HIDUPKATOLIK.com – Beberapa orang rela mencurahkan perhatian dan talentanya untuk para Warga Binaan di penjara. Bahkan, Yesus pun sudi tidur di balik jeruji besi.
Tiga perempuan berbaju biru menyambut kehadiran kami dari balik gerbang terungku wanita Klas IIA Tangerang. Segurat senyum merekah dari airmuka Rina, Mathilde, dan Elisabeth saat kami berjumpa. “Syallom, selamat pagi,” sapa Mathilde dengan lembut. Perempuan dengan model rambut konro (pintal) itu langsung mengantar kami menuju Gereja Crucio.
Apriori tentang Warga Binaan (WB) yang garang segera luluh saat mengalami keramahan mereka. Bayangan mengenai penjara yang angker seperti dalam film-film pun sirna ketika menikmati lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LP) nan asri. “Silakan diminum Mas, sambil menunggu yang lain,” kata Theodora ketika kami duduk di dalam bangunan yang dipakai umat Katolik dan Kristen untuk pelayanan rohani.
Tak sampai 10 menit, sekitar 50-an WB Kristiani berkumpul dan merayakan Ibadat Ekumene. Menurut relawan pastoral penjara, Ferry Yusuf Lubis, pelayanan rohani di sana digelar pada Sabtu keempat setiap bulan, sesuai jadwal yang diberikan oleh pihak LP. “Teman-teman saya tidak semua Katolik. Selain itu, ada juga di antara kami yang mantan WB. Meski begitu, tujuan kami satu, yaitu berbagi berkat bagi sesama,” ungkap umat Paroki Maria Bunda Karmel (MBK) Tomang, Jakarta Barat ini saat ditemui HIDUP di LP Tangerang, Sabtu, 28/2.
Ferry berkisah, pelayanannya bagi para WB dimulai sejak 2002. Kala itu, sebenarnya ia masih berjuang dengan hidupnya sendiri. “Saya belum ada pekerjaan, hanya ingin melayani. Bila saya refleksikan hingga saat ini, mungkin pelayanan di sini menjadi panggilan hidup saya,” papar pria yang kini berprofesi sebagai developer gedung perkantoran ini.
Selama 13 tahun menekuni pastoral penjara, pria yang dulu sempat terjerumus dalam narkoba ini menuturkan, pelayanan penjara sangat menantang! Jika orang tak kuat, ia akan ‘terpental’ dengan sendirinya. Ia mencontohkan, ada teman sepelayanannya, mantan WB kasus narkoba, kembali keciduk polisi karena mengulangi perbuatannya.
Ferry selalu mengingatkan agar berhati-hati dan selektif jika ingin membantu dalam karya pelayanan ini. Pastoral penjara kadang dimanfaatkan oknum tertentu sebagai sarana mengeruk keuntungan dan mendulang popularitas. “Tidak mudah terjun ke dunia seperti ini. Jika tidak tulus melakukannya, orang akan hilang dengan sendirinya. Waktu akan menjawab semua itu,” tandasnya.
Teater Lapas
Sementara itu, relawan lainnya, Antonius Laba masih merekam kenangan bersama Rani Andriani. Sambil berkisah soal perempuan asal Cianjur itu, ia menunjukkan dua foto Rani bersama teman-temannya di LP Tangerang. Saat itu mereka sedang berlatih teater untuk pentas di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Tak dinyana, pertunjukan teater berjudul “Hening: Menjemput Kebebasan Sejati” pada 30 September 2014 itu menjadi kenangan terindah bagi sang sutradara bersama anak didiknya. “Rani dan para WB tampil sangat luar biasa. Banyak penonton yang memuji, bahkan ada yang meneteskan air mata usai pementasan,” kisahnya.
Sayang, hidup Rani harus berakhir di hadapan regu tembak pada 18 Januari 2015. Timah panas menghentikan langkah Rani setelah permohonan grasinya atas kasus narkoba ditolak pemerintah. Meski demikian, Laba masih sempat bertemu anak didiknya saat mengantar jenazah Rani menuju peristirahatan terakhir di Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat.
Teater menjadi pintu masuk karya pelayanan Laba di berbagai LP. Dunia seni itu seolah menjadi simpul pengikat hubungannya dengan para penghuni LP. Pria kelahiran Jakarta ini sempat melatih teater untuk WB di LP Cipinang dan LP Salemba. Ia juga memetaskan teater di dalam dan di luar LP. Terakhir, Laba memboyong 40 WB untuk tampil di TIM.
Kini, mantan anggota Sanggar Yessy Gusman bersama tiga rekan dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini kembali melatih teater di LP Tangerang. Tiap Selasa dan Sabtu, mereka menggojlok anak didiknya sekitar 2,5 jam. “Semoga April nanti, kami bisa tampil optimal. Kali ini, kami ingin menyuarakan soal cinta yang dipadu dengan keragaman budaya Tanah Air,” bebernya.
Suami Eva Yuliana ini telah berkecimpung dalam pelayanan penjara selama 12 tahun. Selang tiga tahun setelah bertobat mengkonsumsi obat-obat terlarang pada 2000, ia bertemu Ferry. Lalu, Ferry mengenalkannya dengan karya pelayanan penjara. Selain teater, pelayanan untuk WB juga berbentuk pelatihan public speaking, menulis, dll.
Bersama teman-temannya, Laba pernah mengundang Arie Kriting (Komika Stand Up Comedy) ke LP untuk melatih kemampuan bicara bagi WB. Yang terakhir, me reka menghadirkan Khrisna Pabichara –penulis novel Sepatu Pak Dahlan– untuk berbagi tips soal proses penulisan kreatif.
Laba mengaku, kesenian dan berbagai pelatihan memudahkannya masuk dan diterima oleh penghuni LP. Selain itu, kesenian dapat diterima oleh semua WB dari berbagai agama, kebudayaan, dan negara. Tak heran jika kehadirannya selalu dinanti.
Tidur Bersama Yesus
Lain halnya dengan pengalaman Michael. Suatu hari pada 2013, ia masih tidur seorang diri di ruang Kelas I LP Cipinang, Jakarta Timur. Umat Dekanat Barat II Keuskupan Agung Jakarta itu berada di sana karena terjerat kasus suap. Hakim menjatuhkan vonis sembilan tahun kurungan. Jika tak ada aral melintang, ayah tiga anak itu akan menghirup udara bebas pada 2021.
Saat itu, Michael bersama sekitar 70 tahanan Katolik hendak merayakan Paskah. Sebagai katekis LP, ia bersama rekan-rekannya bersyukur bisa merasakan Paskah secara penuh, yakni pelayanan Misa untuk WB Cipinang pada Rabu Abu dan Pekan Suci.
Namun, yang paling berkesan baginya selama Trihari Suci adalah peristiwa Ka mis Putih. WB Katolik mendapat kesempatan untuk tuguran. Usai tuguran, ia menyimpan Sakramen Mahakudus di kamarnya, lantaran ia masih sendirian di dalam sel. Selain itu, dari segi keamanan juga lebih terjamin. “Saya sangat terharu. Yesus tidur bersama saya di dalam penjara. Mungkin Romo, Frater atau Suster belum pernah mengalami seperti saya,” kenangnya sambil tersenyum.
Mantan karyawan sebuah perusahaan itu mengaku, pelayanan rohani untuk WB Katolik masih minim. Misa hanya di helat tiap Kamis dan Minggu keempat dalam bulan. Namun, ia bisa memahami, komposisi WB Katolik di Cipinang lebih sedikit jika dibandingkan dengan WB Kristen. Sehingga, jadwal pelayanan lebih banyak diberikan kepada gereja lain. Michael menuturkan, kini WB Katolik di LP Cipinang berjumlah sekitar 70 orang.
Minimnya pelayanan rohani Katolik di Cipinang menggerakan Michael mengadakan Rosario harian, meski peminatnya baru sekitar belasan orang. Selain itu, ia mendampingi dan mengajarkan tentang iman dan tradisi Katolik bagi WB yang ingin dibaptis. Alhasil, 10 orang menerima Sakramen Baptis selama periode 2013-2015.
Michael merasakan, pelayanan penjara tidaklah mudah. Ada empat tuntutan, yakni waktu, tenaga, materi, dan perasaan. “Tidak semua yang datang ke gereja ingin ikut Misa. Ada juga yang hanya ingin mendapat ‘berkat’. Oleh karena itu, bila berkunjung ke sini, sebisa mungkin membawa nasi bungkus atau mie instan,” tuturnya.
Sementara itu, Rafael, rekan sepelayanan Michael di LP Cipinang menggantung harapan agar ada imam yang sungguh-sungguh konsen melayani WB. “Kami rin du kehadiran Romo. Jika bisa, ada Romo yang secara rutin datang ke tempat ini karena keinginannya sendiri, tanpa diundang atau dijemput umat,” sarannya.
Yanuari Marwanto