HIDUPKATOLIK.com – Pembentukan stasi bukanlah dimaksudkan untuk memisahkan diri dari induk paroki. Stasi dibangun agar umat semakin bersekutu dan menghadirkan wajah Gereja di tengah masyarakat.
Istilah stasi muncul bersamaan dengan istilah kring. Istilah ini mulai diperkenalkan Romo F. Strater SJ ketika berkarya di daerah Yogyakarta pada 1918. Lantaran pertumbuhan umat Katolik amat pesat di daerah itu, maka untuk memudahkan reksa pastoral, umat dikelompokkan berdasarkan teritori tertentu. Kelompok umat yang terdiri atas be berapa kepala keluarga disebut kring. Bebe rapa kring kemudian membentuk satu stasi. Stasi menjadi pusat kegiatan umat dan tempat persinggahan imam ketika melakukan perjalanan pastoral, serta mem berikan aneka pelayanan, terutama pelayanan sakramental, seperti perayaan Ekaristi.
Istilah stasi, dan bahkan kring lalu diadopsi di beberapa daerah lain, sebagai dasar pastoral teritorial. Hingga kini, di beberapa keuskupan masih menggunakan istilah tersebut. Seiring waktu, di beberapa keuskupan istilah kring mulai tidak pergunakan. Lalu muncul istilah lingkungan, wilayah, komunitas basis gerejani, dan komunitas basis umat atau kelompok umat basis. Sementara, istilah stasi masih dipergunakan, walaupun ada keuskupan yang menggantikannya dengan istilah kuasi paroki.
Istilah stasi memang tidak ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK). Dalam KHK Kan 516 § 1, disebutkan, “Kecuali ditentukan lain oleh hukum, kuasi paroki disamakan dengan paroki; kuasi paroki yang diartikan sebagai komunitas kaum beriman kristiani dalam Gereja partikular yang dipercayakan kepada seorang imam sebagai gembalanya sen diri, dan yang karena keadaan khusus belum didirikan sebagai paroki.” § 2. Di mana komunitas-komunitas tertentu tidak dapat didirikan sebagai paroki atau kuasi-paroki, hendaknya Uskup diosesan mengusahakan reksa pastoralnya dengan cara lain.”
Sementara, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) masih mempertahankan istilah stasi. Pedoman Dasar Dewan Paroki (PDDP) KAJ 2014, menyebutkan dalam pasal 19 bahwa stasi adalah bagian dari paroki, yang karena situasi dan pertimbangan tertentu memerlukan pengaturan reksa pastoral khusus. Bisa jadi, yang dimaksud situasi dan pertimbangan ter tentu itu misalnya, karena lokasi yang jauh dari pusat paroki atau umat yang berada di lingkungan khusus seperti lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi RI, atau lingkungan khusus yang lain.
Dalam PDDP itu juga dicantumkan tentang pembentukan stasi yang dilakukan Dewan Paroki Harian, setelah mendapat persetujuan Uskup. Hal ini tentu untuk menjamin reksa pastoral berjalan optimal. Pembentukan stasi bukan pertama-tama untuk memisahkan diri dari paroki induk dan berdiri sebagai paroki mandiri. Pendirian stasi bertujuan agar umat semakin terlayani dengan maksimal dan reksa pastoral berjalan. Maka, untuk menjalankan reksa pastoral di stasi perlu dibentuk pengurus atau dewan stasi. Tugas-tugas pengurus atau dewan stasi juga di sebut kan secara rinci dalam PDDP ini. Sementara untuk tata administrasi, seperti Baptis, Krisma, perkawinan, kematian, serta harta benda stasi masih tergabung dengan induk paroki.
Pembentukan stasi, yang pertama dan utama adalah untuk menghadirkan komunitas umat beriman yang merujuk kepada kesadaran diri Gereja semesta sebagai communio, persekutuan menuju Kerajaan Allah. Komunitas umat beriman juga menjadi sarana untuk menghadirkan wajah Kristus di tengah dinamika hidup bermasyarakat; Gereja yang terus dan semakin berarti bagi umat, serta kian bermakna bagi masyarakat.
Y. Prayogo