HIDUPKATOLIK.com – Ia seorang dokter. Pelayanan di daerah terpencil tak membuatnya frustrasi. Pernah, pasien membayarnya dengan sarung. Bersama orang sederhana, hidupnya berkelimpahan.
Ketika usia kanak-kanak, Benedicta Wayan Suryani Wulandari senang bermain dengan memerankan diri sebagai suster atau dokter yang seolah sedang mengobati luka pasien. Jika ada keluarga di rumah yang mengalami luka, dengan riang hati ia menawarkan diri untuk merawat atau mengobatinya. “Mungkin passion saya di situ ya …. Saya senang ketika merawat keluarga yang mengalami luka atau sakit. Ada kebahagiaan tersendiri ketika kita bisa memberikan diri untuk orang lain,” ungkap Dokter Ben, sapaannya.
Lulus SMA, kelahiran Denpasar, Bali, 30 Oktober 1973 ini melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Pada 1999, Ben menyelesaikan pendidikannya, lalu menikah dengan Dokter Mario Gregorius Barbarigo Nara. Ia mengikuti sang suami yang kala itu menjalani PTT di Puskesmas Waiwerang, Flores Timur.
“Saya mengalami segalanya begitu sederhana, apa adanya, tapi membahagiakan. Saya melihat bahwa di daerah terpencil pun hidup bisa dinikmati. Profesi kami berdua berkaitan erat dengan pengabdian masyarakat. Tidak cuma dalam hal membantu masalah kesehatan, melainkan juga untuk membangun jembatan dan kegiatan-kegiatan di gereja, kami di libatkan. Hidup terasa penuh dan berke limpahan,” kenang Dokter Ben.
Panggilan Hidup
Seiring waktu, Dokter Ben melanjutkan pen didikan untuk menjadi dokter spesialis mata di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Ia lulus pada 2005, lalu melayani sebagai dokter PTT spesialis di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan selama hampir setahun. Pada 2006, ia diangkat menjadi dokter PNS di RSUD K.H. Hayyung Selayar.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Selayar berupa laut, dengan 123 pulau yang tersebar mulai dari perairan Bira hingga Flores. Dokter Ben harus menyeberang dari satu pulau ke pulau lain untuk memeriksa kesehatan dan memberikan pengobatan kepada masyarakat. Waktu itu, jarak pulau terdekat bisa ditempuh selama tiga jam dengan perahu. “Sedangkan jarak terjauh bisa 24 jam berperahu,” kisah Dokter Ben. Di Selayar, listrik belum mengalir sepanjang hari. “Biasanya listrik mulai mengalir jam lima sore hingga jam lima pagi. Jika akan melakukan operasi, saya harus melakukannya pada saat ada aliran listrik,” imbuhnya.
Dokter Ben melayani di Selayar hingga tahun 2011. Sementara itu, sang suami bertugas sebagai dokter spesialis penyakit dalam di RS Stella Maris Makassar. “Kami Long Distance Relationship (LDR) … bertemu satu bulan sekali,” ujarnya.
Selama bertugas di Selayar, Dokter Ben berusaha untuk memberikan diri semak simal mungkin. Ketika pasien tak bisa membayar biaya pengobatan, ia tak akan memintanya. Ia kerap mendapat hasil bumi sebagai ganti biaya berobat. Ia bahkan pernah mendapat sarung dari se orang ibu sebagai ganti biaya operasi katarak.
“Ibu itu bilang kalau dia tidak bisa membayar biaya operasi sehingga memberi sarung. Saya terharu karenanya …. Saya masih simpan sarung itu hingga seka rang. Mereka memberi dari apa yang mereka miliki,” ungkap perempuan yang dikaruniai tiga anak ini.
Selain mengobati mata, Dokter Ben juga kerap menangani pasien dengan sakit batuk, pilek, memeriksa kandungan ibu hamil, dll. “Ya, kita bantu semaksimal mungkin … sebisa saya. Kalau ada pasien yang tak bisa saya tangani, saya membantu merujuknya ke rumah sakit.”
Lestarikan Kekayaan Laut
Pengalaman berlayar dari satu pulau ke pulau lain membuat Dokter Ben belajar pengetahuan tentang laut dan kekayaan yang ada di dalamnya. Ia terlibat sebagai relawan pemantau terumbu karang. Ia memberi penyuluhan dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama melestarikan terumbu karang yang menjadi salah satu kekayaan laut di sana.
Ia belajar scuba diving dan mendirikan komunitas pecinta alam Sileya Scuba Divers (SSD) yang kerap menjalankan misi konservasi di Selayar. Ia prihatin dengan kelestarian terumbu karang yang rusak akibat pencarian ikan menggunakan bom. Ia membantu untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya mencari ikan dengan cara-cara yang benar. Penjelasan itu membuat para nelayan menyadari pentingnya kelestarian ekosistem laut. Alhasil, para nelayan berubah sikap. Selain sebagai nelayan, mereka merangkap sebagai penyewa perahu untuk para wisatawan yang datang. Penghasilan mereka pun meningkat dan keindahan terumbu karang terjaga.
Kegiatan SSD turut memajukan potensi wisata di Selayar, dengan membangun kafe konservasi dan mengembangkan potensi wisata bahari. Dokter Ben pernah terlibat dalam Taka Bonerate Expedition. Bersama teman-teman SSD sebagai anggota tim dive guide, ia menemani para penyelam untuk menikmati keindahan bawah laut perairan Pulau Tinabo dan Pulau Latondu.
Ketika bertugas di Selayar, Dokter Ben juga ambil bagian dalam kegiatan Gereja. Ia memotori pendirian kapel di sana. “Waktu itu, tak ada gereja Katolik di sana. Kami bergotong-royong membangun kapel. Ada tiga Kepala Keluarga (KK) Katolik. Kami mengadakan doa lingkungan dan ibadat sabda. Sementara Romo di Paroki Siti Fatima Bantaeng datang satu bulan sekali. Itu pun jika cuaca baik dan ombak tidak tinggi. Kalau ombak tinggi, kami akan mengirim pesan agar Romo tidak usah datang,” tuturnya.
Tak Henti Melayani
Pada 2011, dengan berat hati Dokter Ben harus meninggalkan Selayar. Ia lalu berpelayanan di RS Arsani Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dua tahun berselang, ia mendapat tugas sebagai direktur RS Arsani hingga sekarang.
Di tengah kesibukan sebagai dokter, ia masih menyediakan waktu dalam kegiatan di gereja. Umat Paroki St Maria Pengantara Segala Rahmat, Sungai liat ini berusaha untuk menghidupkan koor anak-anak di paroki. Yang bergabung dalam kelompok koor itu adalah anak usia kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP.
“Nama kelompok kami, Epifani. Kami mendapat tugas setiap Jumat Pertama. Seminggu sekali, kami mengadakan latihan,” ujarnya. Ia juga membidani lahirnya kelompok koor oma-oma di Kelompok Basis Gereja (KBG) di sekitar tempat tinggalnya. “Saya ingin menginspirasi yang muda-muda untuk mau terlibat dalam kegiatan, ikut koor, dll. Oma-oma saja semangat,” imbuhnya.
Dalam menjalankan tugas dan pelayanan, doa menjadi kekuatan dan sandarannya. Setiap kali akan melakukan operasi, Dokter Ben akan mengambil waktu sejenak untuk mendaraskan doa. “Setiap operasi itu, saya percaya Tuhan yang bekerja. Saya hanya sebagai sarana … sebagai alat-Nya,” ungkapnya.
Setiap pagi, Dokter Ben juga menyediakan waktu untuk mengikuti Misa Harian. Kadang ia mengikuti Misa bersama sang suami. “Saat di Selayar, saya haus kehidupan rohani. Sekarang saya berusaha untuk bisa mengikuti Ekaristi tiap pagi. Itu menjadi kekuatan saya.”
Ivonne Suryanto/Maria Pertiwi