HIDUPKATOLIK.com – Di tengah kesibukan di ruang operasi, ia masih menyempatkan waktu menjadi relawan kemanusiaan. Nyawanya terancam di tengah laut saat memberikan layanan medis.
Ruang operasi memang terasa menakutkan bagi sebagian orang. Namun, tidak demikian bagi perempuan yang akrab disapa Yuli ini. Setiap hari dengan mengenakan jas operasi berkelir hijau, alumna Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St Carolus Jakarta itu membantu dokter bedah di ruang operasi Kencana, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Sebelumnya, Yuli menjadi perawat di Unit Pediatric (anak) di RS almamaternya. Lebih dari 20 tahun, ia menyelami karyanya di sana. Rasa empatinya kepada pasien anak tumbuh dan senantiasa bersemi. Baginya, menjadi perawat tak sekadar merawat pasien dan memberi obat, namun harus sanggup menjadi sahabat dan motivator untuk pasien maupun keluarganya.
Setiap profesi itu mulia dan mempunyai risiko masing-masing, tak terkecuali menjadi seorang perawat. Yuli tak menampik, nyalinya sempat ciut ketika mendapat tugas melayani pasien yang terkena HIV/AIDS. Atau berhadapan dengan medan menantang, serta kondisi alam yang sedang tak bersahabat, ketika menjalankan misi kemanusiaan. Perawat juga manusia biasa.
Pertolongan Tuhan
Bungsu dari lima bersaudara ini pernah mendapat tugas merawat orang dengan HIV/AIDS. Kebetulan saat itu, Yuli bertugas di unit penyakit dalam RS Carolus. Ia mengenang, selama merawat pasien tersebut, tak pernah sekali pun merasa kelelahan. “Saya merasa Tuhan menguatkan saya. Melihat senyum berpendar di wajah (pasien) yang pucat, hati saya ikut bahagia,” ujar lulusan S1 Keperawatan dan Profesi Ners di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Borobudur Jakarta Timur ini.
Nuraninya sebagai seorang ibu juga tersentuh ketika melihat para pasien penderita kanker. Meski harus menghadapi proses kemoterapi dan radiasi yang tidak mudah dan mempunyai efek samping, semangat hidup mereka sungguh luar biasa. Justru mereka yang membuat Yuli bersemangat melayani pasien yang menderita dan sakit.
Hidup Yuli sungguh dicurahkan untuk melayani sesama. Bahkan saat mendapat libur panjang, ia justru melamar sebagai relawan di Rumah Sakit Apung (RSA) Dokter Lie Darmawan, Yayasan Doctor Share pada 2015.
Di rumah sakit kapal itu, wanita yang suka membuat pernak-pernik saat waktu luang, membantu pengobatan gratis, memberikan ceramah dan pengetahuan kesehatan. Ia juga membantu dokter untuk melakukan operasi minor dan mayor.
RS Apung Dokter Lie Dharmawan memberikan pelayanan kesehatan di daerah terpencil di seluruh Indonesia. Tahun ini, Yuli mengikuti pelayanan medis di tiga tempat, yaitu Pulau Mbromsi (Biak, Papua), Pulau Mayau (Ternate, Maluku Utara), dan Pulau Banda Naira (Ambon).
Dalam pelayanan untuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil ini, alumna SMU Santo Thomas Medan, Sumatera Utara, punya pengalaman yang tak terlupakan. Pada Juli 2017, Yuli baru saja usai bertugas di Pulau Mayau, Ternate, Maluku Utara.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Ternate, kapal mereka terkena badai. Ombak menjulang tinggi. Air laut masuk ke dalam kapal yang ia tumpangi. Pompa untuk memuntahkan air di dalam tubuh kapal tak sanggup mengimbangi debit air yang masuk. Penumpang yang terdiri dari 17 relawan dan lima anak buah kapal hanya bisa pasrah dan tak bersuara. “Kapten mengatakan, kemungkinan dua jam lagi kapal akan tenggelam,” ujarnya.
Kondisi alam yang tak bersahabat juga mengganggu komunikasi. Tak ada satu pun yang menjawab permintaan bantuan mereka. Cuaca kian memburuk. Ombak semakin beringas. Kapal mereka terombang-ambing di lepas pantai. Tak ada satu pun kapal yang berani mendekat, kuatir bertabrakan.
Mungkin, kata Yuli, mereka mengira kapal RS Apung perompak. Yuli sama sekali tak bersuara. Ia hanya merapal doa dalam hati. “Tuhan jangan ambil saya saat ini. Saya belum siap. Masih banyak tugas yang belum saya selesaikan. Kedua anak saya masih kecil dan mereka masih membutuhkan saya,” kenangnya.
Beruntung, beberapa saat kemudian, ada kapal yang tadi menjauh, mendekati dan membantu kapal mereka. “Tuhan ternyata langsung menjawab doa-doa kami,” cerita perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara, 29 Juli 1973 ini penuh syukur.
Siap Sedia
Perawat membutuhkan fisik yang kuat. Demi menjaga stamina, Yuli, selalu menyempatkan waktu untuk istirahat, banyak minum air putih hangat, dan menjaga asupan gizi. Baginya, stamina yang prima, turut membentuk pikiran positif. Rutinitas di kamar operasi mengharuskannya berdiri hingga operasi selesai yang bisa memakan waktu kurang lebih delapan jam. “Semangat dan cinta pekerjaan yang membuat saya kuat,” ujar istri Willybrordus Samodra Wardono yang aktif melayani sebagai prodiakon dan ketua lingkungan ini.
Yuli bangga menjadi perawat. Sebab, ia bisa melayani sesama saudara yang sedang menderita sakit. “Komunikasi yang baik dapat meringankan sedikit kecemasan dan rasa sakit mereka,” ujarnya, menyarankan.
Anggota Himpunan Perawat Urologi Indonesia ini merasa prihatin beberapa perawat kurang memperhatikan pasien. Namun, ia tidak menyalahkan mereka. “Mungkin kurikulum pendidikannya harus dirubah. Materi untuk caring, etika, dan Konseling harus benar diperhatikan selain keterampilan dan ilmu keperawatan,” saran Yuli.
Lanjutnya, didikan para perawat senior sangat mempengaruhi perawat-perawat yang baru saja tamat sekolah dan langsung bekerja. Perawat senior sebaiknya mengajarkan hal-hal baik kepada yuniornya. Selain itu, perlu kerja sama yang baik antara institusi pendidikan keperawatan dengan tempat para perawat bekerja. “Agar ada pengawasan dan evaluasi,” katanya.
Janji Perawat
Kebahagiaan bagi seluruh tenaga medis, termasuk Yuli, adalah ketika pasien yang mereka tangani sembuh dan bisa kembali ke rumah. Senyum dan ucapan terima kasih pasien merupakan kebahagiaan yang tak ternilai baginya. Maka, meski didera kelelahan sepanjang hari bekerja di rumah sakit, Yuli selalu menyediakan diri untuk menolong tetangganya yang terluka.
Ia selalu siap kapanpun bantuannya diperlukan. Wanita berambut pendek ini juga aktif membantu di posyandu balita dan posyandu lansia di lingkungan tempat tinggalnya serta perawatan luka pasien di rumah.
Perawat mempunyai sumpah profesi. Melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya menurut Undang-Undang yang berlaku dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan tanpa membeda-bedakan pangkat, kedudukan, bangsa, golongan dan agama. Seseorang yang memilih menjadi perawat, ujarnya, harus setia dalam pelayanan. Jadilah perawat yang selalu bisa menjadi saluran berkat untuk pasien, rekan sejawat, keluarga dan masyarakat disekitar kita tinggal. “Hidup harus jadi berkat (bagi orang lain),” himbau umat Paroki St Anna Duren Sawit, Jakarta Timur ini.
Ivonne Suryanto