HIDUPKATOLIK.com – Jelang Pekan Suci yang lalu, beberapa Gereja Katedral mempersiapkan Misa Krisma. Alat-alat liturgi dibersihkan dan sisa-sisa minyak liturgi beserta air pembersihnya dimasukkan ke dalam sakrarium.
Pagi itu, Rabu, 1/4, sekitar pukul delapan pagi, F.X. Prayitno sudah mulai sibuk membersihkan beberapa bejana, tempat minyak sakramen. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, menjelang Misa Krisma yang diadakan pada hari Kamis dalam Pekan Suci, Prayitno bertugas membersihkan bejana-bejana minyak yang disimpan di Wisma Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).
“Dari tahun ke tahun minyak krisma itu harus diganti. Setiap menjelang Misa Krisma di hari terakhir, bejana itu akan dibersihkan untuk diisi minyak baru. Kalau dahulu tidak. Tapi sejak Mgr Suharyo, setiap tahun selalu diganti, sebab minyaknya sisa sedikit dan supaya bersih harus dibuang,” tutur Prayitno kepada HIDUP, Rabu, 1/4.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Staf Rumah Tangga Gedung Karya Pastoral dan Keuskupan ini, memang sudah biasa membersihkan bejana yang digunakan untuk Misa Krisma. Proses pembersihan ketiga bejana yang digunakan untuk menyimpan minyak krisma, baptisan dan orang sakit itu memiliki karakter berbeda-beda. Khusus untuk bejana penyimpan minyak krisma biasanya agak lengket sebab terdapat cairan balsem yang kadang mengeras. Untuk membersihkannya, ia harus mengerok memakai sendok sampai habis balsem yang lengket tersebut. “Kalau balsemnya masih banyak, maka akan menempel seperti gula jawa dengan warna hitam kayak aspal,” kata Prayitno.
Setelah dikerok, supaya lebih bersih Prayitno juga akan mengampelas bejana itu. Kemudian, bejana diguyur dengan air sampai bersih. Sedangkan bejana yang digunakan untuk menyimpan minyak baptisan dan orang sakit lebih mudah pembersihannya. Khusus untuk dua bejana itu, minyaknya bisa dengan mudah dibuang. Seluruh air pembersih ataupun minyak yang tersisa akan dibuang ke sumur suci yang terletak di taman bagian dalam Wisma Keuskupan. Usai dicuci, bejana dilap sampai kering menggunakan kapas dan kain. Setelah itu diserahkan kepada koster sakristi katedral untuk persiapan Misa Krisma esok harinya.
Menurut Prayitno, sumur suci yang ada di Wisma Keuskupan sudah ada sejak Mgr Leo Soekoto SJ masih menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta. Bentuknya seperti lubang tanah biasa berdiameter 30 sentimeter dengan kedalaman satu meter. Di bagian atas diletakkan pot tanah yang diberi lubang, lalu ditutup dengan kotak seng. Selain air pembersih minyak, sisa-sisa air berkat juga dimasukkan ke dalam sumur suci tersebut.
Jangan Menjadi Berhala
Kesibukan menjelang Misa Krisma juga terlihat di Gereja Katedral Keluarga Kudus, Banjarmasin. Di Keuskupan Banjarmasin, Misa Krisma diadakan pada hari Selasa, 31/3, bukan hari Kamis, karena wilayah keuskupan yang luas dan letak paroki-parokinya jauh. Para pastor dari berbagai daerah masih punya waktu cukup untuk kembali ke paroki masing-masing melayani umat merayakan Pekan Suci.
Sehari sebelumnya, pada Senin, 30/3, Pastor Rekan Paroki Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin Romo F. A. Susilo Nugroho CP sudah meminta para koster untuk membersihkan bejana yang akan dipakai untuk pemberkatan minyak. Karena Keuskupan Banjarmasin hanya memiliki sembilan paroki, maka minyak yang akan diberkati disediakan secukupnya. “Minyak-minyak yang akan diberkati sudah diperhitungkan, cukup untuk dipergunakan selama satu tahun,” ujarnya.
Dikatakan, minyak yang diberkati setiap tahun tidak banyak tersisa sehingga memudahkan pembersihan tempat penyimpannya. Berhubung Katedral Banjarmasin belum memiliki sakrarium, maka minyak atau air pembersihnya dibuang ke lubang tanah yang memiliki prinsip sama dengan sumur suci.
Bagaimana dengan benda-benda rohani yang rusak? Menurut Romo Susilo, pada prinsipnya umat jangan memperlakukan benda-benda rohani secara berlebihan, jangan sampai memuja atau menyembah benda-benda itu. Bagaimana pun juga semua itu hanyalah benda.
Memang, lanjut Romo Susilo, pada benda-benda itu terkandung tulisan-tulisan kudus atau suci dan sudah diberkati. Namun benda-benda itu tetaplah benda yang bisa rusak, dimakan rayap, dan sobek bila terkena air. Jika kondisinya demikian, tentu tidak bisa digunakan lagi dan tidak mungkin disimpan terus. ”Misalnya dengan alasan benda-benda itu mengandung tulisan suci atau sudah diberkati, jangan sampai menjadikannya sebagai ’berhala’. Artinya, jangan memperlakukannya secara berlebihan,” katanya.
Romo Susilo berpendapat, jika umat memiliki Kitab Suci, tentu tidak harus menyimpannya terus-menerus di lemari. Kitab Suci, meskipun sudah diberkati dan berisi tulisan suci, saat umat membaca dan menemukan ayat-ayat atau kalimat yang menarik, boleh diberi garis bawah atau diberi warna stabillo, atau catatan. “Hal itu tidak berdosa. Prinsipnya, jangan sampai kita memperlakukan benda-benda itu secara berlebihan,” ungkapnya.
Tapi Romo Susilo memberikan catatan, bilamana benda-benda suci itu rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi, maka umat harus memusnahkannya dengan cara dibakar secara khusus dan jangan dibuang secara sembarangan di kotak sampah. “Ini tentunya lebih save atau aman. Karena bila kita buang sembarangan, bisa saja dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang punya niat buruk untuk tujuan yang tidak baik,” katanya.
Pada hari yang sama Selasa, 31/3, di Gereja St Maria Imaculata Katedral Atambua juga diadakan Misa Krisma yang dipimpin oleh Uskup Atambua, Mgr Dominikus Saku. Hari sebelumnya yaitu Senin, 30/3, Pastor Paroki Katedral Atambua, Romo Stefanus Boysala juga menyiapkan bejana-bejana yang akan dipakai dalam Misa Krisma. Proses pembersihan dipercayakan kepada para suster yang bertugas di sakristi.
Pembersihannya dilakukan dengan memakai kapas dan air panas. ”Disiram air panas saja, bejana itu sudah bersih. Kemudian diusap dengan kapas,” katanya. Air bekas pembersih bejana dibuang ke dalam lubang semacam sumur suci.
Sedangkan tradisi membuang benda-benda rohani yang rusak, Romo Stefanus sendiri belum pernah mengalami. Di gerejanya,apabila ada patung atau salib yang rusak, ada petugas yang memperbaikinya.
A. Nendro Saputro
Pelapor: Dionisius Agus Puguh (Banjarmasin)
dan Fransiskus Pongky Seran (Atambua)