HIDUPKATOLIK.com – Kehadiran, senyum dan candanya bak obat mujarab. Bruder Salesian ini, perawat orang sakit. Dengan setia, ia mengunjungi, menghibur dan merawat mereka.
Jarum jam di kamar tidur Bruder Artemide Zatti SDB menunjukkan pukul 04.30. Sang Penghuni segera beranjak dari peraduan. Usai merapikan diri, ia bergegas menuju kapel di Rumah Sakit St Yosef Viedma, Rio Negro, Argentina Selatan. Ia masuk keheningan meditasi, lalu mengikuti perayaan Ekaristi.
Selepas santapan rohani dan jasmani, Br Zatti mengeluarkan sepeda tua. Ia mengayuhnya, menuju berbagai tempat. Tiap kali menjumpai orang sakit, ia memarkirkan sepeda. Ia menyapa, menghibur, dan merawat mereka yang sedang didera gering. Usai blusukan dan makan siang di biara, Direktur RS St Yosef ini bermain dengan para pasien sekitar satu hingga dua jam.
Br Zatti juga mengunjungi pasien satu persatu, dari bangsal ke bangsal hingga pukul enam sore. Setelahnya, hingga pukul delapan malam, ia membantu para apoteker. Ia lalu kembali lagi ke RS untuk mempelajari obat-obatan, dan menutup hari dengan membaca Kitab Suci atau buku- buku rohani. Namun, ia selalu sigap kapan pun diminta pertolongan.
Banyak orang bersaksi, kehadiran dan perhatian bruder sederhana ini yang justru kerap membantu menyembuhkan orang sakit. Bagi pria kelahiran Boretto, Provinsi Reggio Emilia, Italia Utara, 12 Oktober 1880 ini, orang sakit adalah Kanak- Kanak Yesus. Menyapa dan merawat mereka sama dengan berbuat kepada Yesus. Prinsip itulah yang mendasari totalitas pelayanannya.
Drop Out
Br Zatti berasal dari keluarga miskin. Orangtuanya, Louis Zatti dan Albina Vecchi, petani miskin yang bertahan hidup dengan mengolah tanah milik keluarga kaya. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup, orangtuanya tak lagi mampu menambal kekurangan biaya rumah tangga.
Zatti sadar, prahara ekonomi mulai mengguncang. Anak kedua dari tiga bersaudara ini memutuskan hengkang dari bangku sekolah. Tindakan ekstrim itu ia ambil demi mengurangi beban finansial orangtua. Ia bahkan ikut membanting tulang demi menyokong hidup keluarga Usianya, masih sembilan tahun. Saat anak-anak seusianya menuntut ilmu di sekolah dan asyik bermain, ia sudah bersimbah peluh bekerja di ladang tetangga. Meski begitu, ia tak mengeluh dan meratapi keputusannya. Semua ia jalani dengan ikhlas demi membantu keluarga.
Naas, bencana ekonomi lagi-lagi menindih. Kali ini, lebih hebat dibanding goncangan pertama. Fondasi hidup keluarganya lumpuh. Di saat situasi perekonomian di Boretto kian tak menentu, kabar dari pamannya yang berada di Argentina, memantik kembali asanya untuk menata puing-puing fondasi finansial keluarga petani gurem itu. Sang paman mengabarkan, Negeri Tango sedang mencari banyak pekerja untuk ditempatkan di beberapa sektor. Ia juga menggaransi, upah di Argentina lebih layak dan menggiurkan. Kabar itu membuat keluarga Zatti kepincut dan mengambil peluang tersebut.
Gayung bersambut. Pada 1897, Zatti bersama keluarga hijrah ke Argentina. Di Bahía Blanca, sebelah selatan Buenos Aires, mereka menetap dan menata hidup. Belum lama di sana, Zatti mendapat pekerjaan di sebuah hotel. Ia juga bekerja di pabrik batu bata saat luang, untuk menambah penghasilan.
Teladan Salesian
Keluarga Zatti cukup aktif terlibat dalam kegiatan paroki. Tiap Minggu, orangtuanya membantu koster mempersiapkan berbagai perlengkapan Misa. Sementara Zatti sangat antusias ikut serta dalam kunjungan orang sakit bersama Romo Carlo Cavalli SDB, Pastor Parokinya. Karya karitatif itu perlahan mengasah ketajaman suara hatinya. Seiring intensitas perjumpaannya dengan Romo Cavalli, Zatti tersentuh dengan pola hidup dan kesaksian iman Romo Cavalli. Keteladanan tersebut ternyata menyuburkan benih-benih panggilan dalam diri Zatti.
Pada 1900, atas rekomendasi mantan Vikaris Apostolik Patagonia Utara, Mgr Giovanni Cagliero SDB (1838-1926), Zatti diterima sebagai aspiran di Komunitas Salesian Bernal, sebelah utara Quilmes, sekitar 16 kilometer dari Buenos Aires. Sayang, keinginannya menjadi imam kandas. Zatti tidak cukup bekal di bidang akademik. Maklum, pendidikannya hanya sampai sekolah dasar. Itu pun tak sampai tuntas. Ia juga sudah lama tak menghirup aroma lingkungan pendidikan. Faktor kesehatan juga menjadi kendala. Ia terjangkit tuberculosis (TBC) kala merawat imam muda Salesian. Hingga pada 1902, ia keluar dari formasi Salesian di Bernal.
Romo Cavalli tahu. Ia lalu memanggil dan meminta Zatti masuk Komunitas Salesian di Viedma, sekaligus berobat. Di sana, Romo Cavalli berpesan agar Zatti menemui Romo Evarisio Garrone SDB, Direktur RS St Yosef. Romo Garrone sangat dikenal luas di Viedma. Bukan saja karena predikatnya sebagai pemimpin RS, tapi karena kemurahan hatinya.
Romo Garrone senantiasa membuka pintu pada siapapun yang sakit dan membutuhkan pertolongan. Ia juga tak membebani pasien dengan biaya kesehatan yang mahal. Bahkan, tak jarang ia menggratiskan biaya kesehatan kepada pasien miskin dan yang tak mampu melunasi tunggakan.
Kedermawanan Romo Garrone menginspirasi Zatti. Ia tersentuh dengan totalitas pelayanan dan kemurahan hati direktur RS itu. Selama menjalani perawatan di RS St Yosef, Zatti banyak mendengar dan belajar dari Romo Garrone.
Suatu kali, Zatti bernadar, jika sembuh dari TBC, ia akan membaktikan seluruh hidup dan karya untuk merawat orang sakit. Doa yang ia panjatkan lewat perantaraan St Maria Bunda Penolong Umat Kristiani terkabul. Pasca sembuh, Zatti minta kepada Romo Garrone agar bisa membantu di RS. Permohonan Zatti disambut baik oleh imam Salesian itu.
Realisasi Mimpi
Zatti bekerja dengan tekun dan ulet. Teladan hidup Romo Garrone seolah memandunya kala bertemu dan merawat pasien. Berkat kegigihan dan sikap hidupnya, Zatti berkesempatan mengasah kemampuan di Sekolah Keperawatan dan Manajemen Rumah Sakit. Kali ini, ia lulus dengan baik.
Tak disangka, benih-benih panggilannya tumbuh kembali. Refleksinya bermuara pada pilihan untuk menjadi bruder Salesian. Dan, kerinduan hatinya pun terjawab. Tarekat SDB menerimanya sebagai calon anggota. Pada 1908, ia mengikrarkan kaul kekal sebagai bruder SDB, di Viedma.
Pada tahun yang sama, kursi pimpinan RS St Yosef kosong lantaran Romo Garrone wafat. Tarekat SDB akhirnya mempercayakan tampuk pelayanan RS St Yosef kepada Br Zatti. Di bawah kepemimpinannya, RS St Yosef berkembang pesat. Pada 1913, ia membidani pembangunan gedung baru RS, yang di kemudian hari menjadi Wisma Keuskupan Viedma.
Naas, pada Juli 1950, Br Zatti jatuh dari tangga saat hendak memperbaiki saluran air yang bocor. Ia harus dirawat. Tetapi, pada Januari 1951 kesehatannya merosot drastis. Dokter mendiagnosa, Br Zatti terserang kanker hati.
Hanya tiga bulan, Br Zatti dirawat. Pada 15 Maret 1951, ia wafat dan dimakamkan di Kapel Biara SDB di Viedma. Berkat dedikasi dan kesalehan hidupnya, Bapa Suci Yohanes Paulus II membeatifikasi Br Zatti pada 14 April 2002 di Roma. Paus Fransiskus pun berdevosi mendalam kepada Beato Zatti SDB bagi suburnya benih-benih panggilan sebagai bruder. Gereja Katolik memperingatinya setiap 15 Maret.
Yanuari Marwanto