HIDUPKATOLIK.com – Tak hanya merawat tradisi, pria yang tamat SMA ini menyambung hidup keluarga dan para karyawannya dari bambu. Tuhan tak pernah abai kepada umat-Nya yang tekun berusaha.
Guntur Siboro hanya berguru sampai SMA. Saat jemari remaja seusianya menorehkan tinta di lembar putih, jari Guntur justru meliuk-liuk di antara bilah-bilah bambu. Siapa sangka, dari situ ia sanggup menafkahi keluarga dan menyambung hidup sejumlah karyawan. Semua berkah bambu.
Guntur tinggal di Desa Simpang Si godang, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Mayoritas masyarakat di sana, termasuk dirinya, menyandarkan hidup dengan membuat keranjang kating (kecil) dari bambu. Tak sekadar penyambung hidup, keterampilan menganyam bambu menjadi tradisi masyarakat di sana.
Guntur mengenang, sejak kecil ia terbiasa melihat orangtuanya duduk bersila sambil mengikis bambu (balibak), membuat tapak, dan menjalin bambu menjadi sebuah keranjang. Ia pun kepincut. Saat SD, mula-mula orangtua memintanya untuk membuat tapak (dasar keranjang). Ketika di SMP, ia mulai menganyam bambu. Begitu sampai SMA, Guntur mulai serius menggeluti kerajinan keranjang kating.
Buah Ketekunan
Ketekunan tak pernah mengkhianati hasil. Keuletan Guntur selama puluhan tahun berbuah manis kini. Ia punya empat karyawan di tempat usaha keranjang kating-nya itu. Selain membawa berkah untuk para pekerja beserta keluarga mereka masing-masing, Guntur berharap, kerajinan keranjang bisa terus bernapas panjang. “Selain memperkenalkan daerah, kerajinan (keranjang) harus dikembangkan pula untuk kesejahteraan bersama.”
Guntur tak menopang dagu meski telah sukses. Baginya, hidup adalah perjuangan. Guntur sadar, banyak yang telah ia terima, berlaksa pula tanggung jawab yang dipikulnya. Setiap hari, Guntur membeli dan memboyong dua ikat bambu dengan motor matic-nya. Menurutnya, cara tersebut lebih menghemat biaya produksi. Sebab bila mengangkut bambu dengan angkot, satu ikat bambu dikenai biaya Rp 4000.
Menurut masyarakat setempat, tradisi menganyam keranjang kating di Simpang Sigodang mula-mula berasal dari luar kampung tersebut, yaitu dari Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kabanjahe beriklim dingin dan salah satu penghasil sayur-mayur. Pada masa itu, masyarakat di sana mencari akal agar sayur yang akan mereka jual tidak rusak. Mereka akhirnya membuat keranjang dan mengemas sayur-mayur dalam wadah itu.
Orang-orang rantau di sana, membawa keterampilan itu ke kampung halaman masing-masing, termasuk Simpang Sigodang. Tak dinyana, kerajinan menjalin (menganyam) bambu justru menjadi salah satu mata pencarian yang jamak dilakoni oleh masyarakat Simpang Sigodang. Masyarakat di sana terus menghidupi tradisi itu hingga kini.
Sebelum ada karyawan, Guntur menggandeng sang istri, Netty Marpaung, mengembangkan usaha kerajinan keranjang kating. Seiring waktu, karya mereka banyak dilirik pembeli. Para pemburu kerajinan suami-istri itu berasal dari berbagai daerah, seperti Saribu Dolok, Dolok Sanggul, dan Kabanjahe.
Demi mengakomodir seluruh kebutuhan pemesan, usaha yang mereka rintis sejak 2006 itu mulai merekrut empat karyawan, dua laki-laki dan dua perempuan. Tiap karyawan memiliki spesialisasi masing-masing, ada karyawan yang menjalin, menapak, membuat balibak, dan bingkai.
Guntur mengupah karyawannya berdasarkan bidang keahlian. Upah karyawan yang menjalin Rp 1.300, menapak Rp 600, membuat balibak Rp 2.400, dan membuat bingkai Rp 700. Upah tersebut untuk tiap produk yang mereka hasilkan. Karyawan Guntur mulai bekerja dari pukul 10.00 hingga 19.00. Tentu, semakin cepat barang mereka hasilkan, akan semakin banyak pendapatan yang dibawa pulang.
Membuat keranjang kanting menuntut kerja sama yang apik dari seluruh karyawan. Guntur mencontohkan, seandainya balibak tidak dibuat rapi, jari karyawan yang menjalin rentan tersayat buluh. Karena itu, jika pembuat balibak tak “bersih” meraut bambu, penjalin akan mengeluh atau bahkan menegur.
Tantangan Usaha
Perkembangan waktu, Guntur merasakan, bambu di kampung sendiri tak gampang didapat. Ini salah satu tantangan usaha yang juga dirasakan oleh para pengrajin keranjang kating lain di desanya. Buluh di sana mulai berkurang. Bukan hanya antara para pengrajin keranjang, persaingan juga terjadi dengan tukang bangunan.
Mereka berani mengganjar satu batang bambu dengan harga Rp 5.000, sementara para pengrajin keranjang hanya sanggup membayar Rp 4.200 per bambu. Inilah yang kerap memaksa para pengrajin ke ranjang berburu bahan dasar ke tempat jauh. “Biasanya saya mencari bambu hingga lima kilometer dari rumah,” ungkap ayah empat anak ini.
Tantangan Guntur tak berhenti sampai di situ. Sebab, kerap kali pemilik tak bersedia bambunya dipotong. Atau kadang, ada pemilik yang mau melepas, tapi bambu-bambunya berada di medan curam. Guntur dan para pembeli butuh nyali besar dan ekstra hati-hati menebang bambu-bambu itu. Kesulitan lain, lanjutnya, penanam bambu sudah langka sekarang. “Mereka beralih menanam cokelat,” ungkap Guntur.
Dalam sehari, Guntur membutuhkan sepuluh batang bambu. Namun dalam sepekan setidaknya ia berusaha agar mendapatkan 100 bambu. Tiap buluh ia potong menjadi dua ukuran, yakni 170 sentimeter dan 180 sentimeter. Satu keranjang kating biasanya membutuhkan tiga potong bambu.
Kedatangan para pembeli keranjang tak bisa dipastikan. Mereka kadang datang tiap dua hari setelah keranjang rampung, tapi bisa juga seminggu kemudian. “Bahkan pernah selama satu bulan sama sekali tak ada satu pembeli pun yang datang ke rumah saya,” ujar Guntur seraya tersenyum.
Guntur rupanya sudah kenyang dengan berbagai lika-liku yang dihadapi. Ia tak patah arah. Keranjang yang belum laku terjual, ia masukan ke dalam rumah, dan menyusun semua kerajinan itu dengan rapi. Ia juga membungkus keranjang-keranjang tersebut dengan plastik agar tak berjamur dan rapuh.
Umat Stasi St Fidelis Simaringen Simpang Sigodang, Paroki St Petrus dan Paulus Kabanjahe, Keuskupan Agung Medan ini yakin, meski usaha bambu pasang-surut, niat baiknya untuk menyambung hidup dengan cara halal, bakal diberikan jalan keluar oleh Tuhan. Terbukti, dengan hanya mengandalkan usaha kerajinan keranjang kating, Guntur bisa menopang fondasi ekonomi rumah tangganya.
Dalam satu hari, Guntur membeberkan, biasa menghasilkan 90 keranjang kating. Satu keranjang kating seharga Rp 7.000. Jika pemasaran lancar, seminggu ia mampu menjual 400 keranjang. Dalam sepekan Guntur bisa mengantongi uang sekitar Rp 2,8 juta. “Saya bersyukur kepada Tuhan, bisa membiayai sekolah dua anak. Mereka harus bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya,” ujar Guntur, bertekad.
Tetap Optimistis
Perjuangan Guntur menyambung hidupnya dan keluarganya tidak lepas dari ketekunan sejak masih kanak-kanak. Ia percaya, setiap usaha yang dijalani dengan penuh keuletan, Tuhan bakal mengganjar segala jerih payah umat-Nya dengan hasil setimpal. Intinya, pesan Guntur, jangan menyerah meski diterpa berbagai rintangan.
Guntur optimis, usaha kerajinan keranjang kating di daerahnya masih amat menjanjikan. Berbekal asa itulah Guntur masih menjadikan bambu sebagai kiblat profesinya sebagai pengrajin keranjang. Ia hakul yakin, menganyam bambu, sanggup menyambung hidup dan masa depan keluarga serta para karyawannya.
Fr Nicolaus Heru Andrianto