HIDUPKATOLIK.com – Ia rutin melayani kaum terpidana, dan mengajak mereka bertobat. Atas semangat dan dedikasinya, Takhta Suci menjadikannya pelindung para tahanan.
Suatu hari menjelang Perayaan Bunda Maria, Pastor Giuseppe Cafasso bertandang ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Turin, Italia. Di sana, ia mengajar tentang tradisi dan iman Katolik, mendengarkan setiap masalah yang dialami para tahanan, dan menasihati mereka. Sebelum perjumpaan itu berakhir, Cafasso meminta mereka mengaku dosa pada pekan berikutnya. Mereka setuju.
Ketika hari yang ditentukan tiba, sekitar 45 orang berkumpul di aula LP. Imam kelahiran Castelnuovo d’Asti (kini, Castelnuovo Don Bosco), Piedmont, Italia itu langsung memimpin Ibadat Tobat. Usai perayaan, ia mengajak mereka untuk mengaku dosa. Namun, semua bergeming. Tak ada satu pun yang mengindahkan ajakan Romo Cafasso.
Tak habis akal, Romo Cafasso mengeluarkan ‘jurus’ yang kelak terbukti ampuh. Ia mendatangi satu orang yang bertubuh paling besar dan tinggi. Ia rupanya paling disegani oleh semua penghuni LP. Romo Cafasso memegang dan mengelus janggut panjang pria itu.
“Pater, silakan engkau ambil apa pun yang saya miliki, tapi jangan janggut ini,” candanya disambut gemuruh tawa warga LP.
Romo Cafasso lantas menimpali, “Saya tak akan pergi dan berhenti mengelus janggutmu, sampai engkau datang dan mengaku dosa.”
“Ah, saya tak mau mengaku dosa,” jawabnya.
“Ya…, Anda bebas berkata apapun dengan sejuta alasan. Tetapi, engkau tak bisa berpaling dari saya. Dan, saya pun tak akan pergi sebelum engkau mengakukan dosa-dosamu,” imbuh Romo Cafasso.
“Tapi saya tidak siap untuk mengaku dosa,” timpal pria itu.
“Saya yang akan mempersiapkanmu,” pungkas Romo Cafasso.
Tahanan itu akhirnya mengaku dosa kepada imam Cafasso. Namun, suasana LP sekonyong-konyong berubah gaduh, begitu pria bertubuh kekar itu selesai mengaku dosa. Ia menangis sesenggukan. “Sungguh saya tak pernah sebahagia dan selega ini dalam menjalani kehidupan,” jawab narapidana itu ketika rekan-rekannya menanyakan apa yang terjadi padanya.
Sejak peristiwa itu, kian banyak napi menanti kehadiran Romo Cafasso. Tanpa canggung, mereka mengakukan semua dosa di hadapan sang imam. Tak pelak, aksi heroik itu melambungkan nama Romo Cafasso. Ia dikenal sebagai penasihat dan bapa pengakuan para penghuni penjara.
Di antara para tahanan di Turin, banyak yang menerima vonis hukuman mati. Romo Cafasso berusaha mempersiapkan dan menguatkan hati mereka. Ia selalu mengatakan, jika berani mengakui semua kesalahan dan bertobat, jiwa mereka akan langsung menuju surga. Ia menyebut mereka yang bertobat tetapi hidupnya harus berakhir di tiang gantungan, sebagai “orang-orang kudus yang tergantung”.
Terkurung di LP
Pastor Cafasso rutin hadir seminggu sekali di antara para napi, meski aneka tugas menghimpit. Bahkan, ia sedia datang dua atau tiga kali, jika ada di antara mereka yang membutuhkan pendampingan khusus.
Selain mendengarkan dan menjadi Bapa Pengakuan bagi mereka, Pastor Cafasso juga membawakan makanan, pakaian, dan rokok. Semua barang itu dibeli dengan uang yang ia terima dari derma umat. Tak jarang ia mengajak para muridnya, antara lain Yohanes Bosco, yang dikemudian hari juga dinyatakan kudus sebagai Santo.
Suatu hari, menurut Yohanes Bosco, Romo Cafasso memberikan pelayanan di LP hingga larut malam. Tanpa ia sadari, sipir sudah mengunci seluruh pintu ‘hotel pro deo’ itu. Romo Cafasso “terpenjara” bersama para tahanan. Ketika para sipir melakukan inspeksi, mereka terkejut ketika melihat Romo Cafasso. Para sipir itu segera menghardiknya dan berusaha membawa imam itu ke hadapan kepala LP. Romo Cafasso tak takut dengan ancaman para sipir. Ia rela mendapat hukuman jika bersalah.
Sebelum digelandang ke kepala LP, ia dengan lemah lembut berkata, “Silakan kalian membawa saya. Saya akan mengatakan kepadanya, kalian tidak mengumumkan dan mengontrol terlebih dahulu sebelum mengunci semua pintu. Sehingga saya terkurung di sini.”
Para sipir terhenyak. Nyali mereka menciut. Mereka takut menerima sangsi. Alihalih melaporkan sang pastor, para sipir meminta maaf. Mereka mengantar sang pastor sampai pastoran.
Pelindung Tahanan
Sejak kecil Cafasso sudah dikenal sebagai anak saleh dan baik hati. Anak petani miskin itu mengikuti Misa tiap hari. Ia juga giat menjadi misdinar dan punya devosi mendalam kepada Bunda Maria. Bocah yang sejak lahir punya masalah dengan tulung punggungnya ini sudah terbiasa berpuasa setiap Sabtu. Selain itu, tiap Sabtu sore, ia mengumpulkan anak-anak seusianya dan memberikan pelajaran agama.
Kendati keluarganya harus menyambung hidup dengan menggarap tanah milik tetangga, Cafasso dan keluarganya terpanggil untuk melakukan karya amal. Cafasso bersemangat membantu orang-orang yang jauh lebih miskin dan menderita dari keluarganya. Keutamaan ini ditanamkan oleh orangtuanya sejak kecil. Tak heran, sejak bocah ia sudah sangat dihormati oleh penduduk setempat.
Cafasso rajin belajar. Bila waktu studi tiba, tetapi ia harus membantu orangtua, ia akan mencari waktu lain untuk belajar.
Bahkan, setiap perjalanan ke sekolah, ia manfaatkan untuk membaca. Ia dinobatkan sebagai siswa teladan atas berprestasi secara akademik dan sikapnya yang sangat baik.
Sejak kecil, orangtuanya melihat dan menyadari, buah hati mereka sangat antusias menjadi imam. Kala Cafasso mengutarakan niatnya menjadi gembala umat, orangtuanya langsung menyetujui tekad anak ketiga dari empat bersaudara itu. Ia masuk Seminari Menengah di Chieri, lalu melanjutkan ke Seminari Tinggi Keuskupan Agung Turin. Pada 1833, ia menerima tahbisan imam dari tangan Uskup Agung Turin Mgr Luigi Fransoni.
Romo Cafasso secara khusus mendalami spititualitas St Fransiskus de Sales. Ia menjadi guru spiritual, dan bahkan memimpin lembaga pastoral Convitto Ecclesiastico. Karena itu, ia juga dikenal sebagai pengkhotbah ulung. Di tempat inilah, Yohanes Bosco belajar spiritualitas dari Romo Cafasso.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Cafasso membantu Don Bosco mendirikan tarekat hidup bakti Societas S. Francisci Salesii, atau dikenal dengan Salesian Don Bosco (SDB). Tarekat ini berfokus pastoral bagi kaum miskin dan menderita.
Komplikasi penyakit menghentikan karya pelayanan Romo Cafasso. Ia wafat pada 23 Juni 1860 di Turin pada usia 49 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Basilika St Maria Consolata, Turin. Berkat teladan rohani dan keutamaan hidupnya, Paus Pius XI membeatifikasi Pastor Cafasso pada 1925. Kemudian tahun 1947, Bapa Suci Pius XII menggelarinya Santo. Bapa Suci Pius XII juga menjadikannya sebagai pelindung para tahanan Italia pada 1950. Gereja memperingati teladan hidupnya tiap 23 Juni.
Yanuari Marwanto