HIDUPKATOLIK.com – Dengan niat tulus, mereka mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, mereka tertipu oleh makelar, dan diperdagangkan seperti barang.
Hujan deras membasahi bumi Bekasi, Jawa Barat sore itu. Tak terkecuali di kompleks perumahan di daerah Bekasi Utara. Setelah mengikuti petunjuk satpam perumahan dan melewati beberapa gang, HIDUP akhirnya tiba di rumah pasangan suami istri (Pasutri) Henrikus Riko Surya Setiawan dan Yasinta Ami Karyanti.
Di rumah itu, HIDUP sengaja menemui seorang Ibu yang baru beberapa bulan tinggal di situ. Ia adalah Ester Ene, kelahiran Bealaing, Manggarai Timur, Flores, 19 Agustus 1979. Setelah berbincang-bincang beberapa saat, Ester menceritakan kisahnya sampai bisa ke Jakarta.
Menurut pengakuannya, setelah menikah ia tinggal bersama suaminya di Roho, Cibal, sekitar 20 kilo meter sebelah utara Ruteng, ibukota kabupaten Manggarai. Di tempat itu ia tinggal bersama lima anaknya.
Terpikat Gaji Tinggi
Pada tahun 2011, suaminya merantau ke Kalimantan Timur. Selama dalam perantauan, sang suami pernah mengirim uang dan jika ditotal sebanyak tujuh juta rupiah. Sebagian besar uang itu dipakai untuk membayar utang. Karena suami pergi, Ester pun turun tangan mencangkul ladang untuk ditanami padi dan jagung. Namun usaha itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Di penghujung bulan September 2014, Ester bertemu dengan seorang Romo. Atas bantuan Romo itu, ia mendapat pekerjaan menjadi juru masak di SMP St Klaus Kuwu, Ruteng. Sebelum masuk kerja ia ingin pamit dengan keluarganya di kampung. Di sebuah pangkalan ojek ia bertemu dengan sahabatnya. Mereka berdiskusi seputar pekerjaan. Ternyata salah satu tukang ojek di tempat itu mendengar pembicaraan mereka.
Tak lama berselang Ester menyewa tukang ojek itu untuk mengantar pulang ke kampung. Ester waktu itu tidak tahu, kalau tukang ojek itu adalah calo, penyalur pembantu alias asisten rumah tangga (ART). Di perjalanan, calo itu membujuk Ester untuk menjadi ART di Jakarta dengan gaji dua juta rupiah per bulan. Tergiur dengan gaji itu, Ester mengikuti bujukan sang calo.
Dua hari kemudian, Ester pamit dengan anak dan keluarganya. Ia pamit pergi untuk bekerja menjadi juru masak di SMP St Klaus. “Kalau saya jujur, pasti saya dihalangi,” tandas umat Paroki Kristus Raja Pagal, Keuskupan Ruteng ini saat diwawancara pada Senin, 23/2.
Ditemani calo ia berangkat bersama seorang calon ART lain dari Manggarai Timur menuju Labuan Bajo, Manggarai Barat. Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan kapal feri tujuan Sape, pulau Sumbawa. Dari sana mereka menuju tempat penampungan di Mataram. Di tempat itu Ester melihat ada sekitar 50 orang ART yang sedang ditampung.
Beberapa hari kemudian, Ester bersama tiga temannya diterbangkan ke Jakarta. Setibanya di Bandar Udara Soekarno Hatta mereka dijemput pihak yayasan. Ketika sampai di yayasan handphone (HP) dan KTP mereka langsung dikumpulkan oleh ketua yayasan. Saat itu juga ketua yayasan yang berinisial Y menjelaskan bahwa mereka harus bekerja selama dua tahun tanpa gaji.
Selanjutnya Ester diantar ke sebuah keluarga yang tinggal di apartemen di Jakarta Utara untuk bekerja. Di situ, Ester hanya bertahan tiga hari. Melihat Ester tidak betah, majikannya menelepon yayasan untuk menjemputnya. Pukul tiga pagi Ester dijemput. Setibanya di yayasan, Ester dipukuli dan ditendang oleh Y.
Setelah satu minggu, ia dan kedua temannya diantar lagi untuk bekerja di sebuah keluarga di kawasan Tanah Abang. Di keluarga ini, mereka merawat dua anak majikan yang masih balita. Di samping itu, mereka juga menyapu, mengepel lantai dan mengerjakan seabrek pekerjaan lainnya. Setelah satu bulan, Ester merasa tidak kuat. Ia bersama seorang temannya melarikan diri pada tengah malam. Ia membawa barang-barangnya dengan menggunakan karung karena tasnya disimpan yayasan.
Akhirnya, mereka bertemu seorang pria asal Kupang. Selama dua minggu Ester tinggal di tempat kepona kan pria itu di Bekasi, dan Novem ber 2014 ia diantar ke rumah Pasutri Henrikus Riko Surya Setiawan dan Yasinta Ami Karyanti.
Menurut Riko dan Ami, sebenarnya mereka tidak membutuhkan pembantu. Semua pekerjaan rumah tangga mereka kerjakan bersama dan tidak ada kendala. Anak semata wayang mereka juga sedang menempuh studi di Fakultas Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung. “Kami membantu Ester karena desakan hati yang muncul secara spontan,” ujar Riko.
Di rumah mereka, Ester sudah dianggap sebagai anggota keluarga, bukan sebagai pembantu. Peran pembantu, kata Ami dalam rumah tangga hanya membantu. Menurutnya, aktor utama dalam mengurus rumah adalah pemilik rumah itu sendiri. “Saya mengerjakan sendiri apa yang bisa saya lakukan, Ester hanya membantu,” tandas umat Paroki St Clara Bekasi ini. Beberapa hari setelah Ester tinggal bersama mereka, kebutuhan Ester mereka penuhi. Mereka membelikan HP, baju dan kebutuhan Ester yang lain. Setiap Minggu, mereka bersama-sama ke gereja, ”Saya senang bisa pergi ke gereja naik mobil,” ujar Ester.
Dengan HP barunya, Ester pun bisa lancar menjalin komunikasi dengan keluarga di kampung. Kini, batin Ester terusik mendengar kabar bahwa suaminya sudah pulang kampung. Pasutri Riko dan Ami tak keberatan dan siap membantu jika Ester mau pulang kampung. Sebaliknya, keluarga itu pun dengan senang hati menampungnya apabila Ester mau tetap tinggal di Bekasi.
Sebelum membantu Ester, Pasutri ini juga pernah membantu seorang gadis asal Lampung bernama Wantiah. Ia meninggalkan orangtuanya pada usia 10 tahun. Ia direkrut oleh calo untuk menjadi pembantu di Jakarta. Setelah dipindah-pindah kan oleh yayasan di beberapa tempat, pada 1999 ia ”terdampar” dan ditampung oleh keluarga Ester dan Riko.
Suatu ketika gadis itu ingin bertemu orangtuanya. Riko pun menanyakan alamat kampungnya. Wantiah hanya ingat Pakuan Ratu, Riko dan anaknya lantas melacak peta tempat yang disebut Wantiah. Setelah menemukan peta Pakuan Ratu, Riko bersama keluarga dan seorang anak muda di Lingkungan mengantar Wantiah dengan mobil ke Lampung.
Untuk sampai lokasi, mereka melewati medan yang sangat berat. Akhirnya mereka berhasil mempertemukan Wantiah dengan keluarganya yang telah berpisah 13 tahun. Orangtuanya bahkan sempat menyangka anaknya itu sudah meninggal.
Korban anak manusia yang diperdagangkan oleh sesamanya juga dialami oleh Jublina (bukan nama sebenarnya). Perempuan asal Kapan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) ini dideportasi dari Malaysia April 2011. Ia mengisahkan bahwa PT Mangga Dua, Perumnas Kupang adalah agen yang mengirim Jublina dan beberapa temannya dari Kupang ke Malaysia. Di Jakarta mereka dijemput oleh agen lalu diterbangkan ke Batam. Setibanya di Batam, mereka diterlantarkan oleh agen. Mereka dibantu oleh dua pemuda yang tidak mereka kenal untuk bisa masuk ke Malaysia. Rombongan naik speedboat menuju Malaysia. Speedboat yang mereka tumpangi tidak merapat ke bibir pantai. Mereka disuruh terjun ke laut dan berenang menuju pantai. “Tiba-tiba saya bisa berenang hanya karena takut tenggelam,” ungkap Jublina. Di tepian pantai Johor itu, ada seorang ibu menghampiri mereka. Ibu itu yang membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Sejak saat itu mereka berpisah.
Celtus Jabun