HIDUPKATOLIK.com – Kesantunan adalah penanda peradaban. Kesantunan meliputi cara menyampaikan suatu gagasan sembari memperlihatkan rasa hormat kepada lawan bicara yang menjadi tujuan gagasan tersebut. Ketika gagasan disampaikan tanpa disertai rasa hormat, maka sepenting apapun gagasan yang disampaikan, itu menjadi senjata untuk menyakiti lawan bicara. Dalam situasi normal, peradaban bertahan karena berhasil mempertahankan kesantunan sebagai jembatan komunikasi antarmanusia.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dikritik, karena tidak mengindahkan kesantunan dalam bicara. Dalam situasi normal, perilaku Ahok akan menjadi tidak pantas. Namun ketika yang dihadapi adalah mafia, reman, dan siluman, persoalan menjadi amat beda. Kesantunan menjadi faktor yang tidak diperlukan. Gagasan tentang transparansi dan kejujuran yang disampaikan minus kesantunan kepada para lawan politiknya, yang selama ini menikmati keadaan “tidak normal” demi keuntungan diri sendiri, pada saat yang sama adalah juga senjata yang sengaja dipakai untuk menusuk martabat dan kehormatan mereka.
Dalam hal ini, jikalau Ahok bersembunyi di balik kesantunan, dan akibatnya membiarkan para “begal politik” terus merajalela, ia justru turut berpartisipasi dalam pembiaran atas tindak kejahatan atas seluruh warga ibukota yang uangnya diselewengkan demi kekayaan pribadi para siluman dan preman yang seolah-olah mewakili kepentingan rakyat itu. Ahok justru menyelamatkan peradaban dan kesantunan yang disandera oleh para musuh peradaban. Namun, akankah ia keluar sebagai pemenang ataukah tergilas oleh mesin politik lawan-lawannya?
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dipandang sebagai satu-satunya benteng perlawanan terhadap korupsi yang masih tersisa. Siapa nyana bahwa lawan terbesar yang ia hadapi adalah lembaga penegakan hukum yang semestinya berada di garis depan dalam perang melawan korupsi?
Dengan wewenang besar atas hukum, senjata, dan informasi yang dimiliki, kepolisian melakukan penghancuran secara sistematis, tidak hanya atas KPK, tetapi semua pihak yang lantang mengkritik praktik korup dalam tubuh aparat penegak hukum terkuat itu. Ketika hukum, sebagai tiang peradaban yang lain, dimanipulasi untuk merusak kerja penegakan hukum oleh aparat hukum sendiri, masihkah kita bisa bicara tentang peradaban dengan nyaman dan masuk akal? Masih adakah masa depan bagi pemberantasan korupsi di negeri ini?
Peradaban yang korup tidak pantas disebut sebagai peradaban. Itu jahiliyah. Sebuah kegelapan tanpa harapan. Proses penghancuran peradaban itu, kini sedang berlangsung di depan mata, dan kita nyaris tak berdaya untuk menghentikan, sebab para pelaku adalah bagian dari pemangku kekuasaan di negeri ini.
Kesantunan dan kepatuhan akan hukum sedang berada dalam cengkeraman orang-orang yang tidak menghendaki negeri ini menjadi baik dan bersih. Ahok dan KPK adalah sedikit dari kekuatan pembela peradaban yang sedang bersusah payah bertahan hidup dari gempuran. Senjata mereka hanya keyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah benar dan demi kemaslahatan orang banyak. Tanpa keyakinan yang menjurus kepada fanatisme terhadap kebenaran itu, pasti mereka sudah lama menyerah.
Apakah ini mengingatkan kita kepada seorang pemuda dari Nazareth, yang demi menyelamatkan manusia meregang nyawa di salib, tanpa dosa atau cela? Oleh lawan-lawan, Dia dijadikan penjahat, dan sejenak, kejahatan seolah menang atas kebaikan. Kini, hidup dan wafat-Nya sedang kita kenangkan. Namun, kita percaya akan kebangkitan-Nya. Dengan keyakinan yang sama, kita mau melihat, pada akhirnya peradaban manusia di negeri ini terselamatkan karena ada orang seperti Ahok dan lembaga KPK, yang lebih suka hancur daripada menyerah kepada kejahatan. Setia sampai akhir (sempre fidelis). Keyakinan mereka memang tak bisa memindahkan gunung, tapi mereka tak gentar menghadapi kekuasaan jahat yang daya rusaknya lebih kuat daripada letusan sebuah gunung..
Manneke Budiman