HIDUPKATOLIK.com – Pada usia 16 tahun, ia harus menghadapi ancaman mati. Kanker menderanya. Ia minta pemakamannya meriah seperti Misa Pernikahan.
Suatu hari, pada 1987, Chiara Badano bermain tenis bersama temannya. Olah raga itu merupakan kegemarannya, selain renang, lari, dan bersepeda. Ketika mereka asyik bermain tenis, tiba-tiba pundak Chiara seperti tersengat listrik. Serangan mendadak membuat tubuh gadis kelahiran Sasselo, Savona, Italia, 29 Oktober 1971 itu limbung. Ia ambruk, raket terlepas.
Chiara mengira insiden itu hanyalah sakit biasa dan akan pulih dengan sendirinya. Ia urung ke rumah sakit. Namun, setelah beberapa pekan, gering yang dideritanya justru kian parah. Lantas, ia pergi ke rumah sakit untuk mencari tahu penyakit apa yang menghinggapi raganya.
Usai menjalani serangkaian pemeriksaan, dokter memvonis gadis berusia 16 tahun itu mengidap osteosarcoma atau kanker tulang. Bak petir, vonis itu terdengar menggelegar nyaring di telinganya. Putri pasangan Maria Teresa Caviglia dan Ruggero Badano terkejut.
Ayah Chiara, sopir truk. Keluarga terpukul duka. Meski demikian, gadis semata wayang itu terlihat pasrah memikul ‘salib’ hidupnya. Sepanjang 1988, Chiara dua kali menjalani kemoterapi untuk mematikan perkembangan sel kanker. Usaha medis itu mengakibatkan rambutnya yang panjang dan berwarna coklat keemasan rontok. Meski demikian, kesehatannya tak kunjung pulih. Ia harus tetap menjalani perawatan intensif di rumah sakit. “Yesus, jika Engkau menghendaki hal ini terjadi, saya pun hanya bisa menuruti keinginan Mu,” ungkapnya.
Selama berada di rumah sakit, Chiara tak seperti pasien lain yang menghabiskan waktu hanya di atas tempat tidur. Ia sering terlihat ngobrol dan berjalan-jalan di area rumah sakit bersama pasien lain. Padahal dokter dan petugas medis sudah melarangnya untuk tidak beraktivitas apa pun, dan harus tetap beristirahat di ranjang. Banyak bergerak hanya akan mengakibatkan sel kanker berkembang semakin cepat. Ia tak menghiraukan larangan itu. “Nanti, saya masih bisa tidur,” jawabnya singkat.
Sumber Inspirasi
Pada 1989, kanker telah melumpuhkan kedua kakinya. Chiara tak bisa lagi menemani pasien lain berjalan-jalan. Ia hanya bisa habiskan waktu di atas tempat tidur. Ia tak putus harapan, terus berdoa, pasrah kepada Tuhan. Di tengah kondisi yang memprihatinkan itu, Chiara tetap tegar dan memancarkan kegembiraan kepada setiap orang yang berada di dekatnya. Suatu hari, ia sempat bercanda dengan ibunya, “Bu, saya ingin bersepeda agar bisa mengelilingi lingkungan ini,” pinta Chiara sambil tersenyum.
Sambil menahan sedih, ibunya menjawab, “Nak, jika Yesus mengambil kakimu, Dia justru akan memberikanmu sayap sehingga kamu bisa terbang mengeliling seluruh area ini.” Chiara dan ibunya pun tersenyum.
Banyak orang menuai inspirasi, semangat, dan kekuatan saat bertemu Chiara di rumah sakit. Dokter yang merawatnya, Antonio Delogu mengungkapkan, lewat senyum dan sorotan matanya, kita bisa tahu bahwa kematian itu tak ada; yang ada hanyalah kehidupan. Kesan yang hampir mirip juga diakui oleh teman-temannya di Focolare Movement saat menjenguk Chiara. Gadis yang aktif dalam organisasi Focolare sejak usia sembilan tahun itu kian menikmati hidup doanya di atas tempat tidur, berdamai dengan sel-sel kanker yang tumbuh di tubuhnya.
Temannya, Ferdinando Garetto, mengatakan bahwa semula mereka datang ke rumah sakit untuk menyemangati Chiara. Namun,saat berhadapan dengannya, justru merekalah yang banyak menimba semangat dan kekuatan darinya. “Dia selalu gembira dan sama sekali tak terlihat sakit, padahal kanker ganas bersarang di tubuhnya,” kisah Ferdinando.
Kendati sakit, Chiara masih rutin berbagi kabar dengan teman-temannya di Focolare Movement.Ia tetap terlibat dalam setiap kegiatan organisasi meski hanya lewat telepon, surat, dan kartu pos. Bahkan, ia masih sempat memantik semangat kaum muda Italia untuk ambil bagian dalam pertemuan akbar di Roma pada 1990. Ia setia menyaksikan perhelatan itu lewat televisi.
Totalitas Cinta
Kondisi Chiara semakin buruk dari hari ke hari. Tubuhnya kian kurus. Ia menjalani transfusi darah karena pendarahan hebat. Ia sadar, harapannya untuk hidup sangat tipis. “Ini adalah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan sekarang. Saya ingin berbagi penderitaan dengan Yesus seperti saat Dia disalib,” ungkapnya sembari menolak di berikan morfin oleh dokter.
Kondisi ini membuat orangtuanya sedih. Namun, Chiara selalu berusaha menghibur mereka. Bahkan, ia berpesan, saat upacara pemakamannya nanti, dibuat seperti Misa Pernikahan. Baginya, kematian adalah jalan menuju surga yang menghantarnya bertemu dengan Yesus, Sang Mempelai.
Chiara meminta ibunya menyiapkan gaun pengantin yang indah. Ia memilih sendiri lagu dan bacaan Misa, serta bunga altar. Ia mempersiapkan dengan sangat baik upacara pemakamannya. Ia pun berpesan kepada orangtuanya untuk mendonasikan tabungannya bagi karya misi di Afrika. “Saya sudah memiliki semuanya. Sekarang saya tidak membutuhkannya lagi,” pesannya.
Sejak kecil, Chiara memang suka berderma. Uang jajan dari orangtuanya selalu ia tabung. Bila sudah terkumpul cukup banyak, ia mendonasikan tabungannya lewat misionaris yang berkarya di Afrika. Selain itu, ia suka memberikan bekal dari ibunya kepada teman-teman di sekolah yang tidak membawa makan siang.
Pada 7 Oktober 1990, Chiara menghembuskan nafas terakhir. Ia sempat mengucapkan salam perpisahan kepada orang tuanya. Ia berpesan secara khusus kepada bundanya agar berhati-hati dan selalu menjaga kesehatannya. “Selamat tinggal. Bergembiralah selalu, sebab saya pun sangat bahagia,” pesan Chiara untuk terakhir kalinya.
Kabar kematian Chiara segera beredar luas ke seluruh penjuru Italia. Misa pe makamannya berlangsung meriah dan di hadiri banyak imam dan umat, terutama kaum muda. Jenazahnya dikebumikan di kota kelahirannya. “Kami berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah-Nya yang sangat luar biasa,” puji Chiara Lubich, pendiri Focolare Movement dalam suratnya kepada orangtua almarhumah.
Patron Kaum Muda
Setelah kamatiannya, banyak orang, terutama kaum muda memberikan kesaksian bahwa teladan rohani dan keutamaan hidup Chiara menginspirasi dan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Itulah alasan Uskup Emeritus Acqui, Mgr Livio Maritano (1925-2014) mengusulkan kepada Takhta Suci agar proses penggelaran kudus Chiara dibuka.
Pada 3 Juli 2008, Chiara menerima gelar venerabilis. Lalu pada 19 Desember 2009, Takhta Suci mengesahkan dan mengumumkan peristiwa mukjizat yang dialami seorang bocah dari Trieste, Italia Utara. Anak itu sembuh dari sakit meningitis setelah berdoa dengan perantaraan Chiara. Padahal dokter yang menanganinya sudah ‘angkat tangan’ dan bahkan memvonis bahwa hidup si anak tak lebih dari 48 jam.
Mukjizat ini menjadi pintu masuk proses beatifikasi Chiara. Akhirnya, pada 25 September 2010, Paus Benediktus XVI membeatifikasi Chiara di Gereja della Madonna del Divino Amore Roma. Ribuan orang dari berbagai kota, mayoritas kaum muda, hadir dalam prosesi tersebut. Gereja Katolik memperingati keutamaan hidup dan teladan rohani Beata Chiara tiap 7 Oktober.
Yanuari Marwanto