, Tukinah belum pernah melihat jenis burung seperti itu. Namun pada suatu hari, Tukinah terbelalak. Ia melihat burung seperti dalam mimpinya.
Unggas itu berada dalam sangkar nan luas sehingga dapat terbang ke sana ke mari. Selang beberapa waktu, Tukinah melahirkan putra pertama, Laurentius Sutadi. Sejak kecil Sutadi gemar bermain di gereja. Apalagi rumah mereka tak jauh dari tempat itu. Satu kali, kenang istri Ignatius Sumedi Sutodiwiryo, Sutadi kedinginan di dalam gereja.
Tanpa disadari, pastor paroki di sana masuk ke dalam gereja dan melihat Sutadi menggigil. Pastor asal Belanda itu segera membungkus tubuh Sutadi dengan jubah imam agar hangat. Pengalaman itu, tebak Tukinah, rupanya menjadi awal panggilan sang putra menjadi imam. “Ternyata begitu menjadi romo, (dia) tugasnya di hutan, di Ketapang, Kalimantan Barat,” ujar perempuan kelahiran Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta.
Romo Sutadi saat ini bertugas sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Ketapang. Pengalaman hampir serupa terjadi ketika Tukinah hamil anak kedua, Adrianus Sunarko. Tukinah kembali bermimpi tentang burung. Seiring waktu putra keduanya itu mengikuti jejak sang kakak, menjadi imam Ordo Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM).
Ketika Sunarko berusia dua tahun, Tukinah terpaksa hijrah dari Papua ke tanah kelahirannya. Sementara Sumedi bertahan di sana, dan mengajar di Seminari Menengah Pastor Bonus Keuskupan Agung Merauke. Tukinah terpaksa pulang kampung karena pada saat itu, ada desas-desus bakal terjadi kekacauan di Papua.
Tukinah tak sendirian. Ada banyak kaumnya yang juga eksodus dari Bumi Cenderawasih. “Pada 1969 ada Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Dikira akan ada kekacauan,” kenang mantan guru sekolah dasar ini.
Tiga tahun Tukinah membesarkan, merawat, dan mendidik dua buah hatinya tanpa kehadiran sang suami di sisinya. Semua ia jalani dengan lapang dada. Situasilah yang memaksa mereka berpisah sementara. Satu-satunya sarana yang mempertemukan suami-istri itu adalah doa. Dalam setiap doa, Tukinah meminta kepada Tuhan rahmat kesehatan dan keselamatan untuk pasangan hidupnya.
Mempersiapkan Kehilangan
Ketika Papua telah kondusif, Sumedi menjemput istri dan anaknya kembali ke “Pulau Surga”. Beberapa waktu kemudian, Tukinah hamil lagi. Saat mengandung anak ketiga, Yohanes Maria Vianey Rudito, lagi-lagi ia bermimpi burung. Kali ini jenis unggas dalam mimpinya adalah perkutut.
Dito, beber Tukinah, sempat mengikuti jejak kedua kakaknya. Ia pernah masuk seminari. Namun, langkahnya terhenti di postulat. “Burung perkutut di kurung di rumah (orang) menginginkan suaranya,” terang Tukinah menjelaskan arti mimpi itu. “Pantas, Dito (berada) di rumah. Ia seorang musikus. Selain memberi les (musik) di rumah, ia aktif mengiringi (musik) di gereja dan lingkungan-lingkungan,” lanjutnya.
Selubung duka sempat membungkus Tukinah-Sumedi. Saat mengandung anak keenam, Tukinah mengalami miskram saat rahimnya berusia tiga bulan. Sebelum kejadian itu, ia sudah menamai calon bayinya, Mikael Sutomo.
Anak-anak sempat bertanya kepada dirinya, mengapa sang ibu begitu yakin jenis kelamin anak dalam kandungan laki-laki, padahal belum terindentifikasi. Ia menjawab dengan yakin, bayi itu laki-laki. Tanpa anak-anaknya tahu, saat itu ia juga bermimpi tentang burung. Tukinah yakin, dari tiga mimpi terdahulu soal burung, dan anak-anak yang keluar dari rahimnya adalah laki-laki, maka ia menyimpulkan, anaknya yang berada dalam kandungan kemudian itu juga laki-laki. “(Bedanya) kalau yang lain burung di dalam sangkar, kalau yang ini (burung ada) di dalam tanah, sayapnya tak berdaya.”
Maria rupanya tahu bahwa usia anak dalam rahimnya itu tak berumur panjang. Dari mimpi itu, Tukinah seakan telah mempersiapkan kehilangan yang bakal ia dan suami tanggung.
Akhir 1979, Tukinah- Sumedi bersama seluruh anak mereka ke Sedayu. Suami istri ini memutuskan balik ke kampung halaman demi mendapat pendidikan terbaik bagi buah hati mereka. Pada masa itu, menurut Tukinah, di Merauke belum ada universitas. Di tanah Jawa, Tukinah mendapat anugerah dua putri. Dua putrinya menjadi dokter, dan seorang bekerja di UNICEF.
Tukinah mengakui, sejak putra sulungnya masuk seminari, ia dan sang suami rajin berdoa dan berpuasa. Mereka menuruti dan mendukung panggilan putranya. “Kami doa malam, Rosario, dan Misa. Saya juga puasa, mengurangi garam setiap Senin dan Kamis,” ungkapnya.
Diberitahu Tetangga
Setelah sekian tahun bersama, Tukinah kembali berpisah dengan suami. Kali ini untuk selamanya. Hatinya sedih. Namun, siapa yang bisa berpaling dari kehendak Yang Kuasa? Bertepatan dengan peringatan 40 hari kepergian sang suami, Romo Sunarko mendapat pesan singkat dari Nunsius Apostolik Vatikan untuk Indonesia pada waktu itu, Mgr Antonio Guido Filipazzi. Romo Sunarko ditunjuk Paus sebagai Uskup Pangkalpinang.
Tukinah tak mengetahui hal itu. Ia baru mendapat informasi tersebut setelah diberitahu tetangga. Tukinah tak langsung mengamini berita itu. Ia menelpon putranya demi memastikan kabar yang diterima. Romo Sunarko membenarkan berita yang diterima sang ibu. “Sedih, terharu, sekaligus bahagia. (Saya) bangga dan selalu mendoakannya supaya tetap kuat dalam panggilan,” ungkap Tukinah. “Bila Bapak masih ada pasti bahagia sekali.”
Marchella A. Vieba