HIDUPKATOLIK.com – Sejak Revolusi Industri pada akhir abad ke-XIX, masyarakat kita memasuki masa modern. Manusia mulai keluar dari kebiasaan masyarakat tradisional dan merengkuh situasi baru. Seorang teoris sosial, Max Weber mengatakan, modernitas berarti menggantikan cara pandang lama dengan cara pandang baru yang rasional. Salah satu bentuk dari cara pandang rasional adalah adanya aturan-aturan. Weber mengungkapkan, bahaya hadirnya aturan adalah munculnya penjara besi, yaitu ruang gerak yang semakin terbatas. Dengan rasionalitasnya, orang membela aturan dan lupa akan tujuan aturan itu. Orang lupa bahwa saat aturan tidak lagi cocok dengan tujuan, aturan perlu dilihat kembali.
Yesus adalah tokoh pembebasan dari bentuk-bentuk aturan yang semacam ini. Satu ungkapan yang terkenal adalah, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mar 2:28). Dari masa ke masa, Gereja terus berjuang untuk membarui diri. Paus Yohanes XXIII terkenal dengan ungkapan Aggiornamento (menghari-ini-kan), yang menunjuk pentingnya Gereja menjadi relevan untuk kebutuhan hari ini. Dalam Gereja juga terdapat ungkapan Ecclesia semper reformanda yang berarti Gereja selalu membarui diri.
Paus Fransiskus besar di Amerika Latin, tempat lahirnya Teologi Pembebasan. Teologi ini menyatakan,bahwa kehadiran Tuhan nyata bagi orang-orang miskin dan tertindas. Para teolog melihat kembali ajaran-ajaran Gereja, apakah membawa penindasan ataukah pembebasan bagi masyarkat. Dengan semangat yang sama, Paus Fransiskus menjalankan karya kepausannya.
Selama beberapa tahun menjabat sebagai Paus, ia membawa ajaran-ajaran Gereja kita di dalam ranah pembebasan. Ia mengingatkan para imam untuk menghindari karirisme, yaitu mengejar posisi-posisi dalam Gereja secara ambisius. Dia mengingatkan bahwa pelayanan dalam Gereja adalah karya Allah. Selanjutnya, ia menentukan Tahun Kerahiman sebagai bentuk usaha pembebasan. Ia mengingatkan, bahwa Tuhan tak pernah lelah mengampuni dosa manusia. Melalui Gereja, Paus hendak mengatakan bahwa Allah itu baik. Ia mengecam aturan manusiawi saja yang kadang membelenggu Gereja.
Dalam anjuran apostolik Amoris Laetitia, Paus mengingatkan tentang pentingnya memperhatikan keluarga-keluarga agar kembali menjadi tempat setiap pribadi berjumpa dengan Tuhan dan menemukan kebahagiaan. Pada 19 November 2017 ini, Paus Fransiskus menggaungkan Hari Orang Miskin Sedunia, yang belum pernah ada sebelumnya. Salah satu pokok bahasannya adalah soal kemiskinan sebagai akibat dari ketidakadilan, yang mempersempit akses kepada kebutuhan ekonomi. Ia menggugat peran
kita sebagai pengikut Kristus atas kemiskinan.
Paus Fransiskus tidak lelah menunjukkan pentingnya menghubungkan agama dengan proses pembebasan. Ia menunjukkan pentingnya membarui diri, agar Gereja kita mampu menyapa semakin banyak kalangan. Melalui tulisan, khotbah, dan ajaran-ajarannya, Paus mengkritik habis-habisan Gereja yang dipimpinnya mulai dari para pemimpin di Vatikan hingga mereka yang ada di keluarga-keluarga.
Setiap kali mengikuti perayaan Ekaristi, kita mengungkapkan kesatuan dengan Paus Fransiskus. Maka, adalah kewajiban kita untuk memperhatikan juga keprihatinannya. Secara tersirat ia menghendaki agar Gereja tidak hanya terkekang oleh tradisi, tetapi memikirkan pentingnya Gereja menjadi pionir pembebasan. Gereja di berbagai tingkatan perlu semakin peka terhadap upaya pembebasan. Paus menyadari, kritik besar kepada Gereja yang terlalu garang keluar, tetapi terlalu lembut ke dalam. Bagaimana dengan Gereja kita, kelompok kita, keluarga kita, dan diri kita sendiri menghadapi kritikan yang sama?
Paus mengajari bagaimana keluar dari kungkungan penjara tradisi yang tidak sehat. Baginya, Gereja harus terus membarui diri. Gereja tak boleh menjadi penjara yang mengekang ruang geraknya, melainkan menjadi pionir bagi usaha-usaha pembebasan dalam berbagai bidang.
M. Joko Lelono
Imam Diosesan Semarang, studi bidang Interreligious di UGM Yogyakarta