HIDUPKATOLIK.com – Benih misi yang diawali enam misionaris Fransiskan Belanda kini sudah berkembang subur. Sebagai provinsi baru, para Fransiskan di Papua akan tetap bersama umat.
Musim dingin masih berada di puncaknya, menyelimuti dataran Eropa, ketika pada 29 Desember 1936 kapal Jan Pieterszoon Coen berlayar dari Pelabuhan Rotterdam, Belanda. Lima imam dan satu bruder Ordo Fratrum Minorum (OFM) menjadi bagian dari penumpang kapal itu. Pelan namun pasti, kapal itu melaju ke samudera luas. Ganasnya ombak Laut Mediterania seperti tak menjadi penghalang bagi Pater Zeno Moors OFM, Pater Fulco Vugts OFM, Pater Philipus Tetteroo OFM, Pater Nerius Louter OFM, Pater Saturninus Van Egmond OFM, dan Bruder Sebastian Vendrig OFM.
Berbekal pesan Injil “pergi dan jadikanlah mereka murid-Ku” keenam misionaris itu berlayar ke suatu daerah kepulauan nan jauh di sana, di Ternate, Bacan, Tidore, Halmahera, Papua bagian utara, Kepala Burung, Babo, Kokas, Fakfak, dan Mimika. Sekitar sebulan melawan ombak di Samudera Hindia, keenam misionaris itu tiba di Jawa pada 29 Januari 1937.
Tak berselang lama, keenam misionaris itu berlayar ke Tual melalui Makassar. Namun, bukan Tual yang menjadi “Tanah Terjanji” bagi mereka. Sebagian dari mereka melanjutkan ke Tidore. Sedangkan empat orang dari antara mereka menuju lebih jauh di ujung timur Nusantara, yaitu Papua.
Empat orang berlayar menuju ke daerah Kepala Burung, Papua. Pater Loueter dan Pater Tetteroo mendarat di Kaimana, pada 18 Maret 1937 sebelum ke Fakfak dan Babo. Keduanya melanjutkan lagi berlayar dan mendarat di Babo-Fakfak-Kaimana, pada 18 Maret 1937.
Dua saudara yang lain, Pater Van Egmond dan Pater Vugts tiba di Manokwari pada 20 Maret 1937. Di sinilah awal karya OFM di tanah Papua. Tanah yang kaya mineral ini pun sejak saat itu mendapatkan sentuhan kasih dari para Saudara Dina Fransiskan. Pada 14 September 2017 yang lalu, para saudara dina yang berkarya di wilayah Papua diresmikan menjadi satu Provinsi baru dengan nama Provinsi St Fransiskus Duta Damai Papua.
Awal Misi
Perubahan status ini berlaku sejak Pater Piet Bots OFM membacakan dekrit peresmian Provinsi baru OFM di Papua. Delegatus Jenderal OFM ini membacakan surat keputusan yang dibuat Minister Jenderal OFM, Pater Michael Pery OFM. Sejak peristiwa di Rumah Retret Santa Klara Sentani, Papua, Kamis, 14/9 itu, OFM di Papua “naik kelas” dari sebelumnya kustodi menjadi sebuah provinsi.
Pembentukan Provinsi baru ini terlaksana setelah kurang lebih 80 tahun para Saudara Dina berkarya di tanah Papua. Peresmian ini ditandai dengan perayaan Ekaristi yang dipimpin Mgr Leo Laba Ladjar OFM, Uskup Jayapura, di auditorium Fransiskan Sentani, Jayapura. Mgr Leo didampingi Pater Gabriel Ngga OFM, Provinsial terpilih untuk provinsi baru ini.
Para Misionaris Hati Kudus Yesus (Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu/MSC) menyerahkan ladang pelayanan di wilayah Kepala Burung kepada para biarawan Fransiskan sejak 1 April 1937. Titik ini ditandai dengan penandatanganan surat peralihan antara kedua kongregasi ini. Kemudian pada 24 Februari 1969, muncul Instruksi dari Roma yang mengakhiri ius commisionis pelaksanaan karya misi, sehingga wilayah misi diserahkan oleh ordo kepada Keuskupan. Ordo lalu mendapat mandat dari keuskupan untuk bekerja di wilayah tertentu dengan suatu kontrak.
Kehadiran para Saudara Dina di Papua, tidak terlepas dari kebutuhan Gereja Indonesia saat itu. Papua menjadi satu daerah yang juga memerlukan kehadiran para pelayan pastoral. Kebutuhan ini lalu ditawarkan kepada para Fransiskan di Belanda oleh Provinsial Missionaris Hati Kudus P. Nico Verchoeven MSC kepada Pater Paulus Stein OFM yang saat itu menjabat sebagai kustos OFM di Belanda pada 23 November 1935.
Meskipun ada berbagai kesulitan, tetapi tawaran ini akhirnya ditanggapi dengan sangat baik oleh Fransiskan Belanda. Mereka kemudian mengirim enam misionaris perdana untuk memulai misi dan menjawab kebutuhan umat di wilayah ini. Misi kemudian berkembang perlahan tapi pasti. Para Fransiskan mulai membantu umat di Papua selain di Paroki dalam pengembangan iman umat. Mereka juga membantu dalam berbagai bidang, misalnya bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial masyarakat.
Karya yang berawal di Kepala Burung ini, terus berkembang seiring dengan situasi politik Indonesia, dan Gereja universal. Dengan menghadapi situasi nyata dan segala tantangan, akhirnya para Fransiskan harus menemukan strategi yang tepat untuk tetap bermisi di tanah Papua. Mereka mencoba untuk merubah gaya misi para Fransiskan awal yang lebih menekankan pewartaan untuk membaptis orang menjadi Katolik, ke model misi yang bercorak Papua-Indonesia. Mereka menerapkan gaya “Saudara Dina di tengah-tengah persaudaraan Indonesia”.
Setelah kurang lebih 25 tahun memulai karya di Fakfak-Papua, para Fransiskan mulai membuka misi baru di beberapa wilayah Papua lain, seperti di Sentani dan Mimika pada tahun 1950-an. Pada 1 Oktober 1973, pimpinan Fransiskan Papua saat itu, menandatangani mandat dari Keuskupan Jayapura.
Sejarah baru muncul pada 29 November 1987, saat Fransiskan di Papua menjadi kustodi dependen dari Provinsi St Mikael Malaekat Agung Indonesia pada 18 Maret 1987. Perkembangan misi Fransiskan terus berlanjut sampai dengan 21 September 2008 dengan menjadi kustodi independen.
Sesama, Semesta
Para Fransiskan di Papua tak melulu melayani dalam bidang pastoral saja. Gereja juga mesti hadir dalam setiap gerak dinamika masyarakat. Maka, pada 1 Juli 1998, didirikan Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura. Sekitar sepuluh tahun berselang, pada 7 Desember 2008, Badan Pendiri SKP Jayapura memutuskan untuk memisahkan unit ini dari hubungan langsung dengan Keuskupan Jayapura. Pelayanan unit sosial pastoral ini selanjutnya di bawah naungan OFM di Papua. Dua tahun kemudian, 1 Januari 2010, SKP Jayapura berubah status dengan nama Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP) dan dikelola Persaudaraan OFM Papua. Dan pada 1 Mei 2010, SKPKC FP mulai berkantor di kompleks Misi Katolik, Biara St. Antonius Padua Sentani, Kabupaten Jayapura.
SKPKC FP ini merupakan unit karya pastoral Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua. Unit ini menyelenggarakan pelayanan sosial pastoral kepada masyarakat Papua pada umumnya dan umat Katolik pada khususnya di seluruh wilayah pelayanan Persaudaraan Fransiskan Papua. Lembaga ini mengembang misi “Menyebarluaskan nilai-nilai Injili menurut spiritualitas St Fransiskus Assisi dalam konteks Papua melalui pelayanan sosial pastoral kepada masyarakat Papua dan khususnya umat katolik di wilayah pelayanan Persaudaraan OFM Papua”.
Melalui lembaga para Saudara Dina di tanah Papua ikut serta dalam memperjuangkan terwujudnya Papua Tanah Damai yang bebas dari segala penindasan, menolak segala bentuk perjuangan yang mengandalkan kekerasan dan intimidasi, memihak kepada korban penindasan dan masyarakat yang dimarginalkan termasuk kelompok masyarakat yang terkena HIV/AIDS. Selain itu mereka juga terlibat dalam upaya-upaya memelihara hidup bersama antaretnis dan agama, memperjuangkan penegakan hukum, keadilan antarsesama dan keutuhan ciptaan, mendukung segala bentuk dialog sosial politik yang terbuka dan bermartabat demi terwujudnya demokrasi sejati, membangun kerja sama dengan pribadi atau kelompok yang sevisi, setujuan secara khusus dalam lingkungan Gereja, serta membangun suatu jaringan kerja sama yang struktural dan efektif dengan pribadi maupun instansi di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Provinsi Baru
Dalam status sekarang, Pater Gabriel Ngga OFM sebagai Minister Provinsi dibantu Vikarius Pater Aloysius Rusmadji OFM, Definitor Provinsi Pater Gonsalit Saur OFM, Pater Konstantinus Bahang OFM, Pater Soter Reyaan OFM, dan Bruder Elias Logo OFM. Peralihan menjadi Provinsi ini ditandai dengan Kapitel Provinsi St Fransiskus Duta Damai yang pertama, yang berlangsung 14-21 September 2017 di Rumah Retret Santa Klara Sentani, Papua.
Ketika itu, Pater Piet Bots OFM hadir sebagai Delagatus General. Sedangkan Pater Mateus Batubara OFM menghadiri kapitel ini sebagai wakil dari Provinsi St Mikael Malaekat Agung Indonesia. Tiga puluh empat anggota Fransiskan hadir sebagai peserta sidang itu, mewakili kurang lebih 90 anggota Fransiskan yang tersebar di empat keuskupan di Papua saat ini; Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Jayapura, dan Keuskupan Timika. Di tanah Papua, ada dua uskup yang berasal dari Saudara Dina, yakni Mgr Leo Laba Ladjar OFM dan Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM. Sementara di luar Papua, ada dua keuskupan lain yang juga digembalai seorang Saudara Dina, yakni Keuskupan Pangkalpinang dan Keuskupan Bogor.
Sepanjang satu pekan para Fransiskan berdiskusi dengan tema: “Saudara-Saudara Dina di Zaman Kita: Menjadi Saudara Dina yang Berkarakter, Membangun Persaudaraan yang Tangguh, Berevangelisasi ke Pinggiran”. Tema ini sekaligus menjadi tujuan yang akan dicapai dalam enam tahun ke depan, pada awal perjalanan Provinsi yang baru ini.
Bertolak dari tema yang direfleksikan bersama dalam kapitel pertama provinsi ini, para Fransiskan di Papua saat ini, berusaha untuk tetap bersama dengan umat di Papua. Pater Gabriel mengungkapkan, para Fransiskan akan tetap bersama umat dalam menghadapi situasi Gereja dan politik di tanah Papua. “Keberpihakan kepada masyarakat Papua dan situasi mereka, merupakan wujud nyata evangelisasi ke pinggiran.”
Mewakili para Fransiskan Papua, Pater Gabriel yakin bahwa misi di tanah ini akan tetap berkembang untuk melayani umat di wilayah Papua. Ia juga menyoroti perihal suburnya panggilan untuk menjadi Fransiskan di Papua yang sampai saat ini, masih cukup banyak.
Y. Prayogo
Laporan: Sr Ivonne PRR (Jayapura)