HIDUPKATOLIK.com – Mengapa pada perkawinan di Kana, Yesus memanggil ibunya dengan sebutan “wanita” (Yoh 2:4)? Bukankah sebutan demikian itu tidak pantas atau kurang ajar, jika ditujukan kepada seorang ibu kandung? Sebutan “wanita” juga digunakan Yesus untuk wanita Samaria, (Yoh 4:21) dan untuk wanita yang tertangkap basah berzinah (Yoh 8:1). Apakah kedua kasus itu mempunyai makna yang sama dengan penyebutan pada Maria?
Theresia Maria Agustyarini, Malang
Pertama, perlu melihat konteks budaya yang bersangkutan untuk dapat menafsirkan makna sebuah sebutan. Pada jaman Yesus, memanggil seorang perempuan dengan sebutan “wanita”, seperti kepada wanita Samaria (Yoh 4:21) dan wanita yang berzinah
(Yoh 8:1), tidaklah dianggap kurang ajar atau merendahkan atau bermusuhan. Mungkin sebutan “wanita” itu bisa disejajarkan dengan sebutan “ibu” dalam bahasa Indonesia yang ditujukan secara umum untuk wanita, pada usia yang pantas menjadi seorang ibu. Pasti Maria tidak tersinggung atau merasa dilecehkan oleh sebutan Yesus kepadanya. Hal ini nampak dari reaksi Maria yang langsung memberitahu para pelayan, agar melakukan apapun yang diperintahkan Yesus.
Kedua, penyebutan Maria sebagai “wanita” oleh Yesus pada Yoh 2:4 bukanlah satu-satunya, sebab ketika tergantung di kayu salib, Yesus sekali lagi menyebut Maria sebagai “wanita”, yaitu ketika menyerahkan Yohanes kepada Maria, “Wanita, inilah anakmu” (Yoh 19:26). Dalam teks terjemahan LAI-LBI, memang tertulis kata “ibu”, seperti yang ada pada Yoh 2:4. Keduanya dalam bahasa Yunani adalah gune artinya ‘wanita’. Penampilan Maria pada awal dan akhir dari karya Yesus di depan umum, membentuk sebuah gaya bahasa biblis yang disebut inklusi. Dengan ini penulis Injil Yohanes hendak mengatakan, bahwa Maria selalu hadir dalam seluruh pelayanan Yesus, mulai awal (dalam perkawinan di Kana) sampai akhir (di bawah kayu salib di Kalvari).
Ketiga, menarik untuk dicermati bahwa Injil Yohanes dibuka dengan ungkapan yang sama dengan Kitab Kejadian, yaitu dengan ungkapan “Pada mulanya”. Seolah-olah Yohanes menyatakan, bahwa kemunculan Yesus dalam Injil itu sejajar dengan kisah penciptaan oleh Allah. Kesejajaran ini membuat pembaca yang mengenal kisah penciptaan untuk langsung membandingkan, inklusi penyebutan Maria sebagai “wanita” dengan peran Hawa yang diuraikan dalam Kej 3:15, yaitu “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya….”
Maka, menjadi jelas maksud dari penginjil Yohanes dalam inklusi penyebutan Maria sebagai “wanita” yaitu menunjukkan bahwa Maria itu tak lain adalah “perempuan” atau “wanita” (Yun: gune) yang dimaksud pada protoinjil Kej 3:15. Hawa adalah mitra kerja Adam, yang telah menyebabkan Adam jatuh ke dalam dosa. Sedangkan Maria adalah Hawa baru, mitra kerja Kristus, yang membuka pintu untuk penebusan dosa seluruh keturunan Adam. Apa yang diikat Hawa dilepaskan oleh Maria.
Keempat, jadi penyebutan Maria sebagai “wanita” pada Injil Yohanes menunjukkan bahwa Maria adalah Hawa baru, ibu dari semua murid yang percaya kepada Yesus, Putranya. Yohanes yang berdiri di bawah kayu salib di Kalvari adalah wakil dari setiap murid Yesus. Maka, Maria menjadi Bunda bagi semua murid Yesus. Keibuan Maria terhadap semua murid Yesus, bukan hanya menunjukkan sebuah status, tetapi lebih-lebih menunjuk pada peran Maria sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkan kehadiran Yesus dalam diri kita. Maria sudah memberikan Yesus, Sang Kehidupan Baru kepada kita. Dia pula yang peduli dan berkehendak untuk menumbuhkan kehadiran Yesus itu dalam diri para murid Yesus. Maria hadir sebagai Bunda kita, mulai awal karya Yesus (seperti Kana) sampai pada akhirnya (seperti Kalvari). Maria adalah “wanita,” Bunda Kehidupan baru dalam Kristus.
Petrus Maria Handoko CM