HIDUPKATOLIK.com – Sabda Tuhan hari Minggu ini mengisahkan relasi intim antara Allah dan umat pilihan-Nya, kisah kasih sepanjang zaman tentang kesetiaan dan pengkhianatan dalam gambaran Kebun Anggur. “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal…” (Yoh 3:16). Namun, umat pilihan-Nya sendiri justru tidak sudi menerima-Nya. Apakah Gereja, umat Allah yang baru, yang juga sedang dinantikan buahnya, mampu belajar dari sejarah umat pilihan?
Kebun anggur sejak dahulu berperan penting dalam ekonomi Israel. Minyak dan anggur menjadi lambang berkat dan kekayaan paling utama. Tidak salahlah kalau keduanya menjadi gambaran utama dalam sejarah keselamatan. Kidung Nabi Yesaya berkisah dengan penuh cita rasa tentang kebun anggur Sang Kekasih itu, yang dirawat dengan sepenuh hati, seperti bagian dari hidup sendiri yang penuh ekspektasi. Tetapi, kekecewaan demi kekecewaan yang dialami: “Apalagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbaut kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam.” (Yes 5:2).
Kebun Anggur yang gagal adalah stigma ketidaksetiaan umat pilihan yang tidak berhasil menanggapi cinta Allah. Perumpamaan Yesus dalam Injil tertuju kepada “imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi” (Mat 21:23), termasuk “orang-orang Farisi” (Mat 21:45). Gambaran kebun anggur yang tidak berbuah dalam Kitab Yesaya berubah menjadi figur penggarap-penggarap yang “jahat” yang tidak mau “menyerahkan hasilnya pada waktunya” (Mat 21:41). Malahan, mereka membuang ahli waris satu-satunya, keluar dari kebun anggur-Nya sendiri, demi merebut harta warisan yang tidak pernah akan menjadi hak mereka, tanpa sikap keputeraan seturut teladan Dia yang justru mereka bunuh(lihat Mat 21:38-39). Para pemimpin Israel sekali lagi mempersonifikasikan pada diri mereka kemandulan rohani umat pilihan sejak zaman nabi Yesaya: “Sebab kebun anggur Tuhan semesta alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda ialah tanam-tanaman kegemaran-Nya; dinantinya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran” (Yes 5:7).
Sesungguhnya dengan rendah hati, kita pun harus mengakui bahwa Gereja tidak terluput dari pesan kenabian yang keras itu. Kita dewasa ini dipanggil seperti penggarap-penggarap kebun angur, mungkin dari “jam yang terakhir” (lih. Mat 20:6-7), tetapi yang jelas tidak terluput dari godaan dan kecenderungan menjadi mandul, tidak menghasilkan buah sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada “privilese status” yang bisa meyakinkan bahwa kitalah yang dimaksud ketika Yesus mengatakan pada para lawan bicara-Nya: “Kerajaan Allah akan diambil daripadamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.” Buah Kerajaan itu, harus nampak dalam praksis keberpihakan Gereja, pada yang sering terpinggirkan dan tak diperhatikan, “yang terbuang keluar” dari kebun anggur-Nya.
Namun, sering kita masih menunggu dan tidak berani keluar, dari kenyamanan kultis, dari perayaan sakramental yang memuaskan kerinduan rohani pribadi saja. Kecaman profetik dari kisah kasih kebun anggur itu, tidak hanya laku untuk umat Israel atau para pemuka jemaat pada zaman Yesus. Jika kita merasa telah menjadi “yang terakhir” untuk merebut privilese status keselamatan itu. Akan segera disadari, bahwa kita sendirilah “yang terdahulu akan menjadi yang terakhir” (Mat 20:16). Seperti pernah dikatakan Luiz Carlos Susin, seorang teolog pembebasan dari Brasil, “Perwahyuan dan keselamatan itu sungguh-sungguh rahmat karena mengobrak-abrik logika keagamaan, membuat orang hanya bisa bergumam memahami, bahwa yang seharusnya di dalam itu ternyata ada di luar, yang di atas ada di bawah, berkat itu ada di antara yang terkutuk dan penghakiman dunia mulai dari yang paling kecil.”
Vitus Rubianto Silichin SX