HIDUPKATOLIK.com – Jejak misi Katolik masih tersimpan anggun di Sikka, Maumere, Flores. Kampung kecil di pesisir selatan Pulau Flores itu menjadi pintu masuk iman Katolik.
Natar Sikka Gete (Kampung Sikka Besar) berada di pesisir selatan Pulau Flores. Desa ini terletak sekitar 24 kilometer dari Pelabuhan Laurens Say (dulu: Sadang Bui), atau sekitar 26 kilometer dari Bandara Frans Seda (dulu: Waioti). Waktu tempuh dari Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka menuju desa yang berada di bawah Kecamatan Lela sekitar 30-40 menit.
Rute menuju Kampung Sikka berkelok-kelok bak ular berjalan. Kini jalan itu sudah beraspal hotmix. Orang Flores, termasuk Maumere, punya ungkapan khas menyebut aspal licin dengan istilah tersebut. Moda transportasi menuju kampung budaya dan rohani itu pun cukup lancar. Hampir saban hari ada angkutan pedesaan hilir mudik menuju tempat tersebut, antara lain: Amor, Krisanto, dan Prima. Jika sulit mengingat nama oto atau bemo (angkutan umum) tak perlu bingung, sebab oto ke Sikka selalu berwarna merah.
Akan tetapi oto ke Sikka hanya sampai pukul 17.00 WITA. Selain itu, pada hari Minggu oto atau kendaraan yang ke sana juga jarang di banding hari lain sebab para toke (pemilik oto) memarkirkan kendaraan di rumah. Para sopir dan konjak (kenek) diliburkan agar bisa ke gereja dan kumpul dengan keluarga. Meski demikian, tak perlu panik sebab ojek dari dan menuju Sikka cukup banyak. Dengan membayar Rp 20 ribu Anda sudah bisa tiba di tujuan.
Sepanjang perjalanan dari Maumere menuju Kampung Sikka, Anda bakal menjumpai sejumlah rumah tempat pendidikan para calon imam, seperti: Scalabrinian di Nangalimang, Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) di Ledalero, Karmel di Nita, dan Projo di Ritapiret. Pepohonan kelapa dan mente (jambu monyet) seolah mengapit dan mengiringi perjalanan Anda. Hal inilah yang membuat Flores, khususnya Sikka berjuluk ‘Kota Nyiur Melambai’ atau ‘Kota Seribu Biara’.
Memasuki Desa Lela, rumah beratap daun kelapa berjajar di tepi pantai Laut Sawu yang berujung di pesisir utara Australia. Di desa ini terdapat RS St Elisabeth yang menjadi kebanggaan masyarakat Mau mere karena kualitas pelayanannya. RS yang dikelolah oleh para suster Abdi Roh Kudus (Servarum Spiritus Sancti/SSpS) berdiri pada tahun 1917. Sekitar lima kilometer dari Lela, jalan beraspal tipis menghubungkan Anda ke Kampung Sikka. Deburan ombak laut selatanpun seolah menyapa Anda begitu menjejakkan kaki di sana, uhe die dan hading bou ei Natar Sikka Gete selamat datang di Kampung Sikka.
Sejarah Lisan
Panjang Natar Sikka hanya satu kilo meter. Namun, kampung ini mematri dengan tinta emas budaya dan Misi Katolik di Mau mere. Dalam buku berjudul Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun dikatakan, sejak Kerajaan Sikka terbentuk sekitar tahun 1607, pusat pemerintahan bermarkas di Kampung Sikka, di istana Lepo Gete, kecuali Raja Siku Koru dan Cunha (1800) dan Raja Prisipin dan Cunha (1850) yang menetap di Maumere. Pusat kerajaan baru beralih secara resmi dari Kampung Sikka ke Maumere sekitar tahun 1917-1918 di bawah kekuasaan Raja Josephus Nong Meak da Silva sebagai Raja Sikka ke-14.
Selain sempat menjadi pusat kerajaan, Kampung Sikka juga menjadi pintu masuk misi Katolik di Maumere. Menurut sejarah lisan yang dituturkan Gorris Tamela, konon pada abad ke-XIV, Moang Lesu Liardira Wa Ngang, yang berjuluk Ina Gete Amagahar (pintar, berwibawa, dan didengar) bertualang ke Selat Malaka. Di Selat Malaka, ia bertemu para misionaris Katolik asal Portugis, yang lantas membaptis Lesu dengan nama permandian Don Alexu Ximenes da Silva.
Ketika Don Alexu kembali ke Sikka, penguasa Malaka memberikan cendera mata berupa Senhor (salib) dan patung Menino (Kanak-kanak Yesus). Tiba di kampung halamannya, Don Alexu, ditemani seorang Portugis, Agustinho Rosario da Gama, didapuk menjadi Raja Sikka. Dalam masa pemerintahannya, Raja Alexu membangun kapel kecil bagi Senhor dan Menino. Ia meminta agar rakyatnya dibaptis Katolik. Sejak itu, Sikka rutin di kunjungi misionaris Portugis.
Jejak Misi
Keuskupan Agung Ende dalam situs resminya, memaparkan, pada 1561 jejak karya misi Gereja Katolik secara resmi dimulai oleh para imam Dominikan (Ordo Praedicatorium/OP/ Ordo Pengkhotbah) di Pulau Solor, setelah menerima perutusan dari Uskup Malaka. Dari pusat misi di pulau Solor, para imam Dominikan mengunjungi Pulau Adonara dan daerah pesisir utara/selatan pulau Flores, termasuk Sikka, sampai ke Pulau Ende.
Sementara itu, dalam buku Romo L. Lame Uran SVD yang berjudul Sejarah Perkembangan Misi Flores Diosis Agung Ende mengetengahkan, Agama Katolik masuk ke Maumere berawal dari kedatangan dua imam Dominikan, Romo Joao Bautista da Fortalezza dan Romo Simao da Madre de Deos di Sikka pada 1566. Kedua misionaris tersebut dikirim oleh Romo Antonio da Cruz dari Larantuka.
Sampai akhir Abad ke–XVI karya misi sangat berkembang. Banyak orang menjadi Katolik dan berdiri sekitar 20 stasi misi di pulau Solor, Adonara, dan Flores. Tetapi pada awal Abad ke-XVII karya misi di beberapa pulau tersebut hampir tidak berjalan, karena terjadi pemberontakan dari suku-suku asli yang dibantu oleh orang-orang Islam Goa/ Makassar dan Belanda. Banyak misionaris diusir dan dibunuh. Karya misi lumpuh dan kehidupan iman umat merana.
Misi Katolik mulai berdenyut kembali setelah Perjanjian Lisboa, antara Portugis dan Belanda, pada 1854. Perjanjian tersebut menyatakan Pulau Flores dan Solor diserahkan kepada Belanda. Di bawah Vikariat Apostolik Batavia yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda, karya misi di kepu lauan Nusa Tenggara mulai mendapat perhatian lagi secara serius oleh para imam Praja Belanda pada 1859.
Lalu, sejak 1873-1920, para imam Yesuit berkarya di Maumere. Dari sana, karya misi mulai dikembangkan kebagian Barat Pulau Flores. Pada tahun 1912, atas permohonan SVD, Kongregasi Penyebaran Iman mengizinkan tarekat tersebut berkarya di Kepulauan Sunda Kecil di bawah yurisdiksi Vi karis Apostolik Batavia yang meliputi seluruh kepulauan Nusa Tenggara, yaitu : Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor, Timor dan beberapa pulau kecil lainnya.
Perkembangan misi ditandai oleh banyak hal yang menggembirakan meski saat itu marak peperangan antara Indonesia dengan para penjajah. Banyak Gereja dan Kapela didirikan untuk kepentingan pelayanan sakramental. Sekolah formal dan keterampilan didirikan untuk pendidikan anak pribumi. Pada 1926 didirikan Seminari Sikka yang kemudian dipindahkan ke Mataloko, Bajawa.
Pada 1937 Seminari Tinggi SVD di Ledalero, Maumere dibuka. Lantas pada 1941 berlangsung tahbisan pribumi pertama di ‘Nusa Nipa’. Kemudian, pada 1935 di buka Kongregasi Suster Pengikut Yesus (Congregatio Imitationis Jesu/CIJ) untuk wanita pribumi.
Gereja Tertua
Jejak karya misi lawas masih tersimpan dengan kemolekan bangunan Gereja St Ig natius Loyola Sikka. Gereja yang masih di gunakan hingga kini memang bukan bangunan kapel yang dahulu didirikan Don Alexu. Gereja Tua Sikka sekarang adalah bangunan yang dirancangan Romo Antonius Dijkmans SJ, arsitek Katedral St Perawan Maria Diangkat ke Surga, Jakarta. Gereja itu dibangun pada 1893 dan di resmikan oleh Romo J Engbers SJ pada 24 Desember 1899.
Pintu gereja terbuat dari kayu, berurat-urat karena kering, dengan engsel pintu bertangkai yang kusam. Pintu gerbang yang sama dengan pintu gerbang yang di buat Bruder van Leeuwnberg SJ bersama para tukang dari Larantuka, 115 tahun lalu.
Kubah gereja menggantung setinggi 10 meter, disangga oleh jalinan kuda-kuda atap dari kayu jati yang belum pernah diganti. Lukisan kaca di atas altar pun masih lukisan altar yang dipasang para pembangunnya. Dinding altarnya berwarna biru dan coklat berhias ornamen lembut motif kain tenun khas Sikka.
Di area tersebut juga berdiri bangunan kapel kecil di sebelah utara gereja. Di kapel itu sempat disemayamkan Senhor dan Menino, buah tangan Da Silva dari Malaka. Benda rohani tersebut hanya dikeluarkan pada perayaan Jumat Agung, kala berlangsung Prosesi Logu Senhor. Dua meriam dari Malaka yang dibawa Romo Fransisco Damato OP pada 1629 pun teronggok di sela rerumputan.
Yanuari Marwanto