HIDUPKATOLIK.com – Anak-anak ini terpaksa hidup di jalanan. Berawal dari kasih, mereka dikumpulkan di Pasar Horas, Pematangsiantar. Para suster KYM mendampingi mereka optimis menyongsong masa depan.
Ruangan itu terletak di Gedung-2, Lantai 3, Pasar Horas, Pematangsiantar, Sumatra Utara. Ukurannya sekitar 2,5 meter kali 7,5 meter. Di ruangan itu, ada beberapa meja belajar. Di sudut ruangan terdapat lemari berisi buku-buku pelajaran SD sampai SMA. Di tempat ini, sekitar 47 anak jalanan belajar dalam komunitas Sandi Kelana.
Anak jalanan, anak-anak usia SD hingga SMA, ini menggunakan fasilitas itu untuk mengikuti pelajaran tambahan pada hari Rabu, Kamis, Jumat dan Minggu. Usai bimbingan belajar, mereka kembali ke jalanan. Untuk melepas lelah pada malam hari mereka tidur di emperan toko Pasar Horas. Pagi hari, saat toko telah dibuka, mereka juga bersiap-siap untuk pergi ke sekolah masing-masing.
Awal Kepedulian
Pendampingan anak jalanan di Pasar Horas ini dirintis Sr Raynelda Sinaga KYM, berawal dari keprihatinannya melihat aktivitas anak-anak di sekitar tempat itu. Pada Juni 1996, Suster Rayneldo mulai menyapa anak-anak itu. Ia duduk bersama dan mendengarkan cerita mereka. Kehadirannya disambut hangat.
Upaya, Sr Raynelda mendapat dukungan dari Dinas Pasar dan Walikota Pematangsiantar saat itu, Marim Purba. Purba membantu mengadakan ruangan untuk pendampingan. Di ruangan itulah, akhirnya anak-anak bisa belajar sejak 2004.
Dalam praktik pendampingan, Sr Raynelda melibatkan para frater dari beberapa keuskupan yang sedang studi di Seminari Tinggi Santo Petrus Pematangsiantar. Sejumlah aktivis sosial yang peduli pedagang asongan, kaki lima, pengamen dan pemulung, pun mendukung karya pastoral ini.
Sesuai jadwal, pada Rabu dan Kamis pukul 15.00-17.00 WIB, anak-anak dampingan mendapat bimbingan pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Mereka juga diberi pelatihan tentang kebersihan, kerapian dan tatakrama berbicara. Sedangkan pada Jumat pukul 15.30-17.00 WIB mereka mengadakan kegiatan rohani. Dan pada hari Minggunya, pukul 15.00-17.00 WIB mereka membuat kerajinan tangan dari plastik bekas, serta belajar memainkan gitar dan pianika.
Menyapa Orangtua
Perkumpulan anak-anak jalanan ini diberi nama Sandi Kelana. Pemberian nama itu terinspirasi dari nama seorang imam yang sangat peduli kepada anak-anak jalanan, yakni Sandyawan Sumardi. Sedangkan Kelana menggambarkan seorang anak jalanan yang memberi perhatian dan hidupnya bagi teman-teman di jalanan.
Filosofi nama ini juga mengandung arti lain. Sandi dalam bahasa sehari-hari bermakna rahasia, misteri, sebuah kenyataan yang tersembunyi. Sedangkan Kelana berarti kembara atau sebuah perjalanan ziarah. Jadi, Sandi Kelana juga berarti rahasia peziarahan hidup.
Sandi Kelana merupakan karya pelayanan Kongregasi Kasih Yesus dan Maria Bunda Pertolongan Baik (KYM). Perkumpulan ini berada di bawah naungan Yayasan Vita Dulcedo yang didirikan pada 11 Mei 2007. Menurut Koordinator Sandi Kelana Sr Maria Goretti KYM, apabila dilihat dari sisi agama, anak-anak dampingan berasal dari keluarga beragama Katolik, Protestan dan Islam. Mereka menjadi anak jalanan karena berbagai alasan. Kebanyakan lari dari keluarga karena broken home, miskin, atau ada yang orangtuanya tak punya penghasilan.
Bagi anak-anak yang masih memiliki orangtua, mereka kadang menghadapi tuntutan orangtua mereka. Ini dirasakan menghambat pendampingan.
“Kadang ada yang tidak bisa berkumpul pada hari Rabu dan Minggu, karena harus bekerja. Malah pernah ada orangtua yang mengancam anaknya jika tidak memberikan setoran setiap hari,” tutur Sr Raynelda.
Untuk membebaskan anak-anak itu, Sr Raynelda berupaya mencari donatur agar si anak dapat memberi setoran kepada orangtuanya. Sesudah beberapa kali membantu, para suster KYM kemudian melakukan pendekatan dengan berkunjung ke keluarga mereka. Usaha ini mendapat respon positif. Setelah mendengar penjelasan, mereka memperbolehkan anaknya mengikuti pembinaan di Sandi Kelana.
Kehilangan Tempat
Dari pengalaman bersama anak jalanan ini, para pendamping melihat bahwa minat belajar anak-anak jalanan sangat rendah. Mereka kurang tekun dalam membuat keterampilan. Kerajinan tangan yang mereka kerjakan tak pernah rampung. Mereka lebih suka sesuatu yang gampang dan cepat menghasilkan uang, seperti mencuri atau mencopet. Pernah, alat-alat musik milik Sandi Kelana pun mereka jual karena butuh uang.
Sr Goretti pun pernah sampai tujuh kali ikut sidang pengadilan anak dampingannya yang tertangkap mencuri di sebuah toko. “Pak Hakim, apabila mau memberikan hukuman kepada anak ini lebih baik sekarang saja. Saya sudah capai hadir terus di pengadilan ini,” ujarnya kala itu. Ia agak kesal karena pengadilan tidak cepat dalam memutuskan vonis. Anak itu dinyatakan bebas karena tidak masuk kategori subyek hukum karena usianya masih terlalu muda.
Kini, tantangan lain yang tak kalah hebat malah datang dari Pemerintah Kota Pematangsiantar. Mulai 2015, pengelolaan Pasar Horas diserahkan Perusahaan Daerah. Penggunaan ruangan untuk belajar itu tidak lagi gratis. Para Suster harus membayar sewa, retribusi tiap bulan, dan tiap akhir tahun harus memperpanjang Kartu Izin Perusahaan. Sr Raynelda telah melayangkan 17 surat ke badan-badan pemerintahan, termasuk DPRD dan Walikota. Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan.
Meski mengalami kesulitan dan tantangan, Sr Raynelda tetap bersyukur sebab anak-anak jalanan sudah banyak yang berubah hidupnya. Dulu, setiap kali ada kejadian pencopetan, anak-anak jalanan selalu dijadikan kambing hitam.
Sr Raynelda juga bangga, sudah ada anak dampingan Sandi Kelana yang menjadi polisi dan tentara. Ada juga yang membuka usaha bengkel di Jakarta, Semarang dan Pematangsiantar. Rames Marpaung salah satunya. Ia membuka usaha dagang minuman. Sebagai balas kasih, ia kini bahkan menjadi koordinator lapangan Sandi Kelana.
Rames mengungkapkan, “Tugas ini saya terima dengan senang hati, karena saya tak mau anak-anak jalanan menderita begitu lama seperti saya. Mereka harus jadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara.”
Hendra Maringga